24. Perasaan Asing
Jadilah pembaca yang bijak. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, komen and follow
Happy Reading All ...
Begitu mendapatkan benda yang diinginkannya, El segera keluar dari mobil. Tetapi saat akan menutup pintu mobil, El dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Saking terkejutnya, tubuhnya oleng dan nyaris jatuh jika orang yang berhasil mengangetkannya tadi tidak menangkap tubuhnya. Dalam dekapan lelaki itu, El bisa merasakan detak jantung mereka yang sama-sama cepat.
"Akhirnya aku menemukan kamu, El."
Bisikan lirih itu membuat El tersadar. Segera perempuan itu melepaskan diri dari Arka dan mengambil langkah mundur. Berusaha memberi jarak sejauh mungkin meski hasilnya kini mereka hanya terpaut tiga langkah kecil.
Memang selama di kantor, Arka sama sekali tidak berusaha untuk menemuinya. Berita hubungan mereka yang kandas belum tersebar di antara penghuni Encompas. Dan Arka jelas tidak mau membuat keributan untuk menemui El di kantor, terlebih di waktu sekarang ini.
Jadi Arka selalu mencegat El saat mereka pulang kerja di basement. Tetapi El selalu bisa menghindar dengan bantuan tiga lelaki penjaganya. Hari ini, saat berusaha mengikuti El, Arka kehilangan jejak. Lalu dengan konyol menyusuri setiap daerah dekat tempat ia kehilangan jejak El. Meski kecil kemungkinan untuk menemukan El, pada akhirnya Arka menemukan mobil perempuan itu. Namun saat akan pulang, rupanya El kembali ke mobil untuk mengambil barang.
"Apa kita bisa bicara?"
"Kamu tahu kalau aku enggak mau. Jadi kenapa kamu masih tanya?" Memang setelah semua yang terjadi, pembicaraan apa yang Arka inginkan? Pembicaraan apa yang mereka butuhkan? Justru dengan mereka berbicara, El hanya akan menemukan dirinya yang sudah kalah. Kalah akan Arka dan hubungan mereka tanpa bisa berjuang.
Sudah banyak yang El pelajari ketika berhadapan dengan banyak manusia. Dan berbicara jelas tidak akan menyelesaikan banyak hal. Seperti mamanya yang dulu berusaha berbicara tentang kebenaran yang ada. Seperti papanya yang dulu selalu mengatakan mencintai ia dan sang mama. Dan seperti Arka yang berucap untuk selalu menemani dan membuatnya bahagia. Hasilnya, tidak ada satu pun yang benar dari semua hasil omongan manusia. Jadi Arka ingin dia mendengar apa lagi tentang mereka?
"Ki-" Ucapan Arka terhenti saat menyadari kehadiran seseorang yang sedang mendekat ke arah mereka. Matanya mengikuti pergerakan orang itu hingga tiba di belakang tubuh El. Dan tanpa bisa dicegah olehnya, orang itu melingkarkan tangannya di pinggal El.
Sementara itu, El sendiri terkesiap pelan hingga nyaris memekik saat merasakan sentuhan lembut di pinggangnya. Kepalanya dengan cepat menoleh ke samping. Niatnya untuk memukul orang kurang ajar yang menyentuhnya tiba-tiba dengan laptop, hilang saat melihat wajah Noe. Lelaki itu lalu menoleh hingga mereka bertatapan.
"Aku minta kau untuk menunggu, kenapa malah pergi duluan, hm?"
Kening El mengernyit saat mendengar pertanyaan Noe. Memang kapan di-tersadar, El mengerjapkan mata beberapa kali sebelum melemparkan senyum. "Soalnya tadi kamu lagi ngobrol. Aku takut ganggu, jadi aku pergi sendirian deh."
"Tolong jangan diulangi, aku khawatir saat kau hilang tiba-tiba seperti tadi."
El tahu jika Noe mengatakannya karena ada Arka. Tapi tetap saja ada bagian dari dirinya yang merasa senang saat mendengar itu.
"Iya, maaf." El kembali mengembalikan kepalanya ke posisi semula, hingga bisa melihat Arka yang kaku seperti patung. "Ini Arka, kalian pernah ketemu di rumah sakit."
Noe mengulurkan tangan kanannya yang bebas. Senyumnya saat menatap El tadi surut, memperlihatkan wajah tenangnya tanpa Ekspresi. Berbanding terbalik dengan Arka yang meskipun berusaha tenang, tatapan matanya tampak gusar. Terlebih saat mendengar bagaimana Noe mengenalkan diri.
"Arnoelan Nasution, pacar El sejak satu bulan lalu."
Meski enggan, Arka meraih uluran tangan Noe. Memperkenalkan dirinya kepada lelaki yang mengaku sebagai pacar El. Kesal sebenarnya karena El sama sekali tidka membantah hal itu.
"Kalian masih mau ngobrol? Kalau iya, lebih baik kita cari tempat yang lebih nyaman," tawar Noe kemudian yang langsung El protes lewat lirikan mata.
"Enggak kok, kita udah selesai." Meski ingin, Arka pada akhirnya memilih menolak. Dia tidak bisa berbicara leluasa dengan El jika ada Noe. Mungkin malam ini bukan waktu yang tepat. Jadi Arka memilih untuk pamit dari pasangan yang masih dicurigai kebenarannya itu.
Sepeninggal Arka, El menghembuskan napas lega. Tadinya ia pikir Arka akan menerima tawaran Noe. Tapi meski malam ini lolos El tidak yakin untuk lain waktu. Sekarang Arka sudah tahu dimana mobilnya terparkir. Hanya tinggal menunggu waktu sampai lelaki itu tahu tempat tinggalnya.
"Kau tak apa?"
Pertanyaan itu menyadarkan El jika ia tidak sendirian. Benar juga, si pemilik suara itu yang telah membantunya lepas dari Arka. Sebagai jawaban El menggelengkan kepala.
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita pulang," ajak Noe setelah menarik tangannya dari pinggang El.
"Gue mau cari tempat parkir dulu."
"Kalau begitu biar aku antar," putus Noe tanpa persetujuan. Ketika melihat El yang akan protes, cepat-cepat dia menyela, "Aku lebih tahu daerah sini. Kita akan cepat dapat tempat parkir untuk mobilmu jika aku bantu."
Kalau dipikir-pikir ucapan Noe ada benarnya. Maka El menyerahkan kunci mobil kepada lelaki itu sebelum memutari mobil dan duduk di samping Noe. Mobil El tak lama melaju setelah Noe menginjak pedal gas.
"Kira-kira ada tempat yang agak tertutup gitu nggak ya, Noe?"
Dari ekor matanya Noe melirik El. "Kenapa, kau mau menghindar dari Arka?"
El mencebik sebelum berujar, "pake nanya lagi."
Tawa kecil Noe lolos begitu saja. "Kau selalu begitu kalau bertemu dia?" tanyanya, melemparkan pertanyaan yang kemarin diajukan El padanya.
"Enggak usah ngeledek deh," imbuh El tampak kesal, meski begitu bibirnya tersenyum. "Seenggaknya gue enggak ngelamun sampai didemo pengguna jalan."
"Iya sih," balas Noe sambil manggut-manggut. "Tapi kau suka buat drama, iya kan?"
El meringis pelan mengingat kelakuannya di rumah sakit. "Gue cuma kasih sedikit pengertian buat dia kok. Lagian hari ini bukannya lo yang buat drama? Pake ngaku-ngaku jadi pacar gue lagi. Gimana kalau ketahuan coba."
"Kalau begitu aku jadi pacar kau betulan saja."
"Kayak lo mau aja jadi pacar gue."
"Sepertinya aku mau."
"Hah! Gimana?"
"Nah kita sudah sampai, ayo turun," ajak Noe yang langsung keluar mobil mendahului El.
Mata El berkedip cepat beberapa kali. Takut jika tadi salah dengar, El membawa salah satu jarinya ke lubang telinga lalu menggaruknya. "Tadi dia bilang mau kan ya? Serius?"
El tersentak saat mendengar suara ketukan di kaca mobil. Itu Noe. Segera saja El keluar dengan membawa laptopnya.
"Dulu tempat ini dipakai temanku juga untuk parkir. Jaraknya dekat kalau lewat belakang dan tempatnya agak jauh dari jalan besar."
"Makasih."
"Sama-sama, ya sudah ayo kita kembali."
El mengangguk dan mengekori Noe karena belum tahu jalan. Tetapi baru beberapa langkah El tersandung sesuatu. Beruntungnya dia tidak sampai terjatuh. Noe yang mendengar pekikan El berbalik dan menemukan perempuan itu sedang berpegangan pada pohon. Ia berdecak saat menyadari El memakai sepatu yang sama saat akan pergi ke kantor.
"Lepas sepatumu."
Terang saja El menolak ide Noe. Bagaimana kalau nanti ia menginjak yang tidak-tidak. "Enggak mau."
Tanpa di duga, Noe melepaskan sandal yang dipakainya, lantas memberikannya kepada El. "Pakai ini, jalanan disini tidak rata. Kau bisa jatuh dengan sepatumu itu."
"Tapi masa lo engggak pake sendal. Nanti kalau nginjek kaca atau benda tajem gimana?" El juga tidak bisa langsung menyetujui ide ini. Lelaki itu sudah banyak menolongnya hari ini. Kasihan Noe kalau harus menginjak benda tajam dan terluka.
"Ya paling terluka," jawab Noe acuh.
Mata El segera berotasi. Kalau itu dia juga tahu. Masalahnya ia tidak tega kalau Noe sampai terluka nanti. "Enggak usah deh, gue jalan pelan-pelan aja."
"Atau kau aku gendong saja?"
El melotot seketika. "Enggak usah Noe." Tante Fani memang mengatakan dirinya turun beberapa kilogram. Tetapi tubuhnya tidak akan seringan tubuh anak sepuluh tahun. Berat badannya masih disekitar empat lima sampai lima puluh kilo.
"Ya sudah begini saja," putus Noe seraya meraih jemari El yang tidak memegang laptop. "Ayo jalan," ajaknya setelah kembali memakai sandal.
"E-eh iya."
Jika tadi Noe jalan di depan dan El di belakang, maka tidak sekarang. Keduanya jalan bersisian dengan jemari yang saling bertaut. Noe sengaja memperpendek langkah agar El tidak keteter. Apalagi jalanan yang mereka lalui memang tidak rata.
Tanpa Noe ketahui jantung El berdetak dengan cepat. Bahkan, rasanya lebih cepat daripada saat bersama dengan Arka tadi. Telapak tangan Noe membungkus jemarinya dengan cara yang tepat. Mengisi kekosongan yang sudah lama hilang. Menghantarkan perasaan asing namun hangat di dinginnya udara malam. Membuat darahnya seakan berdesir cepat diseluruh pembuluh darah. Satu yang disadari El, hari ini ia dibuat banyak tersenyum entah oleh ucapan atau perlakuan Noe padanya.
"Heran aku, padahal tadi kau mengomel ditelepon karena berjalan jauh dengan sepatu itu. Tapi sekarang kau malah masih memakai sepatu itu."
Bahkan mendengar gerutuan Noe itu, El hanya bisa tersenyum. El mulai merasa kembali diperhatikan selain oleh tiga teman lelakinya. Dan rasanya ... tidak buruk juga.
.....
Babay temu dipart selanjutnya^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top