21. Insiden Pagi Hari

Jadilah pembaca yang bijak, jangan lupa tinggalkan jejak. Komen, vote dan follow.

Happy Reading All ...

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

Saat merasakan guncangan pelan, tubuh Noe menggeliat tidak nyaman karena tidurnya terusik. Guncangan itu semakin terasa hingga akhirnya kelopak mata Noe terbuka perlahan. Matany memicing, guna memfokuskan pandangan kepada seraut wajah yang tertangkap Indra penglihatannya. Begitu bisa mengenali orang yang tidak lain El itu, Noe kembali memejamkan mata. Tunggu, kenapa bisa El ada di kamarnya. Dengan pemikiran itu, mata Noe sontak terbuka lebar bersamaan dengan tubuhnya yang bangkit tiba-tiba.

El tidak bisa memprediksikan gerakan Noe. Posisinya yang tadi sedang berjongkok membuatnya langsung terjengkang ke belakang. Tangannya memegangi kening yang baru saja terantuk dengan kening Noe. Terasa berdenyut seperti punggungnya yang baru saja bersentuhan dengan lantai.

Ringisan El membuat Noe tersadar. Cepat-cepat ia membantu El untuk bangkit. Kini Noe bisa melihat jelas kening El yang memerah meski sedikit terhalang oleh tangan perempuan itu. Rasanya pasti sakit mengingat suara yang ditimbulkan akibat benturan kening mereka memang cukup keras.

"Kau tak apa, El?" Noe langsung merutuki pertanyaannya itu. Sudah jelas El meringis kesakitan, lalu untuk apa masih bertanya.

El menajamkan tatapan ke arah Noe. Lelaki ini benar-benar. Dua kali sudah Noe membuat dirinya terjungkal dan mencium lantai. Apakah Noe orang yang suka melakukan kekerasan? Dan ada apa dengan pertanyaannya itu. Tentu saja El merasakan apa-apa. Keningnya berdenyut dan terasa pening sementara nyeri pada punggungnya belum juga hilang. Bibirnya juga tidak henti meringis kesakitan sejak tadi. Jadi bagian mana yang tidak apa-apa itu?

"Kayaknya lo hobi KDRT ya?" tanya El dengan maksud menyindir.

Noe meringis pelan dengan wajah bersalah. "Maaf El, aku tak sengaja. Kau mengejutkanku tadi."

Siapa yang tidak terkejut saat mengetahui ada perempuan di kamarnya saat bangun tidur. Lagi pula bagaimana bisa El ada di kamar-sebentar, mata Noe mengedar memperhatikan ruangan itu lebih jelas. Ini bukan kamarnya. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ia bisa tidur di kamar El?

"Lo pingsan semalem dan gue enggak sanggup gotong lo. Jadi ya ... lo tidur di sini." El menjawab tanpa ditanya. Wajah Noe saat ini menunjukkan berbagai pertanyaan yang bisa ditebak El dengan mudah.

Kesadaran menghampiri Noe saat itu juga. Benar, semalam dia pingsan karena Pedro menciumnya. Sontak saja tubuh Noe terperanjat bangkit. Matanya melihat sekitar dengan awas. Ia teringat ucapan El jika Pedro suka tidur di kasur.

"Tenang aja, semalem Pedro tidur di kandangnya kok," jawab El, lagi-lagi bisa menjawab pertanyaan yang tidak diutarakan Noe.

Helaan napas lega Noe keluarkan. Paling tidak, dia tidak harus tidur berdua dengan Pedro tapi deng- "Kau tidur dimana semalam?"

Menurunkan tangan dari kening, bola mata El berotasi malas. "Ya di sebelah lo lah, emang dimana lagi."

Mendengar itu Noe dengan refleks memeluk tubuhnya sendiri. Sikaf defensif Noe semakin menjadi saat menyadari dirinya hanya memakai kaos hitam, sementara kemeja hitam yang semalam dikenakannya entah dimana. Terlebih penampilan El saat ini juga tidak seperti biasa. Perempuan itu hanya mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek.

"Kau apakan aku, El?" cicit Noe yang semakin memeluk erat tubuhnya.

Sementara El yang mendengarnya langsung membuka mulut dan mengerjap beberapa kali. "Wah ..."

Kepala El menggeleng beberapa kali. Takjub dan tidak menyangka dengan imajinasi Noe. Sebagai editor, Noe pasti sudah membaca berbagai jenis imajinasi dari buku yang disuntingnya. Tetapi El sungguh tidak mengira jika Noe se-imajinatif itu. Bahkan sekarang Noe berhasil membuatnya merasa seperti orang mesum yang memanfaatkan situasi. Padahal sebagai perempuan, normalnya El yang harus bersikap waspada dan menanyakan pertanyaan tadi.

Mengabaikan rasa pening di kepala, El bangkit. "Emangnya gue ngapain?" tanyanya tak terima.

"Ya mana aku tahu kau ngapain. Aku kan tidak sadar makanya aku bertanya," sahut Noe.

"Kita cuma tidur, Noe," jelas El dengan gemas.

"Terus kemana kemejaku?" Noe menanyakan sumber kegelisahannya.

El menunjuk kemeja Noe yang terletak di sudut kamar. "Gue takut lo enggak nyaman tidur pake baju dobel, makanya semalem gue bantu lepas."

"Tuh kan!" seru Noe hingga El sendiri terkejut. "Kau bilang kita hanya tidur."

Mulut El kembali terbuka. Dengan kedua tangan terkepal karena gemas, ia membuang napasnya kasar. Tidak habis pikir dengan tingkah Noe yang seperti perawan. "Gue cuma bantu lepas kemeja lo. Jadi tolong jangan berpikir berlebihan."

"Lepas baju lawan jenis itu bukan cuma, El!" seru Noe yang masih tidak bisa menerima penjelasan El. "Ba-bagaimana kalau kau khilaf, la-lalu kau berbuat lebih? Kenapa juaga kau harus tidur di sebelahku?"

"Terus gue harus tidur diluar gitu?" Sebagai pelampiasan atas rasa frustasinya, El menjambak rambutnya dengan keras. Menghadapi kelakuan tiga teman lelakinya dirasa lebih mudah, daripada menangani Noe dengan segala pikirannya yang tidak terduga itu.

"Ki-kita benar-benar hanya tidur kan, El?" cicit Noe takut-takut.

"Asataga Noe!" erang El. "Iya, kita cuma tidur, jadi jangan mikir kalau gue udah perkosa lo semalem!"

"Siapa yang diperkosa?"

Pertanyaan itu membuat Noe yang masih memeluk tubuhnya, juga El menoleh ke asal suara. Mereka tidak menyadari kapan Ervan datang dan membuka pintu yang terkunci. Yang jelas saat ini, lelaki itu menatap Noe dan El bergantian dengan penuh selidik.

Menghela napas, El menjatuhkan tubuhnya ke lantai sebelum menjawab. "Noe, gue perkosa dia semalem, puas lo?"

"Kau bilang kita hanya tidur El!"

"PERGI LO ATAU GUE SURUH PEDRO CIUM LO LAGI!"

Tergesa Noe keluar dan melewati Ervan. Dia tidak mau dibuat pingsan kedua kali oleh binatang tanpa kaki itu. Teringat kemejanya, Noe kembali ke kamar El. Takut-takut ia mengambil kemejanya yang ada di dekat tubuh El sebelum segera kabur dari sana. Tidak Pedro, tidak pemiliknya, keduanya sama-sama menyeramkan saat ini.

"Ngapain lo kesini?" tanya El yang kini sedang memilih baju untuk dikenakan.

"Gue mau cari tahu siapa yang diperkosa siapa," jawab Ervan asal.

El mendengus sebelum berkata, "kedatangan lo enggak ada manfaatnya ternyata."

"Semalem, sebelas tiga puluh," mulai Ervan. "Gue liat lo sama Noe masuk dan enggak ada yang keluar lagi setelah itu. Kalian ngapain?"

"Kenapa lo enggak sekalian pasang CCTV di dalem juga biar bisa tahu?" tanya El sinis. Diambilnya pakaian yang menjadi pilihannya dan membawanya ke kamar mandi. Langkahnya terhenti di depan kamar mandi saat mendengar pertanyaan Ervan.

"Lo beneran enggak perkosa Noe, kan?"

"PERGI LO DARI SINI VAN!"

Usai berteriak, El membanting pintu kamar mandi dengan kuat. Tidak percaya paginya sudah dirusak oleh kedua laki-laki bodoh. Kemana akal pikiran mereka pagi-pagi begini. Bagaimana bisa menjadikannya sebagai tersangka yang tampak cabul dan mesum. Kalau tahu begini, seharusnya El menyeret Noe agar tidur diluar saja. Kasihan Pedro yang mengalah harus tidur di kandang yang dingin.

Begitu keluar dari kamar mandi, El mendengus saat melihat Ervan masih di kamarnya. Mengabaikan lelaki itu, ia segera bersiap untuk pergi ke kantor. Ketika melihat Ervan hendak berbicara, ia lebih dulu menyela, "Kalau omongan lo enggak jelas, mending diem, Van."

Evan berdecak sejenak, "Ini soal wawancara. Berita soal kandidat calon Presdir udah dimuat dilaman perusah-."

"Gue enggak mau, Van," potong El cepat. Tangannya lalu menyapukan sedikit pewarna bibir.

"Lo tahu sendiri ini bukan masalah lo mau atau enggak, El," ujar Ervan yang kemudian membuka ponsel dan melihat kembali pesan dari Ben. "Ada konferensi pers untuk kalian bertiga dan sorenya waktu lo untuk wawancara."

Selesai dengan bibirnya, El bangkit untuk mengambil ponsel. "Jam berapa wawancaranya?"

"Jam tiga," jawab Ervan yang kemudian tersadar sesuai. "Jangan coba-coba untuk kabur, El."

El mendengus, "Seakan gue bisa kabur aja."

Mendengar itu tatapan Ervan seketika berubah datar. "Siapa pun juga tahu kalau kabur itu keahlian lo."

Deheman El terdengar. Merasa tersindir dengan ucapan Ervan yang sedikit benar. "Bagus dong, Van," ucapnya bangga. "Berarti kalau ketemu penjahat nanti gue bisa kabur."

"Pahlawan enggak kabur waktu ketemu penjahat, El."

"Iya sih," sahut El dengan kepala manggut-manggut. "Tapi gue bukan pahlawan tuh."

"Terserah, El," pasrah Ervan. Dia melirik jam tangan dan El yang masih bersiap. "Gue pergi duluan deh, lo bawa mobil kan?"

"Iya."

Ervan lantas keluar dari kamar El dan pergi ke kantor lebih dulu. El yang selesai dengan wajahnya lantas bangkit untuk memakai stiletto hitam. Terakhir El mengambil tas dan memasukan ponsel sebelum keluar dari kamar. Bertepatan dengan itu, Noe juga baru saja keluar dari kamarnya. El dibuat heran saat itu, Noe yang terlalu cepat mandi atau dirinya yang terlalu lama bersiap?

"Ha-hai El," sapa Noe dengan senyum canggung.

"Gue enggak ngapa-ngapain lo," tutur El mengingat peristiwa yang beberapa saat lalu.

"Iya, maaf aku berpikir yang tidak-tidak," balas Noe tidak enak. Sepanjang waktu yang digunakannya untuk mandi dan bersiap, otak Noe terus memikirkan ucapannya sendiri. Merasa konyol karena sudah bertanya yang tidak-tidak kepada El. Padahal perempuan itu hanya bermaksud baik setelah membuatnya pingsan. Meski sebenarnya secara tidak langsung El juga yang membuat dirinya pingsan.

Sebagai jawaban, El hanya mengangguk. "Soal Pedro, gue juga minta maaf."

"Iya, tapi tolong jangan diulangi lagi. Aku benar-benar takut, El."

El kembali mengangguk. "Iya, ya udah gue pergi dulu," pamitnya lantas melangkah. Baru dua langkah kakinya berhenti. Kepala El menoleh ke belakang, tepatnya ke arah lengannya yang saat ini dipegang Noe. "Kenapa?"

"Mobilmu jauh," kata Noe dengan mata melirik kaki El.

Kening El seketika mengernyit heran. "Terus?" tanyanya yang kemudian mengikuti arah pandang Noe. Awalnya El berpikir ada yang salah dengan sepatutnya karena Noe terus melihaya. Sampai kemudian ucapan Noe selanjutnya membuat El tertegun.

"Sepertinya berjalan jauh dengan sepatu itu tidak akan nyaman. Kakiku bisa sakit nanti, jadi biar aku antar."

Tanpa menunggu persetujuan El, Noe melepaskan pegangan tangannya. Berjalan ke arah parkiran untuk mengambil motor. Tak lama ia kembali dan segera meminta El untuk naik. Meski ragu, pada akhirnya El memilih untuk mendudukkan diri di belakang Noe.

"Sudah?" tanya Noe sambil melirik spion.

"Udah."

Motor Noe pun melaju menuju tempat mobil El di parkir. Selama perjalanan singkat itu, El memperhatikan punggung Noe yang berada di depannya. Dari awal bertemu El sudah tahu jika Noe ini orang baik, tidak tahu kalau ke depannya. Yang jelas sekarang ini hati sedang bertanya-tanya, yang dilakukan Noe saat ini termasuk kebaikan saja atau ... perhatian.

"Memang kakimu tidak sakit kalau bekerja dengan sepatu itu?" tanya Noe begitu mereka sampai di depan mobil El. Lelaki itu sudah lebih dulu membuka helmnya.

"Kadang sakit sih, tapi karena udah kebiasaan jadinya enggak kerasa lagi," ujar El dengan senyum simpul.

Senyum El dibalas decakan oleh Noe. "Sakit itu harus diobati El, bukannya dibiasakan."

Noe kembali melirik kaki El. "Kalau kau tidak nyaman ya ganti saja. Memangnya ada aturan di tempat kerjamu harus pakai sepatu seperti itu?"

El kembali tersenyum sebelum berucap, "Udah sana berangkat, makasih udah anterin gue."

"Ya sudah, aku jalan duluan," pamit Noe sambil memakai helm. Saat Noe membunyikan klakson sekali, El melambaikan tangannya hingga Noe hilang di belokan.

"Kira-kira, lo bisa jadi obat gue enggak ya?"

Dan El langsung mengumpat setelah mengucapkan kalimat itu. Dirinya terlalu banyak berharap.

....

Sampai ketemu di part selanjutnya^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top