19. Mengantar

Jadilah pembaca yang bijak, jangan lupa tinggalkan jejak. Komen, vote dan follow.

Happy Reading All

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

Sebagaimana pergi yang dijemput, saat pulang dari kantor El juga diantarkan meski kali ini bukan Radhi yang mengantar. Karena walaupun punya mobil sendiri, El sedang dalam mode malas menyetir. Tambahan aktivitas seperti mencari tempat parkir terlalu merepotkan. Area parkir yang disediakan pemilik kontrakan memang cukup luas, tetapi hanya diperuntukkan untuk kendaraan roda dua. Jadi daripada repot mencari tempat parkir kosong, lebih baik menumpang dan memanfaatkan salah satu dari ketiga pandawanya menjadi supir.

"Lo engggak mau mampir?" tanya El begitu mobil berhenti, seingatnya Ben belum pernah mengunjunginya. Ia lantas membuka sabuk pengaman dan bersiap untuk turun.

"Enggak deh, gue mau keliling disekitar sini."

"Ngapain?" Berkeliling disekitar kontrakannya jelas tidak akan memberi Ben manfaat berarti selain mengurangi bensin mobil.

"Radhi minta gue cari tempat parkir buat lo. Kita enggak bisa jadi supir lo tiap hari."

Ah, rupanya rencananya sudah diketahui dan seperti biasa mereka sudah menyiapkan rencana untuk menanggulanginya. Entah El harus bersyukur karena mereka terlalu kreatif, atau membatin karena mereka terlalu sulit untuk dimanfaatkan. Ya sudahlah, toh apa yang dikatakan Ben ada benarnya. Lokasi tempat tinggal mereka memang beda arah dengannya. Cadangan supirnya semua laki-laki yang mana punya kebiasaan bangun tepat waktu, dalam artian mepet tentu saja.

"El," panggil Ben setelah membuka kaca mobil. 

El yang baru saja menutup pintu mobil menyahut, "Kenapa?"

"Lo bisa ambil baju sendiri, kan? Kita masih ada urusan soalnya, terus kayaknya juga sampe malem."

Melihat Ben yang tersenyum di akhir kalimat, mata El berotasi malas. Dikira dirinya tidak tahu apa urusan yang akan mereka lakukan itu. Tetapi pada akhirnya El hanya mengiyakan saja. Mungkin ketiganya memang butuh liburan, kasihan selama satu bulan ini sudah kerja rodi. Tetapi saat mobil Ben melaju El baru teringat jika mobilnya tidak ada di sini. Yah, sepertinya dia memang ditakdirkan untuk merepotkan ketiga lelaki itu. Lihat saja besok siapa yang akan datang pagi-pagi buta untuk mengantarkan pakaiannya.

"Kenapa kau senyum-senyum sendiri?"

Tubuh El terperanjat saat mendengar suara itu. Entah sejak kapan Noe berdiri di sampingnya. Menyadari lelaki itu masih menunggu jawaban, cepat-cepat El menggeleng. "Enggak papa. Lo baru pulang?"

"Iya," jawab Noe yang kemudian melangkah menuju kontrakan diikuti El. "Kau mau langsung makan?"

"Iya, tapi mau nyimpen tas dulu." El menunjukkan tasnya sebelum masuk ke kamar. Menyimpan benda tersebut dan mengganti stiletto yang membalut kakinya dengan sandal jepit. Ia juga mencuci tangan dan wajah sebelum keluar dan bergabung bersama Noe. Saat dirinya keluar, rupanya Dian sudah pulang dan sedang membuka bungkusan makanan yang dibeli Noe.

"Ini punyamu, El."

El menggunakan terima kasih saat menerima satu porsi makanan dari Noe. Begitu bungkusan nasi dan sate terbuka, mata El mengedar mencari sesuatu.

"Cari apa, El?" tanya Noe karena El masih juga mencari.

"Ini enggak ada sendoknya, ya?"

"Sepertinya tidak ada. Sebentar aku ambilkan." Noe bangkit dan masuk ke kamar. Lelaki itu keluar membawa sebuah sendok lalu memberikannya kepada El.

"Lo enggak pernah makan pake tangan ya, El?" tanya Dian di tengah suapannya.

"Iya," jawab El pendek. Sedari kecil El memang tidak pernah makan menggunakan tangan langsung. Pernah beberapa kali mencoba tetapi El tetap tidak terbiasa, entahlah rasanya aneh saja.

Dalam diamnya Noe mengingat saat mereka pertama kali makan bersama tanpa kehadiran Dian. Memang saat itu, dalam makanan yang dibelinya ada sendok plastik. Saat Noe memilih makan langsung menggunakan tangan, El menggunakan sendok plastik itu. Rupanya El ini tidak terbiasa makan menggunakan tangan secara langsung. Yah, setiap orang berbeda-beda, kan.

Sekitar pukul sembilan tiga puluh mereka selesai makan. Ketiganya masih betah duduk di depan kamar Noe usai mencuci tangan dan merapikan bekas makan. Dian dan Noe lebih banyak membuka obrolan sementara El manjadi pendengar yang sesekali menyahut. Hingga kemudian sosok yang mengantarkan El pulang tadi tiba-tiba muncul di depan mereka.

Mata El memicing saat menyadari pakaian Ben yang jauh dari kata rapih. Lelaki itu sudah menanggalkan jas dan dasi, menyisakan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku. Kemeja yang tampak kusut dengan dua kancing teratas yang tebuku. Tahu jika Ben pasti mencarinya, El bertanya dari posisinya yang sedang duduk menyandar pada tembok. "Kenapa?"

Bukannya menjawab, Ben malah melirik dua orang yang duduk di dekat El. Meski sudah tahu dari Radhi dan Ervan, ia merasa asing dengan pemandangan El bersama mereka. Kedua orang itu tampak penasaran dengan kehadirannya, maka Ben memperkenalkan dirinya. "Hai, kenalin gue Ben."

Uluran tangan Ben disambut pertama kali oleh Dian yang langsung menyebutkan namanya. Baru kemudian Noe juga melakukan hal yang sama. Begitu jabat tangannya dan Noe terlepas, matanya menatap El penuh selidik.

Tidak mau Ben bertanya macam-macam, dengan cepat El menanyakan maksud kedatangan Ben. "Lo ngapain ke sini?"

Seakan tersadar akan tujuannya, Ben merogoh saku celana dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Mobil lo parkir di depan ruko kosong, jaraknya dua ratus meter dari sini," jelasnya usai memberikan kunci mobil.

Bukannya berterima kasih El justru mendengus. "Kalian enggak mau gue repotin pagi-pagi, kan?"

Ben menjentikkan jarinya seraya berucap, "Nah, itu lo tahu. Kapan lo mau ambil baju? Mau bareng sama gue perginya?"

El menggeleng, "Enggak usah, lo pergi duluan aja. Gue bisa sendiri."

"Tapi ini udah malem, El," ucap Ben yang kemudian melirik jam di pergelangan tangan. Matanya lalu melirik Dian dan Noe. "Kalian bisa pergi temenin El?"

"Duh, kalau gue enggak bisa Mas. Bentar lagi mau bikin laporan," ujar Dian tampak menyesal. Pekerjaannya yang belum selesai memang dibawa pulang dan harus dikirimkan sebelum tengah malam.

"Udahlah lo balik aja, bentar lagi gue pergi. Biasanya juga pergi sendiri kok."

"Gue enggak tenang kalau lo pergi sendiri."

"Biar aku yang antar, El." Noe tiba-tiba bersuara.

"Wah beneran nih, makasih Noe. Ya udah gue pulang dulu." Ben mendekat, membungkukkan tubuhnya hingga bibirnya bisa mengecup kening El sejenak. Lambaian tangannya bergerak seirama kakinya yang melangkah menjauh. Lelaki itu memasuki mobil Radhi yang memang sengaja menunggu.

"Lo bener, kayaknya dia suka sama El," ucapnya saat mobil yang dikemudikan Radhi melaju.

Di sampingnya Radhi berdecak. Sambil menginjak pedal gas ia berucap, "Bukan kayaknya lagi bego. Yang jadi masalah, Elnya suka sama dia apa enggak."

Di depan kamar Noe, tersisa El dan si pemilik kamar. Dian sudah kembali ke kamarnya untuk membuat laporan. Noe melihat jam pada ponselnya sebelum bertanya, "Kau mau pergi kapan, El?"

"Sekarang sih, tapi gue bisa pergi sendiri kok," jawab El cepat. Tidak enak kalau harus merepotkan Noe yang baru saja pulang kerja.

Tidak mengindahkan ucapan El, Noe bangkit untuk menutup kemudian mengunci pintu. "Ini sudah malam, biar aku antar. Ayo."

Mau tidak mau El pun bangkit. Ia lebih dulu mengambil ponsel dan dompet di kamar. Keduanya lalu berjalan bersisian menuju mobil El yang kata Ben di parkir dua ratus meter.

"Huh, dua ratus meter apanya. Ini sih hampir satu kilo," gerutu El begitu tiba dimana mobilnya terparkir. Ben benar-benar buruk dalam urusan menghitung.

"Dia kan hanya pakai perkiraan," sahut Noe kalem. Sesungguhnya saat Ben menyebutkan lokasi mobil El parkir, ia agak bingung juga. Tidak ingat jika ada ruko kosong di sekitar kontrakannya. "Mana kuncinya, biar aku yang nyetir."

El menyerahkan kunci mobilnya dengan ragu. "Lo bisa nyetir mobil?"

"Kalau tidak, buat apa aku minta kunci mobil."

El menaik-turunkan kepala sebelum memasuki mobilnya. Walau baru satu bulan, El merasa sudah lama tidak menaiki mobilnya itu.

"Kita mau kemana?" tanya Noe begitu kakinya menginjak pedal gas.

Selanjutnya Noe mengemudikan mobil El sesuai tempat yang ingin perempuan itu datangi. Keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah butik di kawasan Jakarta Barat setengah jam kemudian. Ia turun dan mengekori El yang berjalan lebih dulu. Seorang pegawai tampak menyambut kedatangan mereka begitu masuk.

"Tante kira Ben yang mau ambil," ucap seorang perempuan yang tiba-tiba muncul. Noe mengira jika perempuan setengah baya itu pemilik dari butik yang mereka datangi. Sebab perempuan itu tidak mengenakan pakaian yang digunakan pegawai lainnya. Tampaknya juga, perempuan itu mengenal El sebagaimana para pegawai. Keduanya langsung berpelukan saat berhadapan.

"Ben lagi sibuk, Tante," ucap El begitu pelukan mereka terlepas.

Fani–mama Ben itu seketika berdecak, tahu kesibukan apa yang sedang dilakukan putranya. "Tante udah denger soal Arka. Tante enggak nyangka dia bisa begitu padahal per–"

"Kita emang belum jodoh, Tan," sela El cepat. Tidak mau membahas masalah hubunganya, terlebih ada Noe di sana.

Beruntung Fani mengerti dan segera menyadari kehadiran Noe."Ini siapa?"

"Malam Tante, saya Noe, tetangganya El." Noe langsung memperkenalkan dirinya dengan sopan.

Fani juga turut memperkenalkan diri. Beberapa kali anaknya pernah menyebut nama lelaki ini saat mereka membicarakan El. "Kamu pasti betah ya El, tetangganya ganteng begini."

"Tante apaan sih. Ini bajuku mana?"

"Oh iya, kamu coba di ruangan Tante ya. Ruang gantinya lagi dipakai sama calon pengantin jadi agak lama," jelas Fani sebelum memanggil pegawainya untuk mengambilkan pakaian El.

"Iya, Tante."

Fani beralih kepada Noe lalu memberikan senyumnya. "Noe kamu duduk dulu aja ya."

"Iya, Tante." Noe melipir ke sofa yang ada di butik itu. Di bagian lain sofa juga ada seorang laki-laki yang sebaya dengannya.

Tidak berselang lama setelah El masuk ke ruangan Fani, seseorang keluar dari ruangan ganti. Fani menyambut antusias perempuan yang sedang mengenakan gaun pernikahan rancangannya itu. "Gimana Naila, ada yang kurang?"

Mendengar nama Naila disebut, Noe langsung bereaksi. Iya, Noe tahu dirinya konyol padahal perempuan dengan nama itu jelas bukan hanya mantan pacarnya saja. Tetapi dengan bodohnya, Noe tetap mengarahkan pandangannya kepada perempuan yang kini berdiri di samping Fani. Seharusnya tadi Noe tidak usah penasaran. Baiknya Noe tetap fokus memainkan ponsel tanpa terusik dengan nama tersebut. Jika begitu, maka ia tidak akan melihat perempuan yang dulu pernah menjadi Naila-nya.

Yah, perempuan itu benar Naila yang Noe kenal. Tampak cantik dengan balutan gaun pengantin yang indah. Dan saat tatapan mata mereka bertemu, Naila tampak kaget sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain. Itu juga yang seharusnya dilakukan Noe sejak tadi. Tidak baik memandangi calon istri orang lama-lama, terlebih saat calon suaminya ada disini.

Lelaki yang tadi duduk disalah satu sofa yang ada di dekat Noe bangkit. Kakinya melangkah pasti ke arah Naila sambil tersenyum. Lelaki itu tidak sungkan untuk meraih punggung tangan Naila, mengecupnya, lantas memujinya, "Kamu cantik, Nai."

.....

Sampai ketemu di part selanjutnya^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top