18. CCTV
Jadilah pembaca yang bijak. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, komen dan follow
Happy Reading All ..
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
Abra tidak tahu apa yang sebenarnya ia harapkan saat meminta El untuk pulang. Dirinya mungkin terlalu munafik saat menginginkan El kembali ke rumah. Seperti ucapan El, anaknya itu mungkin sudah tersesat terlalu jauh. Tetapi Abra yang lebih mengerti jika ialah penyebab El tidak tahu arah untuk kembali. Ia yang mendorong putrinya hingga terjebak dalam labirin tak berujung.
Usia El sepuluh tahun saat pertama kali melihat Abra menampar Samara–istri Abra yang juga ibu El. Awalnya hanya satu kali di hari itu hingga berlanjut berkali-kali. Tidak hanya tamparan, tangan Abra begitu ringan saat memukul bagian tubuh istrinya yang lain. Emosi menguasainya saat itu, bahkan Abra juga pernah melayangkan pukulan kepada El saat bocah kecil itu berniat menghentikannya.
Samara selingkuh. Sebanyak apa pun perempuan itu menyanggah dan sekuat apa pun Abra berusaha untuk percaya, bukti saat itu terlalu nyata. Terlalu kuat untuk dianggap angin lalu. Lalu dengan kebodohannya, Abra secara terang-terangan membawa perempuan lain ke rumah. Dia bahkan dengan sengaja berhubungan dengan perempuan itu di depan Samara. Ingin Samara merasakan apa yang ia rasakan.
Sampai kemudian Abra tahu jika semua itu konspirasi keluarganya sendiri. Sejak awal Samara yang hanya perempuan biasa memang bukan pilihan keluarganya. Tetapi Abra kira mereka bisa menerima Samara setelah tahun-tahun yang mereka lewati. Terlebih El juga sudah hadir di antara mereka. Meski memang saat kelahirannya, anggota keluarga lain tidak senang saat tahu El perempuan. Padahal saat USG, jenis kelamin anaknya adalah laki-laki. Kabar buruknya lagi, setelah itu Samara tidak bisa hamil karena kandungannya terlalu lemah. Hal itu jelas bukan masalah bagi Abra, Samara dan Elvano telah melengkapi hidupnya.
Setidaknya sebelum insiden perselingkuhan yang direncanakan itu terjadi. Dalam sekejap Samara dan El bukan lagi kesayangannya. Bahkan Abra sempat meragukan jika El bukan anak kandungnya. Konyol memang dan penyesalan selalu datang terlambat. Abra mendapati istri tercintanya bersimbah darah saat pulang dari kantor. Samara berhasil selamat hari itu, tetapi Samara mencoba melakukan upaya bunuh diri lainnya. Perempuan itu sudah tidak bisa tertolong kejiwaannya. Dengan berat hati Abra memasukan istrinya sendiri ke rumah sakit jiwa.
Dan semua peristiwa itu tidak luput dari perhatian gadis kecilnya. Disaat dia kalut dan Samara hilang akal, tidak ada seorang pun yang merengkuh gadis kecil itu. Tidak ada yang menghapus air matanya saat melihat ibunya berkali-kali dipukul. El hanya ditemani pengasuhnya yang jelas tidak terlalu peduli pada perasaan anak itu. Tugasnya hanya sebatas menjaga dan membesarkan El.
Abra benar-benar menyesali perbuatannya. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan untuk merubah keadaan. Setiap berusaha mendekati El, anak itu langsung melangkah mundur. Pernah sekali Abra mendatangi El di kamarnya saat malam hari. Tubuh El bergetar dan beringsut ke ujung kasur saat melihatnya. Takut. Hanya itu yang bisa El perlihatkan sejak Abra memukulnya.
Dengan perasaan tidak karuan, Abra keluar dari kamar El. Tidak tega melihat El ketakutan seperti itu. Sejak itu, Abra membiarkan semua terjadi apa adanya. Dia tidak ingin membuat El merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Tetapi diamnya tidak cukup untuk menahan El tetap disisinya. Putrinya keluar dari rumahnya saat bertemu Arka.
Semenjak itu El menjadi pribadi yang pendiam. Anak itu kehilangan simpati kepada orang-orang disekitarnya. Sebagaimana mereka tidak peduli padanya, maka El juga bersikap acuh dan tidak peduli, bahkan terhadap anggota keluarga yang lebih tua. Waktunya habis dipakai untuk belajar. Menciptakan musuh dari orang-orang yang tidak menyukai kehadiran dirinya dan sang ibu sedari awal. Menyusun rencana sedemikian rupa untuk menghancurkan kebanggaan keluarganya.
Sampai kemudian El bertemu dengan Arka, lelaki yang mampu membuat El kembali merasakan simpati. El tidak bisa mengabaikan Arka seperti kebanyakan orang. Lelaki ramah itu berhasil membuatnya mempedulikan orang lain selain ibu, Radhi, Ervan, dan Ben yang dikenalnya di SMA. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya menjalin hubungan. El yang baru menyelesaikan masa magangnya lalu memutuskan untuk tinggal bersama Arka di apartemen.
Saat itu, Abra sebagai ayah jelas tidak bisa mencegah walaupun ingin. Karena ia tahu, sebenarnya El sudah ingin keluar dari rumah besarnya sejak dulu. Mungkin tepatnya sejak ibunya masuk ke rumah sakit jiwa usai beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. El tahu semuanya dan dia berniat menuntut balas atas apa yang terjadi kepada ibunya. Bekerja di Encompas merupakan salah satu langkahnya.
Tidak ada niat Abra untuk melarang. Secara diam-diam dia bahkan membantu El. Dahulu Abra tidak bisa membalas seperti El karena orang tuanya terlibat. Tetapi El sama sekali tidak punya beban terhadap kakek neneknya atau keluarganya yang lain. Sudah dikatakan bukan, El tidak lagi peduli terhadap orang-orang di sekitarnya.
Sayangnya, disaat usahanya hampir selesai, orang yang dianggap sebagai penyelamat justru mengkhianatinya. Arka selingkuh dengan Arinda–sekertaris El–hingga perempuan itu hamil. Pernikahan yang sedang direncanakan dibatalkan sepihak oleh El tanpa konfirmasi kepada keluarga. Terlebih kepada keluarga Arka. El tidak bisa mengatakan jika Arka menghamili wanita lain saat mereka mempersiapkan pernikahan. Dan sekali lagi, El harus sendirian saat menghadapi situasi itu.
"Tolong jangan halangi aku."
Ucapan itu sukses menarik Abra kembali. El masih berdiri diambang pintu. Menarik napas, Abra berujar,
"Paman kamu bukan orang yang mudah di lawan, El."
"Aku tahu," balas El pendek. Mendesah pelan, matanya memandang Abra sungguh-sungguh.
"Aku enggak pernah berharap Papa akan mendukungku. Tapi aku benar-benar berharap kalau Papa enggak akan menghalangi jalanku."
Abra tidak sempat merespon karena El langsung keluar dan menutup pintu ruangannya. Senyum simpul terukir saat pintu ruangan tertutup, selama ini justru Abra yang membersihkan jalan El dari penghalang. Membuat El tidak harus terjebak macet di sana-sini. Tetapi, biarlah itu menjadi rahasianya bersama ketiga lelaki yang selalu mendampingi El selama ini.
Meninggalkan ruangan Abra, El segera kembali ke ruangannya. Ben langsung menyodorkan beberapa map saat bokong El baru saja mendarat di kursi. Seandainya tidak mengenal Ben dengan baik, dia tidak akan menerima lelaki itu sebagai sekertaris barunya. Selain cerewet, Ben ini benar-benar menyebalkan. Tapi kalau diingat lagi, sebenarnya ketiga lelaki yang berada disekelilingnya menyebalkan semua. Radhi si pengatur yang sering mengomel, Ben si pembicara heboh yang tidak kenal titik, dan Ervan si pengawas yang tahu segalanya. Huh, sepertinya Ben akan cocok dengan Dian. Kebetulan sekali hubungan Ben baru berakhir, mungkin El akan mengenalkan mereka nanti.
Suara gebrakan seketika mengejutkan El. Ditatapnya Ben datar karena perbuatannya barusan. "Lo ngapain sih?"
"Ada juga lo yang ngapain?" tanya Ben sewot. "Gue ngomong udah sampe Merauke tapi lo malah bengong."
El berdecak. "Lo ketinggalan Ben, gue udah sampe Sabang nih."
"El ..." panggilnya gemas. "Dua bulan ke depan kita bakal hectic banget, dan lo masih bisa ngelamun."
"Tolong bedain ngelamun sama berpikir ya," sahut El sebelum meraih map berwarna biru dan membukanya.
Kali ini Ben yang berdecak. Matanya yang sipit kemudian memicing hingga tersisa segaris saja. "Lo enggak lagi mikirin tetangga lo itu, kan? Duh, siapa ya namanya?"
"Noe, dan gue enggak lagi mikirin dia," El mengangkat kepalanya dari map, memandang Ben penuh selidik. "Pasti Ervan yang laporan soal dia, kan?"
"Kalau tahu ngapain nanya. Lagian lo baru ketemu langsung nyosor aja," ujarnya tidak percaya. Kabur adalah hal yang ia lakukan jika jadi Noe. Sebagai manusia berjenis kelamin laki-laki, Ben yang biasanya nyosor bukan disosor.
"Laporan Ervan sedetail itu ya?"
Menarik kursi, Ben mendudukkan dirinya di depan El. "Bukan Ervan yang laporan, sih. Gue liat sendiri soalnya Ervan kan pasang CCTV di–" menyadari dirinya telah kelepasan, Ben segera menutup mulutnya seraya bangkit perlahan dari kursi.
Di tempatnya mata El menghunus Ben layaknya laser. Kini perempuan itu mengerti bagaimana ketiga lelaki itu mengawasinya. CCTV ya. Pantas saja mereka bisa dengan mudah mengetahui insiden malam itu. El membuka mulut hendak mengajukan pertanyaan ketika pintu ruangannya terbuka. Pelaku yang lebih seperti pengawas berdiri di sana, tampak bingung karena tatapan tajamnya juga Ben yang seperti ingin menghilang dari sana.
"Sejak kapan lo pasang CCTV di kontrakan gue, Van?" Dengan suara rendahnya El bertanya. Mengalihkan pertanyaan yang tadi akan diajukan kepada Ben.
Sontak Ervan melotot ke arah Ben yang langsung meminta maaf tanpa suara. Ketahuan oleh El bukan pertanda baik. Tergagap, Ervan pun menjawab. "Se-sehari sebelum lo tinggal di sana. Radhi yang nyaranin supaya kita bisa pantau lo terus."
"Masuk, Van. Ngapain berdiri di pintu, ngalangin jalan tau." Radhi yang baru saja datang dan tidak tahu situasi, mendorong tubuh Ervan ke dalam.
"Jadi lo dalang dari CCTV-nya, Dhi?"
Pertanyaan El disambut pelotototan dari Radhi. Sejak kapan El tahu, itulah pertanyaannya. Maka Radhi melirik Ervan yang langsung menunjuk Ben dengan wajahnya. Kini ketiga lelaki dewasa itu hanya bisa saling tatap dan menyalahkan. Harusnya tadi Radhi menarik Ervan keluar, bukan malah menjerumuskan diri seperti ini.
"Gu-gue masih ada urusan di bawah. Kita bahas ini nanti ya," ucap Radhi yang langsung berbalik.
"Tutup pintunya dari dalam, Dhi."
Suara El kembali terdengar. Radhi yang tinggal selangkah lagi keluar pun mengurungkan niat. Perlahan tangannya menutup pintu dari dalam sesuai instruksi El. Ekspresinya begitu nelangsa saat tubuhnya berbalik. Habis sudah mereka sekarang.
"Kalian kreatif banget ya," komentar El sambil tersenyum. Tetapi siapa pun tahu senyum itu tampak mengerikan.
Sidang dengan tiga terdakwa itu dilangsungkan selama setengah jam. Status mereka dibebaskan setelah berusaha menyakinkan El jika perbuatan mereka didasarkan atas kekhawatiran terhadap El sendiri. Meski tampak kesal, El memaafkan mereka dan tidak lagi mempermasalahkan keberadaan CCTV di kontrakannya. Ketiga lelaki itu pun bisa keluar dari ruangan El dengan selamat.
Di depan ruangan El begitu keluar, mereka saling menyalahkan satu sama lain. Seperti anak-anak yang ketahuan berbuat salah saat dimarahi ibunya. Membuat El yang masih ada di ruangannya tersenyum mendengar perdebatan kecil mereka.
"Dasar bocah."
....
Sampai ketemu di part selanjutnya^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top