11. Sakit
11. Sakit
Meski demam masih menyerang, Noe tetap memilih untuk masuk kerja. Ia merasa, tubuhnya masih mampu untuk di bawa naik angkutan umum dan duduk di kursi putarnya. Noe cukup sadar untuk tidak mengendarai kendaraan dalam keadaan sakit.
"Badan lo panas banget, Bang," ucap Dinda setelah menarik tangannya.
Yah, walaupun tanpa memeriksa tubuh Noe, Dinda akan tahu jika lelaki itu sedang tidak enak badang. Tampak jelas dari wajah loyo dan pucatnya. Hanya saja, Dinda tidak akan percaya Noe sakit jika tidak membuktikannya sendiri. Pasalnya, Noe ini manusia super kebal. Ditimpa beberapa naskah dalam deadline singkat, tidak lantas membuatnya tumbang. Lembur berhari-hari juga tidak membuat Noe roboh. Pokoknya, Noe itu jarang sekali sakit. Dan Noe sendiri jarang tahu dirinya sakit.
"Lo udah periksa?" tanya Revan yang kini menghampiri Noe.
"Kok belum sih!" pekik Dinda saat Noe menggeleng.
"Aku sudah minum obat," ucap Noe dengan suara pelan.
"Ya tapi, kan, lo harus periksa ke dokter. Lagian ngapain masuk sih kalau lagi sakit. Izin aja kali. Jangan maksain diri kayak gini. Kalau tambah parah gi–"
"Din," panggil Revan, menginterupsi ucapan penuh cemas dari Dinda yang sebenarnya belum mencapai tanda titik. Matanya mengisyaratkan Dinda untuk melihat Noe yang kini memejamkan mata.
"Tuh kan, mending balik aja deh, Bang."
Kelopak mata Noe terbuka sebelum menggelengkan kepala. "Tanggung, sudah sampai kantor."
"Tapi–"
"Aku pulang kalau tidak kuat," ucap Noe berusaha meyakinkan.
Dinda pun pasrah. Dia hanya berharap jika Noe tidak memaksakan diri. Sebelum memulai pekerjaannya, Dinda menawarkan untuk membuatkan teh hangat untuk Noe.
"Jangan dipaksain, Noe. Kalau gak kuat, bilang. Entar gue anter lo balik."
"Iya," sahut Noe yang kini menghidupkan layar komputer. Dia mengucapkan terima kasih kepada Dinda, ketika perempuan itu meletakkan secangkir teh hangat di mejanya.
Walau sedari awal Noe merasa kepalanya pening, Noe merasa bisa melakukan pekerjaan seperti biasa. Namun ternyata pertahanan tubuhnnya tidak sekuat itu. Bahkan, belum mencapai tengah hari Noe sudah tidak kuat. Pening di kepalanya semakin menjadi. Alhasil, sekarang kepalanya tergeletak di atas meja.
Noe tidak bisa menolak ketika Gavin datang dan mengantarnya pulang. Malahan, Noe tidak bisa bereaksi banyak. Untuk berjalan saja, tadi Noe dipapah oleh Gavin dan Revan. Sementara Dinda membawakan jaket dan ranselnya. Gavin tentu saja tidak langsung mengantar Noe pulang. Dia terlebih dahulu membawa bawahan sekaligus temannya itu ke rumah sakit. Karena kalau langsung pulang, Gavin yakin Noe tidak akan segera periksa mengingat laki-laki itu tinggal sendiri. Karena Noe menolak untuk di rawat, maka Gavin langsung mengantarnya pulang setelah diperiksa dan mendapatkan obat.
"Katanya, lo ketemu sama Naila," ucap Gavin ketika mobilnya berhenti di lampu merah. Matanya melirik Noe yang kini terpejam. Dia yakin Noe tidak tidur.
"Apa sekarang kau suka bergosip macam perempuan?" tanya Noe tanpa membuka kelopak matanya.
Sontak Gavin terkekeh. "Gue cuma penasaran, kenapa lo enggak kasih tahu Naila yang sebenarnya."
Rupanya ucapan Gavin berhasil membuat mata Noe terbuka. "Kalau aku beri tahu, dia akan semakin berharap."
Decakan Gavin terdengar bersamaan dengan kakinya yang kembali menginjak pedal gas. "Pantes Naila bilang lo gak mau berjuang. Ditolak sekali udah mundur."
"Aku cuma melakukan hal yang efisien, Vin. Toh, hasilnya tidak akan berubah meski aku lamar dia puluhan kali. Orang tuanya tak setuju."
"Kenapa kau tak bilang langsung saja?" tanya Noe kemudian. Jika diingat, rasanya risih juga melihat Gavin yang selalu memberikan kode.
"Lo pikir gue belum pernah coba?" tanya Gavin dengan getir.
"Jawabannya?"
"Dia enggak pernah jawab. Persis gue dulu saat berulang kali Dinda bilang suka sama gue."
Sedikit memaksakan diri, Noe menoleh ke samping. Melihat ekspresi murung di wajah Gavin. Mereka sudah kenal sejak kuliah. Tapi rasanya, tidak pernah sekalipun Gavin menyebut atau memperkenalkan Dinda. Mungkin karena menyadari raut penasaran dari Noe, Gavin lantas mengangguk.
"Iya. Gue kenal Dinda sejak SMA."
"Jadi, Dinda sedang balas dendam?"
Gavin mengangkat bahunya. "Kalau iya, gue seneng. Artinya dia masih ada rasa sama gue. Tapi kalau ternyata dia begitu karena emang udah enggak peduli," kembali Gavin mengangkat bahu. Namun Noe bisa dengan mudah mengartikannya.
"Kadang ironis ya," Gavin kembali bersuara, kali ini dengan dramatis. "Kalian yang saling cinta aja gak bisa bersatu. Gimana gue coba."
Untuk pertama kalinya, hari itu Noe tertawa. Menertawakan dirinya sendiri juga Gavin. Yah, takdir kadang memang selucu itu. Setidaknya Gavin masih sedikit lebih beruntung darinya. Sebab Dinda juga mencintai Gavin. Noe bisa mengetahuinya meski Dinda seringng kali berkilah lalu dianggap tidak peka. Namun Noe tidak akan memberitahu hal itu. Karena sampai saat ini, Dinda pun tidak memberikan kepastian kepada Gavin. Bukan haknya untuk memberitahu Gavin meski lelaki itu temannya.
Sampai di kontrakan, Gavin kembali memapah Noe. Usai memastikan lelaki itu beristirahat, ia langsung pamit. "Besok gak usah masuk dulu."
"Iya."
"Jangan iya-iya mulu. Awas aja kalau besok lo ngantor, gue panggilin ambulans buat lo."
"Iya," ucap Noe mengulangi. "Kau ini macam istriku saja, sangat perhatian."
Di ambang pintu Gavin mendengus keras. "Lo beneran sakit, kan?"
Tidak ada jawaban dari Noe hingga kemudian Gavin kembali bersuara."Serius gue, gak usah masuk dulu. Panas tahu, liat Dinda khawatir sama lo kayak tadi."
Dari atas tempat tidur, Noe menatap Gavin tidak percaya. Wajah Gavin saat merajuk benar-benar menyebalkan. Terlebih dengan bibir yang mengerucut itu. "Kau cemburu dengan orang sakit, Vin?"
"Ya abis, kalau gue sakit, dia enggak pernah tuh perhatian sama gue. Kan, ngenes, gue perhatian sama dia, dianya perhatian sama lo."
Menggeleng beberapa kali, Noe lantas mengusir Gavin keluar. Tidak mau mendengar lebih jauh curahan hati Gavin. Seandainya jadi judul FTV, Noe yakin judulnya akan memenuhi layar televisi. Perempuan yang aku cintai, perhatian dengan temanku. Huh, kan tidak lucu.
Sepeninggal Gavin, tidak lantas membuat Noe langsung memejamkan mata. Ponsel menjadi atensinya. Benda tersebut terus berdering tanda pesan masuk. Dia mendesah pelan begitu selesai membaca beberapa pesan yang masuk. Didominasi oleh Dinda, perempuan itu terus menanyakan keadaannya. Seharusnya tadi ia tidak perlu membuka dan membaca pesan yang bisa dilihat lain kali itu.
Noe baru akan menyimpan ponsel ketika satu pesan baru masuk. Nama El tertera di sana di sana. Isi pesan El sama seperti kemarin, perihal titip-menitip makanan. Tanpa berniat untuk membalas pesan itu, Noe malah mematikan ponselnya. Ia ingin beristirahat dengan tenang.
Tetapi Jangankan istirahat, di atas tempat tidur matanya malah menatap langit-langit dengan nyalang. Pikirannya sibuk memikirkan pesan El yang hanya terdiri dari dua kata tadi. Memikirkan bagaimana bisa El masih bisa bersikap biasa padanya setelah apa yang terjadi semalam. Tidak sungkan ataupun merasa canggung seperti dirinya.
Itu bukan ciuman pertama Noe. Diusianya yang sudah lebih dari seperempat abad, dirinya pernah beberapa kali mencium perempuan yang sedang berhubungan dengannya, itupun biasanya dia yang memulai lebih dulu. Nah, sekarang masalahnya, El itu hanya tetangganya. Perempuan itu menciumnya lebih dulu padahal kehadirannya saja sulit terdeteksi meski tinggal tepat di sebelahnya. Lalu kalau dihitung-hitung, pertemuan mereka juga bisa dihitung dengan jari.
Selain nama lengkap, Pedro dan temannya Radhi, Noe bahkan tidak tahu informasi apapun terkait El. Bukan berarti Noe ingin mengenal El lebih jauh, hanya saja, kalau dipikir seperti itu, rasanya dia benar-benar merasa asing dengan El. Dan apa yang mereka lakukan semalam bukan hal wajar untuk dilakukan, yah setidaknya itu bagi Noe.
Wajar ya. Mengingat reaksi El yang biasa saja semalam ataupun hari ini, mungkin perempuan itu sudah sering mencium laki-laki. Hah ... memikirkan kemungkinan itu Noe kembali mendesah. Sebelah tangannya terangkat untuk kemudian menutup matanya yang enggan terpejam. Entah kenapa pemikiran itu membuatnya sedikit terganggu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top