1. Tetangga misterius
*****
Seperti yang sudah-sudah, Noe akan membeli makanan dan memakannya di kontrakan begitu pulang kerja. Membawa pulang tiga porsi makanan berbeda dalam satu plastik. Titipan dari kedua tetangganya yang tidak tahu sopan santun dan selalu merepotkan. Yang lebih mengherankan lagi, dirinya selalu mau dititipi. Padahal di antara mereka bertiga, dialah yang biasa pulang paling terakhir.
Rutinitas itu tetap berlanjut sampai saat ini. Bahkan, ketika satu tetangganya sudah pindah sejak memutuskan untuk menikah. Bedanya, dalam satu plastik yang saat ini sedang dibongkar Dian, hanya ada dua porsi makanan, miliknya dan perempuan itu. Selain jumlah makanan yang berkurang, tempat mereka makan pun berubah. Ketika masih ada Kinan di tengah-tengah mereka, perempuan itu yang biasanya memutuskan mereka akan makan dimana. Mungkin efek usia Kinan yang lebih muda, membuat mereka yang punya adik mau-mau saja mengikuti ucapan Kinan.
Sejak kepindahan Kinan, keduanya hanya makan di depan kamar Noe. Alasannya, Noe malas kalau harus berjalan ke kamar Dian. Alasan yang langsung dicibir oleh Dian saat itu juga. Mengingat jika mereka hanya dipisahkan oleh satu kamar kontrakan. Seberapa jauh memang jaraknya? Namun meski begitu, Dian tetap menuruti keinginan Noe. Cukup sadar diri sudah merepotkan Noe, tidak perlu lagi melunjak hanya untuk meributkan tempat makan. Toh, ada untungnya juga, kamarnya jadi tidak kotor.
"Eh Bang lo tahu gak?"
Gerakan Noe yang sedang melepas karet dari bungkusan terhenti. Matanya terpejam sesaat begitu mendengar nada suara Dian yang antusias. Merasa heran untuk sesaat, tidakkah perempuan itu merasa lelah setelah bekerja seharian. Bagaimana bisa, Dian masih punya energi untuk menceritakan tentang gosip ataupun kejadian yang dialaminya. Kalau tidak ingat perutnya yang harus diisi, Noe akan memilih langsung tidur begitu tiba di kontrakan.
Noe merasa Kinan sangat beruntung. Perempuan itu sudah terbebas dari koran bicara yang saat ini sedang menatapnya, menunggu respon. Padahal tanpa perlu responnya, Dian akan tetap bercerita. Maka setelah menghela napas, Noe menjawab singkat. "Tidak."
"Sama!" pekik Dian dengan nada tidak percaya. "Gue juga baru tahu tadi sore," lanjutnya.
"Tahu apa?" tanya Noe agak penasaran. Sebab, biasanya Dian tidak pernah tidak tahu tentang apapun.
Sesuap nasi dan bebek goreng lebih dulu masuk ke mulut Dian. Tampaknya kali ini, masalah perut lebih penting dibanding gosip yang akan diceritakan. Begitu makanan di mulut tertelan, tangan kirinya menunjuk bekas kamar Kinan. Kamar yang biasanya gelap, bahkan sampai malam ini karena belum ada penghuni baru. Yah, itu yang diketahuinya dan Noe. Sampai tadi sore, saat dirinya membayar uang kontrakan, ibu kontrakan menanyakan tentang tetangga barunya.
"Kamar itu udah ada yang ngisi."
"Setan yang isi," sahut Noe asal. Kembali fokus pada bebek gorengnya yang masih mengepul.
"Yeh, gak percaya. Ibu kontrakan bilang, itu kamar udah ada yang ngisi dari seminggu yang lalu."
Ucapan Dian membuat Noe menatap lebih lama ke arah kamar kontrakan yang diapit kamarnya dan Dian. Meneliti sesuatu, yang kiranya bisa memvalidasi ucapan perempuan yang sedang makan di sebelahnya. Jika memang kamar itu sudah ada yang mengisi seminggu yang lalu, mengapa tak pernah sekalipun lampunya menyala di malam hari?
"Masa sih Yan?" tanya Noe pada akhirnya.
"Aneh kan, Bang? Kayak gak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Atau jangan-jangan ... dia mati lagi di sana."
Sebuah irisan timun melayang ke wajah Dian. Pelakunya kini memandang perempuan itu dengan datar. "Jangan bicara melantur kau."
Melupakan protesnya setelah dilempar timun, Dian berujar. "Ya masa, udah seminggu gak pernah keliatan Bang. Wajar dong gue ngerasa aneh."
Aneh sih aneh. Tidak seperti itu juga, kan. Masa orang dikira sudah meninggal. Kalau dia mendengar dan tersinggung dengan ucapan Dian, repot urusannya. Mereka akan menjadi tetangga entah untuk berapa lama. Kalau kesan pertama saja sudah buruk, bagaimana ke depannya. Bisa-bisanya salah satu dari mereka tidak betah dan memutuskan pindah.
"Mungkin dia orang sibuk. Pergi pagi pulang malam," ucap Noe mengutarakan pemikiran yang terlintas.
"Sibuk apa sih Bang," sanggah Dian. "Maksud gue, sepagi apa dia keluar dan semalem apa dia pulang coba? Kerjaan paling pagi dimulai jam delapanan."
"Ya mana kutahu Yan. Kenapa tidak kau tanya sama dia." Noe kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Kalau orangnya nongol, udah gue tanyain dari kapan kali, Bang. Siapa tahu bisa jadi jodoh gue."
"Memangnya dia laki-laki?" tanya Noe di sela kunyahanya.
Kepala Dian mengangguk, "kata ibu kontrakan, dia laki-laki."
"Belum tentu juga dia mau sama kau yang macam radio rusak," cibir Noe seraya membereskan bekas makannya.
"Mulut lo Bang," sela Dian cepat. Bukannya mendoakan, Noe malah mencibir. "Ngomong manis dikit bisa kali Bang."
"Aku Cuma bicara jujur Yan," elak Noe. "Lagi pula, aku saja tidak pernah berharap bisa berjodoh denganmu. Apalagi penghuni baru yang belum tahu sifatmu."
"Ebuset!" seru Dian spontan. Tangannya lantas bergerak untuk mengelus dada secara dramatis. "Jahanam bener omongan lo Bang. Heran gue, kok, Naila bisa tahan ya pacaran sama lo."
Kesibukan Dian yang membereskan bekas makan setelahnya, membuat perempuan itu tidak menyadari perubahan raut wajah Noe. Tidak perlu diingatkan oleh siapapun, Noe sangat sadar jika ucapannya yang apa adanya, sering kali membuat orang lain tersinggung. Namun Noe tidak peduli.
Apa yang ia ucapkan fakta, bukanlah kebohongan. Jadi bukan salahnya, jika orang lain tersinggung atas kata yang keluar dari mulutnya. Salah orang itu sendiri, yang tidak bisa menerima ucapannya. Karena sejauh ini dari yang Neo ketahui, manusia cenderung menolak fakta nyata yang menyakitkan. Kebanyakan dari mahluk penghuni bumi itu, lebih suka menerima kebohongan yang manis.
Noe akan mengatakan perempuan cantik karena faktanya memang begitu. Bukan untuk tujuan memuji apalagi merayu. Dan sampai saat ini, hanya segelintir perempuan yang bisa bertahan ketika berhubungan dengannya. Salah satunya perempuan yang disebutkan Dian tadi. Naila, perempuan terakhir yang dipacarinya hampir enam bulan. Perempuan yang diharapkan Noe akan menjadi pendamping hidupnya. Sayang, niat tersebut tidak berhasil direalisasikan.
"Woi Bang!" panggil Dian agak keras. "Malah ngelamun. Gue ngomong gak didenger pasti."
Meninggalkan lamunannya tentang Naila, Noe bangkit untuk mencuci tangan. Baru kemudian berucap, "memang kau bicara apa?"
Decakan Dian terdengar, malas kalau harus mengulangi. Namun tak urung, Dian kembali bicara. "Jadi, gue sempet coba-coba nguping gitu. Tapi, anehnya gue gak denger suara apapun Bang. Dan kalau diinget-inget lagi, selama seminggu ini, gue juga gak denger ada suara apapun dari tetangga sebelah. Lo sendiri, pernah denger sesuatu gak?"
"Aku bukan kau yang kurang kerjaan," balas Noe sambil melirik kamar gelap yang bersebelahan dengan kamarnya.
Dian mengikuti arah lirikan Noe. "Tapi lo juga penasaran, kan?"
"Sudah sana tidur. Memang besok kau tidak kerja."
Diingatkan tentang pekerjaan, Dian langsung meradang. Teringat jika besok harus pergi pagi-pagi buta ke daerah Bogor untuk meliput. Maka usai membuang sampah dan membayar nasi bebek, Dian kembali ke habitatnya. Begitu pula dengan Noe yang langsung bersiap untuk mandi. Suara gemericik air keran terdengar nyaring di keheningan malam. Mengingatkan Noe tentang ucapan Dian tadi. Nampaknya Dian ada benarnya. Entah dapat dorongan dari mana, Noe yang sudah menanggalkan pakaiannya mendekat ke dinding. Menempelkan telinganya di sana.
Kalau dipikir-pikir, selama satu minggu ini, Noe juga tidak pernah mendengar suara apapun dari sebelahnya. Bukan berarti Noe ingin menguping atau apa. Hanya saja, cukup aneh ketika tidak mendengar suara apapun, disaat kontrakan yang saat ini ia tempati tidak kedap suara. Terlebih, jika mengingat penghuni sebelumnya. Kerap kali terdengar suara benda jatuh saat itu.
Keanehan lain dari tetangga baru ini, dia tidak pernah menghidupkan lampu di malam hari. Kalau sudah tidur sih wajar. Noe juga selalu mematikan lampu saat hendak tidur. Namun tetangga barunya ini, tampaknya sama sekali tidak pernah menyalakan lampu. Kalaupun memang dia sibuk, paling tidak seharusnya mereka sudah berpapasan satu dua kali. Atau berkenalan saat hari pertama pindahan. Wajar kan, kalau menyapa tetangga saat pertama kali datang. Manusia itu mahluk sosial yang jelas perlu sosialisasi.
Jadi wajar kiranya, ketika Dian mengira ada sesuatu yang terjadi dengan tetangga mereka yang baru ini. Yang tidak wajar di sini, sikapnya sekarang. Padahal, tadi dia mengatai Dian kurang kerjaan. Tapi lihatlah dirinya sekarang, malah menguping di dinding. Merasa tindakannya sungguh konyol dan tidak bermanfaat, Noe segera menuntaskan kegiatannya yang hendak mandi. Bisa masuk angin dirinya jika terlalu lama telanjang di kamar mandi.
Pemikiran lain hinggap di kepala Noe ketika selesai mandi. Bisa jadi tetangga barunya yang misterius ini penyuka damai. Tidak suka dengan keributan dan suara gaduh. Sambil menarik satu kaos dan celana pendek dari lemari, bibirnya tersenyum. Kalau pemikirannya benar, berarti tetangganya tidak akan menjadi jodoh Dian. Dia pasti tidak akan tahan, mendengar celotehan Dian yang tidak mengenal tanda baca. Wah, rupanya Dian akan gagal lagi untuk dapat jodoh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top