***
Aku tidak menginginkan hidup seperti ini.
Aku ingin mengakhirinya, tidak peduli seberapa menyakitkan akhir itu.
Tetapi tetap saja, jika dilihat dari sini, semua terlihat kecil dan menakutkan. Butiran cahaya berkerumun dan merayap bersama, membentuk pola. Pola yang tak kuketahui maknanya, atau hanya malas bertanya. Suara-suara terdengar menyatu, tidak lagi indah seperti saat mereka sendiri.
Itu tidak penting lagi. Kini keputusanku.
Nafas beradu dengan udara tipis. Rasanya salah kalau kemari tanpa persiapan, atau setidaknya, jaket.
Penyesalan itu datang ketika kusadari, angin berkali-kali menghempaskan gaun terusanku yang sewarna melati. Dingin menggerayangi bagian bawah tubuh, mencubitku karena lupa. Ahaha, biarlah. Semua itu tidak kan begitu penting sebentar lagi.
Kakiku melangkah, tetapi sekali lagi gagal dan mencicit ke belakang. Tangan ku terkepal, rasanya sesuatu tengah menyengat bagian belakang mataku, menahanku dari memenuhi keinginan. Tinggal sedikit lagi, aku sudah memutuskan. Kakiku bergerak ke depan, hanya untuk melihatnya mundur semakin jauh.
Pintu di belakang terdobrak oleh sesuatu yang keras. Bekerja sama dengan itu, ubin seperti es mengagetkanku. Aku tergelincir. Di ujung sana, terlihat kedua orang tuaku menerobos kumpulan orang berseragam polisi. Mereka cemas.
Dan aku, mati konyol karena keinginanku sendiri.
"Bukan seperti ini..."
Semua berjalan lambat. Ayah ibu yang berlari ke arahku, walau tahu itu mustahil. Burung-burung yang beterbangan di atas, mengepak di langit biru gelap. Tubuhku yang perlahan diserap gravitasi dan ujung gedung yang meninggi.
Aku tak ingin menjelaskan rasanya. Terlalu menakutkan, terlalu nyata. Sekaligus terlalu imaji. Semua bayangan berkelibat di memori kecilku. Saat ayah melihatku bisa berjalan untuk yang pertama kali. Atau saat ibu membawakanku kue ulang tahun ke lima, dengan tujuh buah ceri dan bukannya lima, tipikal ibu yang hiperbola terhadap apapun. Gambaran itu berputar lagi, ke saat sepuluh tahun, di mana aku tengah berdiri di podium. Aku mengangkat piala kecil, juara tiga, tetapi ayahku senang bukan main, dan ibuku menangis.
Aku mengecewakan mereka, jadi kupejamkan mataku.
Menghadapi akhir yang kuidamkan.
Akhir yang bodoh dan menyedihkan.
*
*
*
*
*
Jika saja ada kesempatan kedua...
#
Dahulu, ada sebuah legenda.
Jika kau mati dengan alasan tertentu, Dewi Pengasih akan mengabulkan permintaan terakhirmu.
Dan itu terjadi padaku.
Dunia ini berubah ketika diriku hadir.
#
"Nona, kau boleh membukanya sekarang." Suara itu meminta dengan lembut.
Kedua mataku mengerjap terbuka, perlahan, lalu makin cepat. Sebuah citra lelaki tampan yang tengah menunduk di depan terbentuk. Lelaki tampan mana saja yang cocok di baju zirah dan bersikap selayaknya bangsawan sejati, bertata krama dan sopan. Tapi kusadari, itu hanya Pend.
Rambut pirang gelapnya bergerak selagi angin bertiup. Zirahnya mengilap.
"Ini sudah sepuluh menit, seperti yang diperintahkan. Tuan Putri tak apa?" ia memastikan. Lucu melihat lelaki kaku ini mengerenyitkan dahi hanya untukku. Ia pasti kebingungan dimintai permintaan seperti tadi. Menungguiku tidur
"Ya. Aku baik." Pend menawarkan tangan, aku menyambutnya dan terangkat hingga berdiri.
Mentari bersinar terik, awan-awan kecil beriringan, udara mengirimkan bau dedaunan basah dan menggoyang ujung topi runcingku. Aku mengeratkan ikatan, sebelum angin bisa meniupnya pergi.
"Jadi," Pend disamping juga bersiap. Pedang emas yang tersarung setia menghias pinggangnya, "akan kemana kita berikutnya?"
"Hmm, benar juga." Hamparan bukit terbentang hingga berkilo-kilo jauhnya. Pohon-pohon soliter terlihat. Petualangan menanti di ujung sana.
"Hart." Aku menatap Pend, lalu ke cakrawala "Kita akan ke Hart."
Kami melangkah, tidak lagi ragu.
Namaku Elish. Dunia berubah ketika pertama kali kumenjejak dunia ini. Dan tugasku adalah, untuk membetulkan kesalahan itu.
O0o0O
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top