9 | Andai

Bismillahirrahmanirrahim

🍂🍂🍂

Missing you

   MATAKU menatap lekat pada tulisan di lembar buku cokelat yang berisi beberapa point keinginan yang mesti kulakukan. Apalagi tambahan dua point dari Ustaz Ahsan makin buatku engga bisa lagi main-main, harus ada usaha yang sungguh-sungguh, meski jalannya engga mudah. Slowly but sure, pelan-pelan asal kelakon.

Karena itu pula, sekarang yang sering kubawa bukan cuma buku cokelat tapi juga kertas hapalan yang sudah kusalin lebih bagus—engga lecek lagi, malah kutambahkan gambar imut dalam tiap kosa katanya, biar hapalannya makin cepat kuingat.

Bukan maksudnya biar kelihatan santri teladan, karena kadang kertasnya cuma kubawa-bawa saja. Walau engga dibaca terlalu sering tapi karena dibiasakan untuk membawanya, sedikit-sedikit aku jadi terbiasa untuk menghapalnya. Lumayan, hitung-hitung nyicil setoran hapalanku ke Ustaz Ahsan yang masih belum selesai.

“Kamu lagi cosplay jadi gosokan, Dys?” Suara seseorang menghentikan langkahku yang lagi bulak-balik, jalan engga karuan sambil pegang tinggi-tinggi kertas hapalan yang lagi kubaca, sebelah tanganku memegang kitab.

Mataku menelisik ke sumber suara. Wajah Ustazah Benaz terlihat, kakinya jalan mendekat ke arahku, “Engga pusing tuh?”

“Eh, Ustazah,” timpalku sambil buru-buru menyelipkan kertas hapalan. Malu juga kalau ketahuan lagi ngapal gara-gara hukuman.

Kakiku sudah berhenti bulak-balik, engga kerasa ternyata pegel juga, apalagi denyut mataku ikutan pusing karena terlalu banyak baca.

“Kamu ngapain sendirian di sini? Nemenin Mbak Harum di pohon?” Kulihat Ustazah Benaz tertawa pelan mengatakan hal itu. Memang hobi Ustazah Benaz suka meledek santri, sifatnya mirip Ustazah Windy, enak diajak bercanda, dan tentunya baik.

“Kalau Mbak Harumnya, mas-mas, sih, aku mau nemenin. Nah ini,” aku memanyukan bibir kala menjawabnya, Ustazah Benaz makin tertawa.

Kalau dilihat-lihat, aku engga sadar juga kenapa berani banget berdiri di taman asrama. Padahal aku paling takut tiap Syahlaa sudah ngomong hal aneh yang enggak-enggga. Huf, Ini gara-gara anak-anak MSG yang masih siap-siap di kamar dan aku suruh nunggu di bawah. Padahal kita cuma mau ke Masjid Jami buat ngaji kitab bareng Kyai.  

“Kamu bawa apa?” Ustazah Benaz sudah berdiri di sampingku sambil ngintip ke barang yang lagi kupegang. Aku cuma memamerkan gigi sambil mau ngumpetin kertas hapalan kosa kata di buku.

Ya, dasar emang tadi menyelipnya buru-buru, kertasnya malah keluar gitu saja dan jatuh pas di depan kaki Ustazah Benaz. Pandangan kami spontan terfokus pada lembar yang sudah jatuh.

Ini kertas, kenapa malah seolah-olah pengin dilihat, sih? Ish.

Tanganku kalah cepat sama Ustazah Benaz, beliau sudah membaca hapalan kosa kataku sambil tersenyum miring, “Ih, Gladys, malu-malu gara-gara terlalu rajin hapalan?” jarinya mengoda dengan sengaja menoel-noel lenganku yang mengapit kitab.

Aku membalas dengan tertawa masam sembari menatap arah lain. Andai Ustazah Benaz tahu, aku ngelakuin hal  itu bukan karena ingin terlihat rajin tapi karena setoran hukuman. Bisa-bisa dijewer kupingku ini.

Beliau sudah mengembalikan kertas hapalanku tadi, aku segera mengambilnya. Tanganku spontan membuka buku cokelat untuk kuselipkan kembali, tapi lagi-lagi Ustazah Benaz menahannya, “Turki?” lirihnya begitu saja.

Sepertinya Ustazah Benaz melihat isi tulisanku di sana.

Gagal aku menutup buku, kini Ustazah Benaz malah membaca isi point yang terdapat di sana. Duh, semoga engga kebaca tulisan Ustaz Ahsan, apalagi jelas di sana tertulis setoran hapalan pakai tinta merah. 

“Gladys mau ke Turki?”

“I-iya mau, Stazah,” takut-takut aku mengatakannya, kupikir Ustazah Benaz akan fokus sama tulisan Ustaz Ahsan di sana. Tapi ternyata engga. Aman. Beliau malah menatapku takjub.

“Wih! Bagian Kota Turki yang mana? Universitas apa?” Aku menggaruk dahiku yang tak gatal sama sekali, bingung banget pas ditanya gini. Masalahnya, aku belum cari info sejauh itu. 

Ustazah Benaz masih menunggu jawabanku, matanya seolah engga berkedip.

Gimana ini, aku sendiri engga tahu jawabannya. Apalagi, setahuku Ustazah Benaz salah satu lulusan Marmara Üniversitesi di Istanbul, Turki. Semakin mati kutu aku ditanya demikian, kenapa juga aku engga kepikiran buat nentuin Universitas mana yang ingin kuambil. I didnt have the sincerity of preparation!

“Belum tahu, Ustazah,” celetuk begitu saja.

“Terus alasannya, kenapa mau ke sana?” Alis Ustazah Benaz menaik satu, tangannya bahkan sudah terlipat di depan, “Sengaja, cuma mau lihat cowok Turki yang jualan kebab di sana?”

“Ih, Stazah! Mamang yang jual kebab di pasar juga ada, engga perlu ke Turki,” tukasku membalas ledekannya.

Beliau tertawa pelan, “Terus kenapa?”

Pandanganku beralih ke depan, aku masih belum menjawab pertanyaan Ustazah Benaz itu.

Kusapukan pandangan ke langit malam yang terang dengan bintang yang menyala-nyala kecil di atas sana. Jika ditanya demikian, sebenarnya hanya ada satu alasan kenapa aku ingin pergi.

“Gladys cuma engga mau menyusahkan keluarga lagi,” sudut bibirku tertarik sedikit kala mengatakan demikian, “Karena sepertinya, kalau Gladys pergi jauh dari mereka, bisa buat semuanya bahagia.”

Aku beralih memandang Ustazah Benaz yang diam mendengar jawabanku, “Kalau alasannya itu, engga apa-apa, kan, Stazah?”

Kulihat wajah Ustazah Benaz yang kaku, engga ada wajah jahilnya yang suka meledek seperti tadi.

Kejadian yang kualami dengan keluarga masih saja menjadi tanda tanya yang belum juga kutemukan jawabannya, semuanya bagai puzzle yang belum tersusun rapi. Entah dengan alasan apa mereka membawaku ke sini, aku hanya bisa berharap bahwa dengan kepergianku mungkin memang bisa membuat mereka bahagia.

Ya, gimana engga, aku bahkan bisa merasakaan bahwa selama ini, mungkin memang aku bukan anak yang diharapkan hadir dalam keluarga.

Duh, kenapa jadi mendadak melow gini.

“Eh, tapi alasan Ustazah buat cari cowok Turki, bisa juga, sih.” Aku mencoba mencairkan suasana, “Nanti Gladys coba kenalan kalau sudah sampai sana, siapa tahu beneran jodoh, gimana?” kekehku pelan.

Ustazah Benaz malah menggelengkan kepala sambil menjawil pipiku gemas. “Dasar kamu, nih! Harus belajar dulu yang rajin, biar bisa ke sana.”

Aku mengaduh, pura-pura kesakitan. “Stazah, ampun! Ini pipi bukan kue bakpao!”

Ustazah Benaz sudah berhenti menjawil, beliau sudah tersenyum tipis menatapku, “Jangan jadikan orang lain sebagai alasan kebahagiaan, apalagi itu hanya untuk mereka. Gladys sendiri juga harus bahagia.”

Tanganku yang lagi mengusap-ngusap pipi berhenti seketika, meski kalimat Ustazah Benaz sederhana, tapi cukup menyentuh hatiku yang masih diliputi tanda tanya. Aku membalas dengan anggukan pelan.

Aku tahu, mungkin ada banyak pertanyaan di benak Ustazah Benaz, apalagi beliau adalah wali santriku bersama anak-anak MSG, yang di mana perannya bisa sekaligus jadi konselor tiap kami ada masalah dengan keluarga. Tapi, rasanya aku belum bisa menceritakan semuanya.

“Dypsi, kamu lagi sama siapa—Eh, Stazah?” Suara panggilan Syahlaa terdengar di belakang kami, memudarkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul.

Fyuh, syukurlah mereka bertiga sudah turun. Kalau semakin lama, aku takut jadi melow lagi.

“Kalian lama banget, aku rasanya sudah nunggu setahun nih,” Aku langsung mengomel pas mereka datang, ketiganya yang sudah saling tunjuk seolah memberitahu siapa yang salah.

“Tapi, Dys, kok sudah setahun? Kan, kita baru lima belas menit di atas sana,” tutur Hafsah polos. Kami bertiga kompak menepuk dahi saat mendengarnya. Hadeh.

Ustazah Benaz membalas dengan tawa melihat tingkah kami, beliau lantas menyuruh kami segera ke Masjid untuk mengikuti pengajian, kami menurut dan segera pamit.

“Kamu ngobrol apa sama Ustazah Benaz, Dys?” Itu suara Meda.

Belum sempat aku menjawab, Syahlaa sudah serobot menimpali, “Paling, minta izin lagi buat ke pasar, kan?”

Aku mendelik ke arahnya, “So tahu kamu, wuuuu!” Kulihat dia memanyukan bibir.

“Terus, apa?” Hafshah ikut bertanya.

Engga mungkin juga aku bilang kalau tadi hampir bahas masalah orang tuaku dan alasan ke Turki, apalagi sampai mendadak melow. Engga ngerti kenapa, kalau sama mereka rasanya aku engga mau berbagi kesedihan, engga terbayang kita yang suka haha-hihi tiba-tiba jadi softly, aneh ah.

“Oo tadi, Ustazah minta dibeliin yang seger-seger. Apa, ya?” alihku.

“Kita beliin cendol dawet saja, seger 'kan tuh!” Hafshah menimpali.

Aku tertawa lirih mendengarnya, padahal cuma pertanyaan peralihan tapi malah berujung ke cendol dawet. Engga apa deh.

Langkah kami berempat berhenti saat Syahlaa tiba-tiba celetuk, “Kok, kayak potongan lagu, ya? Bentar-bentar....”

Meda di sampingku cuma menghela napas, kita tahu kalau Syahlaa pengin sesuatu dia pasti penasaran banget, engga boleh ditunda-tunda.

Aku engga bisa lagi nahan tawa, apalagi Hafshah malah ikut-ikutan mikir macam Syahlaa. Jadilah, keduanya aku tarik paksa buat lanjut ke Masjid sebelum kita telat. Tapi, berkat ini akhirnya mereka engga nanya yang macam-macam.

Thank you, cendol dawet!

____

Aliran air membasuh tanganku. Aku sedang mencuci tangan di wastafel umum lengkap dengan sabun yang memang sengaja disediakan di tiap-tiap depan ruangan.

Sebelum ada berita maraknya virus yang tersebar, Darul Akhyar memang selalu menjamin kebersihan. Ditambah situasi seperti ini, tambahlah kami benar-benar menjaga sesuai protokol kesehatan yang berlaku.

Entah sampai kapan ini akan berlangsung. Tapi baiknya, meski virusnya mungkin beberapa tahun ke depan akan menghilang, kurasa kesadaran manusia dengan gaya hidup normal yang baru dalam menjaga kesehatan atau pun jaga jarak akan tetap berlangsung.

“Gladys!” Wajahku mencari sumber suara, kulihat Rania menyapa dengan melambaikan tangan. Aku membalas lambaian dengan tersenyum lembut ke arahnya.

Ia berjalan mendekat dengan teman-temannya, “Ayo ke wartel,” ajaknya.

Senyumku memudar mendengarnya. Ah, wartel, kenapa aku sampai lupa kalau ini adalah hari Jumat, hari di mana jadwal santri menikmati salah satu fasilitas Pondok yang bisa menghubungi keluarga mereka melalui perantara jaringan telepon.

“Duluan saja, Ran, nanti aku nyusul,” tukasku dengan senyum simpul. Dia mengangguk, memilih pamit dengan teman-temannya.

Mataku memandang ke arah wartel yang tersedia di dekat sekretariat asrama, beberapa santri putri sudah antri berbaris di sana.

Fasilitas wartel atau warung telephone tersedia di dekat asrama putra atau putri, biasanya wartel digunakan di hari Jumat atau hari bonus tertentu. Engga setiap santri bisa dengan mudah pakai fasilitas itu, ada beberapa alur yang digunakan dalam pemakaiannya.

Aku sendiri selama ini cuma jadi penunggu antri panjang tanpa pernah masuk ke dalamnya, seringnya lebih banyak anter Meda yang mau telepon sama keluarganya.

Aku sih, senang-senang saja, ikutan antri kayak santri lain. Tapi, kadang di satu waktu, kakiku ingin juga masuk ke dalamnya, mendial nomer telepon rumah untuk menyapa atau sekadar mendengar salam dari suara di seberang sana, menghubungi Ayah—yang engga pernah kutahu kabarnya.

“Hayo, ngelamun!” Aku terkinjat saat hentakan suara di belakang terdengar.

Siapa lagi kalau bukan Geng Micin, bukan mereka namanya kalau engga tiba-tiba datang sambil ngagetin. Suka banget bikin orang jantungan, heran.

“Ayo Dys, kita bantu Meda buat serobot antrian santri lain!” usul Syahlaa. Dia sudah menarik tanganku untuk segera maju melangkah. Aku tertawa mengikuti langkahnya.

Hafshah sama Meda di belakang sana cuma geleng-geleng kepala. Padahal yang mau telepon Meda, kenapa jadi kami yang paling semangat.

Di antara kami berempat, cuma Meda yang suka menikmati fasilitas ini. Kita bertiga cuma bagian tim hore, serobot antrian buat dia, sambil lirik-lirik ke arah wartel di gedung santri putra yang cukup jauh.

Mereka, sih, engga seheboh santri putri kalau bagian ke wartel. Gimana engga heboh, tiap santri putri, biasanya cuma satu orang yang berkepentingan telepon, sisanya malah ikut-ikutan. Mana kadang sekamar lagi yang ikutan antri.

Maklum ya, perempuan.

Kita sudah tertib berbaris antri. Meda sudah baris paling depan karena cuma dia saja yang akan masuk, kita cuma ikut di sampingnya sambil ngedengerin, kadang sekalian titip kiriman makanan, kalau Meda nawarin.

Aku engga pernah tanya kenapa Syahlaa sama Hafshah nasibnya kayak aku—bagian tim hore Meda teleponan. Tapi, yang kulihat mereka selalu baik-baik saja ikutan antri kayak gini. Jadilah, kita engga saling tanya.

Cuma kadang selintas, di tiap tawa yang kurangkai dengan mereka—sambil godain Meda yang kadang teleponan melebihi waktu fasilitas—ada satu titik di mana aku juga pengin merasakan bisa ikut bertelepon dengan keluargaku di sana, mendengar kabarnya atau bahkan merengek seperti santri lain buat dikirimin makanan, atau sekadar membujuk minta dijenguk karena engga betah di sini dan  pengin pulang.

Rasanya, walau hanya satu detik pun, aku pengin sekali bilang, “Ayah, aku pengin pulang! Aku engga betah di sini!” atau “Ayah, kapan bisa jengguk aku?” sambil merajuk dan pastinya ada kalimat rayuannya yang jadi jurus ampuh biar aku betah, atau syukur-syukur langsung dijenguk ke Pondok.

Tiap minggu aku selalu lihat kejadian itu kalau ada santri yang dijengguk. Lucu juga lihat mereka apalagi kalau adik kelas sebagai anak baru yang ditinggal Ayah dan Ibunya.

Engga seperti aku yang bahkan engga pernah merajuk meminta pulang. Kadang iriku sederhana, ingin sekali merengek seperti mereka. Sayangnya, entah sampai kapan pun, kalimat tadi beserta khayalannya, engga akan pernah bisa kurasakan.

Hembusan angin sore terasa, dalam hening yang tercipta, bersama tiap doa yang selalu kusematkan dalam sujud, hatiku berbisik lirih dalam hati, “Ayah... aku pengin pulang, aku rindu.”

🍂🍂🍂

Terasa feel-nya engga, sih? 😅

Terima kasih yang sudah membaca cerita Gladys. Sampai bertemu di part 10 :)

Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah, ya.

If you find something from this story, tag me on instagram (@) Baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.

Salam, Magicilicious

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top