8 | Langkah Awal

Bismillahirrahmanirrahim

Sebuah mimpi dapat terwujud bukan karena keajaiban, melainkan karena usaha. Tiap mimpi tanpa usaha atau proses diibaratkan sebagai air yang mengalir di sungai, dia hanya bertahan mengikuti aliran airnya saja tanpa tahu ke mana arus akan membawanya. ”

🍂🍂🍂

Undertaking

    BIASANYA aku selalu senang saat praktik komputer di pelajaran TIK, bukan karena bisa keluar kelas dan ngerasain ademnya AC Lab, tapi juga karena TIK salah satu pelajaran yang  aku suka.

Bisa dibilang, aku sudah mahir mengoperasikan komputer, mungkin karena di sekolahku dulu sudah diajarkan secara matang dan rutin, bahkan basic pengoperasian komputer sudah bisa kulakukan saat sebelum lulus sekolah dasar. Ditambah Darul Akhyar menyediakan fasilitas sama yang bikin aku tambah suka. 

Tapi, hari ini sebagai pengecualian. Pikiranku engga fokus di jam pelajaran tadi. Rasa senangnya berubah jadi khawatir.

Gimana engga, siang ini, Ustaz Ahsan bilang mau melanjutkan hukuman setelah aku selesai pelajaran TIK di Lab. Beliau sebagai penanggung jawab ruang Lab makin buat aku engga bisa berkutik apalagi kabur gitu saja.

Masalahnya, hapalan mufradat yang beliau kasih belum juga kuhapal semua. Hiks. Bukannya aku malas, aku sudah mencoba menghapalnya tapi masih saja ada bagian yang ketuker-tuker. Kan, jadi makin pusing.

“Eh, Ustaz,” ucapku tiba-tiba. Sedikit kaget karena Ustaz Ahsan sudah berdiri di depan Lab seolah sudah siap buat nagih hapalanku di jam keluar kelas.

Padahal baru saja, aku mau ikutan teman-teman yang lain buat keluar ruangan, atau pura-pura lupa punya janji ketemu sama Ustaz Ahsan, ternyata beliau malah datang lebih cepat dari dugaan.

“Pas sekali kamu di sini. Ustaz kira yang masuk ke Lab tadi bukan kelas Gladys.” Ustaz Ahsan mengatakan demikian sambil melangkah masuk. Tanpa peduli keringat dingin yang sudah menyerap di baju batik sekolahku. Apalagi alasannya kalau bukan karena hapalanku belum tuntas.

Wajah Ustaz Ahsan sempat berbalik saat aku belum juga ikutin langkahnya. “Ayo, masuk!” Matanya menunjuk ke dalam.

Aku yang sudah berdiri di luar cuma menghela napas, kakiku seolah berat buat melangkah masuk kembali ke Lab. Is there someone who can help?  Huf.

Jari-jariku sudah memilin gulungan kertas hvs bergaris yang isinya mufradat, sudah engga berbentuk itu kertas, kadang bukan kebanyakan aku baca malah lebih sering kupake buat kipas-kipas di kamar.

Mataku sudah berkeliling melihat berbagai isi ruang Lab. Apa saja kulihat, dari mulai proyektor dan layarnya, komputer yang tersusun sampai deretan semut yang lewat di lantai Lab. Pokoknya apa saja, asal engga lihat wajah Ustaz Ahsan.

“Jadi, sudah sampai mana?”

Cuma ada kami berdua di Lab, tapi dengan posisi pintu yang terbuka. Aku duduk di kursi depan meja guru dan Ustaz Ahsan di sebrangnya. Beliau sudah bawa sebuah buku—mungkin untuk pengingat setoran hapalanku—yang kayaknya hari ini belum keisi coretan karena aku masih belum hapal.

Aku mencoba tenang, meski nyatanya jantungku berpompa cepat karena rasa takut dan gugup yang melingkup. Hapalan ini kenapa mesti dilakukan dengan jangka waktu yang cepat, sih?

“Be-belum, Staz,” senyum lebar kusajikan sambil menatap Ustaz Ahsan yang diam sambil menatapku tajam, “masih ketuker-tuker, lupa-lupa dikit,” alibiku.

“Ya sudah, coba sini,” tangan Ustaz Ahsan terjulur ke depan meminta kertas hapalanku yang sudah lecek kayak mukaku sekarang. Duh, semoga Ustaz Ahsan bisa baca tulisanku di sana.

Aku mulai setoran di bagian awal, sedikit lancar meski beberapa kali Ustaz Ahsan bantu membenarkan, tapi bagian ke bawah setelahnya aku sudah engga bisa lagi ingat. Jangankan lancar, huruf-hurufnya saja aku lupa.

Afwan Staz, Gladys cuma hapal sampai situ aja,” tuturku hati-hati sambil nunjuk kertas yang lagi di pegang Ustaz Ahsan. Cuma sepuluh baris awal dari puluhan kosa kata. Fix, habis ini hapalanku pasti makin bertambah.

Kulihat Ustaz Ahsan cuma menggelengkan kepala, wajahnya berubah sedikit galak. Tangannya memberi tanda di kertasku tadi dan bukunya. Lantas setelahnya memberikan kembali kertas hapalan padaku.

“Terus selama ini Gladys belajar bahasa Arab gimana? Setiap hari bahasa seminggu sekali engga pakai?”

Tanganku saling meremas dengar pertanyaan itu. Kenapa tiba-tiba juga AC di Lab malah semakin dingin, sih. Ini kelihat banget aku gugupnya di depan Ustaz Ahsan. Makin ketahuan 'kan kalau aku jarang menggunakan bahasa Arab.

Aku sendiri selalu berada di posisi beruntung saat dua hal tadi sedang dilakukan. Bagian pelajaran bahasa Arab, aku cuma nyimak Ustazah Ais yang suka guyon sambil banyak cerita. Bagian hari bahasa, aku lebih banyak diam dari biasanya. Ya, gimana engga, aku cuma bisa Na'am sama La.

“Gladys suka pakai bahasa Arab di hari bahasa, juga suka merhatiin tiap masuk waktu belajar bahasa Arab, kok,” aku menjawab lugas sambil takut-takut lihat wajah Ustaz Ahsan.

“Tapi, Gladys lebih sering dengerin cerita Ustazah Ais, jadi fokusnya malah ke sana,” timpalku kembali dengan memamerkan gigi.

Jawabanku engga salah 'kan? Yang penting aku jujur, meski usahaku dikit.

“Ustazah Ais?”

Aku menggangguk semangat saat pertanyaan itu terulang dari mulut Ustaz Ahsan, “Iya, Staz. Ustazah Ais atau Ning Ais, anaknya Kyai. Yang suka guyon sambil ceritain pengalamannya ikut exchange di Singapura. Staz tahu engga, ceritanya seruuuu banget!”

Baiklah, karena Ustaz Ahsan nanya tentang Ustazah Ais, bisa banget kujadikan peralihan dari cengkraman hapalan ini.

“Tahu engga, Staz, karena Ning Ais suka ceritain pengalamannya itu, Gladys jadi pengin ikutan exchange, syukur-syukur bisa melanjutkan kuliah di luar negeri!” Mataku berbinar kala mengatakannya  tadi.

Rasa canggung yang tadi menerpa hilang gitu saja. Engga apa deh, Ustaz Ahsan jadi pendengar keinginanku ini, siapa tahu beliau malah bisa bantu.

“Memang kalau ke luar negeri, Gladys mau ke mana?” tanya Ustaz Ahsan menyimak. Beliau sepertinya sudah ikut larut dalam ceritaku. Hatiku seolah kehilangan bebannya. Oke, selamat tinggal hukuman!

“Turki!” Sebuah negara yang lolos kuucapkan secara lugas begitu saja.

Tanganku terampil mengambil buku cokelat dipangkuan untuk ditaruh di atas meja, membuka halaman yang sudah kutulis dengan beberapa point di sana. Ustaz Ahsan engga banyak protes, beliau masih setia memerhatikanku, mungkin lebih tepatnya terheran-heran karena aku sudah jadi lebih semangat daripada tadi.

“Nih, Gladys sudah tulis keinginan di kelas dua belas, termasuk melanjutkan pendidikan ke Turki.” Ada tiga point di sana. Dari dulu aku selalu menulisnya. Ini semacam resolusi atau harapan yang ingin tercapai sebagai motivasi biar sewaktu-waktu rasa malas menyergap bisa hilang karena keinginan wujudnya pencapaian ini.

Aku menunjukan halaman dengan banyak coretan di sana, Ustaz Ahsan ikut membacanya sambil menganggukan kepala seolah setuju.

“Mencaritahu sejarah Turki, ikut bimbingan belajar, mencari tutor sebagai informan beasiswa?” Ustaz Ahsan membacakan ulang apa yang tertulis di sana, alisnya menaik satu saat bertanya demikian padaku. 

“Sudah dilakukan semua?” tanyanya kembali.

Rasa gugup kembali menyapaku, ucapan Ustaz Ahsan seolah menohok hati. Pertanyaan yang singkat itu sebenarnya memerlukan jawaban pasti yang seharusnya kulakukan, tapi sayangnya sampai hari ini aku belum juga melakukannya, kecuali satu, “Gladys sudah baca satu buku sejarah Turki,” cicitku sambil berusaha menahan senyum.

“Oh ya? Bagian apa? Sejarah Byzantium sudah selesai baca?”

Glek! Tenggorokanku terasa kering seketika. Aku engga berani lagi natap wajah Ustaz Ahsan yang seolah menantang. Geleng kepala sambil menundukan pandangan mengiringi jawabanku, “Be-belum, Staz.”

Kalau dipikir-pikir, memang ucapan Ustaz Ahsan banyak betulnya, kenapa bisa aku menginginkan sesuatu tapi usahaku masih begini-begini saja. Keinginan dengan usaha yang nihil, lucu sekali.

Ustaz Ahsan engga jawab, beliau malah menulis sesuatu di lembar halaman yang tadi berisi daftar keinginanku. Mataku curi-curi pandang sama apa yang ditulis Ustaz Ahsan. Jujur, aku penasaran. Jangan-jangan, Ustaz Ahsan malah mencoretnya dan bikin aku jadi semakin gagal.

“Ada tambahan dua point.” Aku tersentak kala mendengarnya. Ternyata dugaanku salah.

Serius, aku masih engga percaya pas lihat Ustaz Ahsan sudah menunjukan tulisannya di kertas bukuku tadi, dua point tambahan yang berisi tentang bahasa dan hapalan. Kukira Ustaz Ahsan akan marah atau menulis sesuatu yang malah bikin aku down, tapi ternyata engga, beliau malah memberiku tambahan list untuk mencapai targetku.

“Tiga point di atas itu, engga akan menunjang kalau engga ada bahasa dan hapalan, apalagi kalau ikut program beasiswa. Bahasa Arab dan Inggris itu benar-benar menunjang, Dys. Engga mungkin di sana ngomong bahasa Indonesia terus, kan?”

Aku memerhatikan serius penjelasan Ustaz Ahsan tadi sambil beberapa kali menganggukan kepala. Beliau juga menulis beberapa daftar buku bacaan yang bagus agar nantinya aku bisa baca tentang sejarah Turki yang belum kutahu.

Ah, syukurlah ternyata Ustaz Ahsan mendukung keinginanku ini.

“Sebuah mimpi dapat terwujud bukan karena keajaiban, melaikan karena usaha. Tiap mimpi tanpa usaha atau proses diibaratkan sebagai air yang mengalir di sungai, dia hanya bertahan mengikuti aliran airnya saja tanpa tahu ke mana arus akan membawanya.”

Struggle that you do today is the way to build a better future.

Ucapan Ustaz Ahsan semakin menggebu perasaanku. Nasihatnya bikin adem ke hati. Ternyata engga salah aku membahas ini, meski  terjadi karena engga sengaja cerita tiba-tiba demi mengalihkan hukuman. Aku Lega.

“Bimbel bisa dilakukan semester depan, informasi seputar beasiswa akan dijelaskan saat bulan pendaftar kuliah, jadi engga perlu cemas,” ucap Ustaz Ahsan sambil menutup bukuku.

Senyum lebarku terbit saat mendengarnya. Aku masih mendengarkan dengan serius penjelasan Ustaz Ahsan, beliau benar-benar penolong para santri, raut wajahnya bahkan sudah engga setajam tadi.

Engga ada Ustaz Ahsan yang galak, tadi siapa yang bilang! Ngaku.

“Siap, Staz! Makasih banyak. Ustaz emang terbaik!” Aku mengacungkan dua jempol ke arahnya, lantas mengambil bukuku yang sudah engga beliau pegang.

Akhirnya hukuman ini malah berujung petuah yang manis dari Ustaz Ahsan. Beres sudah masa hukuman!

Ustaz Ahsan kulihat menyunggikan senyum tipis, tapi selanjutnya ucapannya malah bikin aku semakin tegang. “Tapi, ini bukan berarti hukumanmu selesai, ya. Apalagi karena dua point tadi sudah ditambah, otomatis hapalannya juga ditambah!”

Mataku membulat mendengarnya. Apa tadi katanya? Haduh. Kukira Ustaz Ahsan lupa sama hukuman tadi. Ditambah gimana, yang sudah ada aja engga jalan-jalan.

“Ta-tapi,” Ustaz Ahsan menggeleng tegas seolah menolak alibiku.

Beliau sudah berdiri dari duduknya, “Engga ada tapi-tapian, nanti kita setoran hapalan lagi sambil lihat perkembangannya. Anggap ini usaha demi cita-cita!”

Aku mencemberutkan bibir sambil meremas sampul buku yang sedikit keras. Engga bisa lagi nolak apalagi membantah kalau semua demi cita-cita.

Kuralat ucapanku barusan, Ustaz Ahsan memang terbaik tapi kalau engga ada hukuman! Eh.

Langkah kaki Ustaz Ahsan sudah hampir menuju pintu keluar, aku mengikuti di belakangnya sambil terus memanyukan bibir karena masih belum terima kalau hapalanku ditambah.

Suara salam tak lama terdengar di depan kami, mataku menelisik siapa yang datang. Salamnya terdengar dengan suara yang lembut, mata kami sempat bersitatap.

Kulihat dia sedikit terkejut karena keberadaanku di dalam Lab tapi buru-buru mengubah mimik wajah.

“Ternyata ada Kak Gladys juga di sini?” tanya Seina yang sudah berdiri di antara aku dan Ustaz Ahsan.

Aku menjawab dengan menjelaskan kalau tadi habis setor hapalan ke Ustaz Ahsan.

Belum sempat aku menanyakan maksudnya kedatangannya ke sini, Seina sudah menjelaskannya pada Ustaz Ahsan. Dia ternyata menjadi perwakilan kelas yang ingin memastikan Lab komputer apa bisa dipakai atau engga, karena sehabis jam istirahat, bagian kelasnya yang akan menggunakannya.  Aku yang mendengarnya cuma menanggapi dengan anggukan pelan.

Kami berdua lantas pamit  sama Ustaz Ahsan setelah urusan selesai. Gadis itu riang berjalan di sampingku. Engga tahu kenapa, aku malah canggung lihat dia senyum lebar sambil sengaja memegang lenganku biar jalan kami dekatan. Tapi, mungkin ini cuma perasaanku saja yang engga biasa jalan deketan gini, sesekali dia juga tanya tentang acara eskul exhibiton sabtu nanti.

“Kak Gladys sudah jadi pengurus inti berapa lama?”

“Hampir setahun,” kujawab cepat. Aku lagi engga pengin ditanya tapi kalau nolak jawab rasanya engga sopan. Mood-ku masih belum baik gara-gara tugas hapalan yang bertambah, kenapa juga jalanku engga nyampe-nyampe kamar asrama. Huf.

Kulihat dia beroh pelan, “tapi, kok Kak Ghufta bisa sih langsung masuk gitu saja?”

Kenapa malah bahas dia lagi, sih? Bisa engga sehari saja tanpa bahas dia.

Aku cuma mengendikan bahu, engga mau banyak jawab kalau bahas dia, engga tahu juga kenapa. Sejujurnya malah aku engga pengin tahu. “Engga ngerti aku juga, Na.”

“Emang Kak Gladys engga curiga?” Aku meliriknya yang menatapku, “Bukannya jadi pengurus inti itu ketat, ya? Apalagi untuk anak kelas duabelas. Jadi pengurus memang masih bisa?”

Oke, ucapan Seina sedikitnya malah bikin aku kepikiran, jalanku jadi makin lambat karena terus menghubungan dugaannya tadi. Kalau dipiki-pikir benar juga, sih, masa dia cuma jadi pengurus secara kilat? Apalagi kalau diingat tingkahnya setelah pertemuan tiga hari lalu sama Ustaz Ahmad, sikapnya yang seolah dispesialkan malah bikin aku menduga yang engga-engga.

“Menurutku, sih, engga wajar, Kak,” tambah Seina.

Aku berpikir sejenak untuk menjawabnya, benar juga, sih, engga wajar. Tapi, kalau aku protes tiba-tiba kayaknya engga mungkin juga.  “Mungkin, ada beberapa pertimbangan lain yang akhirnya dia bisa ikut, Na.”

Seina menatapku seolah bertanya maksud ucapanku barusan. “Kemampuan menulis yang dia punya, keahlian dia yang akhirnya bisa bikin Ustaz Ahmad jadi luluh?” Aku mengendikan bahu saat mengatakannya.

Kenapa pula aku malah membelanya. What's wrong with me?  Ish!

“Berarti berita dia masuk jalur khusus itu benar, ya? Dia bakal jadi saingan Kak Gladys?” Aku mengerjabkan mata berkali-kali saat mendengarnya. Sedikit terkejut dengan penuturannya barusan. Berita apa? Kenapa aku malah engga tahu?

“Eh, Kakak engga tahu?” Aku cuma menggeleng polos menatapnya yang tersenyum tipis seolah engga enak karena membuat kesalahan.

Nurul pernah bilang gitu, tapi kupikir itu cuma ucapan asalnya yang suka banget mengusiliku. Tapi, kalau benar terjadi, gimana bisa?

Seina menepuk tanganku seolah menyadarkan, dia lantas berpamitan lebih dulu karena kamar asramanya sudah dekat.

Meninggalkanku yang mengeram pelan karena info yang baru saja kutahu. Percuma mau marah juga. Aku cuma bisa melampiaskannya dengan menghentak kaki sambil terus jalan ke kamar. Mengerutu sambil menyeret kaki.

Rasanya pengin nangis, kenapa juga jalanku engga bisa cepat, sih. Tanganku ikut meremas kertas hapalan yang semakin lecek sambil bayangin kalau itu Ghufta. Rasanya, pengin tak remes-remes!

🍂🍂🍂

Ada yang lagi berjuang kayak Gladys?😊

Sudah part 8!
Terima kasih yang sudah baca, ya. Sampai bertemu di part 9 :)

Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah.

If you find something from this story tag me on instagram (@) Baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.

Salam, Magicilicious

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top