2 | Luka Lama
Bismillahirrahmanirrahim
🍂🍂🍂
A/n : Hai, kemarin pada bingung ya, karena ada pembahasan tentang New normal di alur cerita?
Jadi, sebenernya selain di dunia nyata, kami juga mau terapin di cerita IBS ini. Yang masih bingung silakan terus baca cerita kami biar mengerti konsepnya, ya :)
🍂🍂🍂
Feel Apart
JIKA saja setiap kejadian selalu menyertakan persiapan, rasanya setiap orang tidak selalu terkejut perihal apa yang akan mereka rasakan dan ketahui di masa depan. Namun, sayangnya semua rahasia hidup tidak pernah ada yang tahu dan menebak. Seolah sudah dibungkus rapi meski hati kadang sulit untuk menerima jalan-Nya.
Semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz-Nya. Penerimaan yang baik adalah menerima dengan ikhlas jalan takdir-Nya. Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta'ala. Itu yang kuingat dari ucapan Ustaz Hamza, salah satu guru ngaji yang tiap sore kudatangi bersama teman-teman di dekat rumah.
Tapi, ucapan beliau rasanya belum mampu melekat di hatiku. Menerima semuanya dengan hati yang lapang, melepas apa-apa yang kusayang dan menerima kehidupan baru dengan kehadiran Ibu tiri—yang engga pernah kuharapkan—rasanya masih belum adil bagiku.
“Ini bekal buat Gladys,” ucap seorang perempuan saat aku baru selesai mengikat sepatu. Kulihat kotak bekal warna merah muda dengan harum menggoda. Wangi mie goreng dan setumpuk nasi sudah bisa kutebak isinya.
Sebenarnya itu bekal favorite, meski kadang aku suka lihat temen-temen di sekolah bawa bekal mewah—naget goreng. Ah, tapi, mie goreng dingin yang sudah menempel di kotak bekal adalah menu terbaik.
Normalnya, seorang anak akan menerima dengan suka cita sambil bilang 'terima kasih Ibu', tambahannya membalas dengan pelukan atau kecupan sayang. Tapi, itu semua engga pernah kulakukan. Bahkan meski sudah—sejak enam tahun lalu—resmi menjadi Ibu bagiku, aku belum juga menerima dia singgah dan mengganti peran Ibu kandung apalagi hidup dalam ruang yang kusebut hati.
Namanya Ibu Rahayu. Ia menikah dengan Ayah saat umurku delapan tahun. Ibu Rahayu berparas cantik seperti perempuan Jawa, ucapannya lembut, namun kadang sedikit tegas. Engga ada yang buruk darinya, harusnya aku mudah menerima dia dengan ikhlas sebagai Ibu, mengganti Ibu kandungku yang sudah meninggal saat melahirkanku dulu. Tapi, percayalah ini engga semudah kelihatannya, apalagi satu rahasia yang baru kutahu akhir-akhir ini, membuatku semakin enggan untuk masuk dalam jangkauannya.
Aku melengos. Memilih pura-pura merapikan seragam putih biru yang kugunakan untuk bersiap upacara di hari senin. “Kalau engga diambil, uang jajan dari Ayah emang cukup? Nanti pulangnya jalan kaki lagi, capek.”
Perhatian. Begitu yang sering ia lakukan. Aku tetap meninggikan gengsi. “Engga apa, kakiku masih kuat, bahkan lari aja mampu.” Padahal, aku kadang termisuh-misuh sendiri tiap pulang kalau harus mengandalkan kaki, jaraknya cukup jauh sekitar setengah jam, parahnya harus lewat jalanan panas beraspal yang banyak debu pula. Maklum, Kota Jakarta.
“Ambil, atau Ibu kasih tahu Ayah,” tutupnya dengan nada sedikit memperingati. Tahu sekali nyaliku langsung ciut kalau sudah berhubungan sama Ayah. Ancaman terakhirnya kalau aku sudah engga mau nerima barang atau makanan darinya. Huh, dasar pengadu! Mana ada Ibu seperti itu.
Mau engga mau aku mengambil kotak yang di dalamnya mie goreng. Apalagi suara Ayah dari arah kamar terdengar memanggil namaku dengan sedikit keras. Jelas, itu seolah meruntuhkan tembok pertahananku untuk menolak. Mataku sempat melirik sekilas wajah Ibu Rahayu yang menarik sudut bibirnya, tapi buru-buru aku berbalik dan mengucap salam, pergi begitu saja dari hadapannya untuk berangkat ke sekolah.
“Dys, sudah siap? Mau Paman anter?” Satu lagi, adiknya Ibu Rahayu yang sudah menyapaku di pagar depan. Namanya Paman Harun, usianya kira-kira sudah dua tiga atau lebih, aku engga begitu tahu. Tinggal di rumah kami bersamaan saat Ibu Rahayu yang menjadi istri Ayah.
Kulihat dia sedang memanaskan motor, dia sudah bekerja di salah satu bengkel yang cukup besar di kawasan Jakarta. Tapi, jangan bayangkan akan terlihat kucel karena berperan sebagai montir. Paman Harun sepertinya bisa merawat diri. Pakaiannya selalu rapi. Aku engga pernah mengobrol panjang dengannya, kalau sekadar sapa—atau bilang Iya, tidak, bisa jadi—kadang masih kulakukan.
“Sudah mau jam tujuh, nanti telat lagi,” tambahnya sembari melirik jam tangan.
Mataku berkeliling, mencari jawaban dengan alasan yang pantas. Dia sudah begitu kebal kalau aku menolak, mungkin sudah tahu trikku yang suka pergi gitu saja. Tapi, itu kulakukan karena aku engga mau berhubungan dengannya atau pun Ibu Rahayu, aku menutup akses keduanya yang kadang sampai bertingkah SKSD—so kenal, so dekat.
Sepertinya kali ini keberuntung kembali memihakku. Tak jauh dari pagar rumah, seorang anak laki-laki yang berpakaian sama denganku hendak melintas dengan sepedanya.
Kayuhan pedalnya pelan, sampai akhirnya aku bisa cepat-cepat menghalangnya dan menjadikannya penguat alasanku untuk pergi dari interaksi yang engga mau aku lakukan.
“Aku bareng teman,” ucapku dengan menunjuk anak tadi yang sudah berhenti. Mataku sempat melirik bet sekolah di lengan kirinya. Pas! Aku engga salah sasaran, karena kami satu sekolah yang sama.
Pandanganku beralih melihat reaksi Paman Harun, wajahnya terlihat sedikit kecewa seperti biasa namun tetap menutupi dengan senyum tipis. Mungkin ia sudah bosan aku menolaknya berkali-kali.
Kupikir akan selesai, tapi aku lupa kalau punya masalah lain. Anak laki-laki tadi menatapku tajam, alis kanannya menaik satu, “Sejak kapan kamu jadi teman saya?” Ucapannya lolos begitu saja. Suaranya tegas kelihatan banget kesalnya. Saat itu juga rasanya aku pengin punya pintu ajaib. Mataku spontan melotot ke arahnya.
Kenapa dia engga bisa diajak kerja sama, sih? Apalagi Paman Harun masih saja setia berdiri di depan pagar. Duh, semoga engga ketahuan.
“Sejak tadi,” tukasku begitu saja. Berbarengan dengan langkahku yang sudah berdiri di balik punggungnya. Mengambil ancang-ancang untuk dibonceng belakang. Kulihat ada pedal besi yang tertancap di bagian kanan dan kiri sepeda. Aku bersyukur sekali benda itu terpasang di sana, setidaknya menyempurnakan kepura-puraan ini kalau memang aku sudah siap dijemput sama anak laki-laki—yang engga tahu namannya siapa. Fix, rencana ini mulus.
Aku menepuk bahu kanannya, menandakan agar dia segera jalan dan pergi dari halaman rumahku. Tapi, bukannya jalan, dia malah diam saja. Jujur, saat itu rasanya aku pengin marah sama anak ini, engga mungkin juga aku turun lagi dan bilang yang sebenarnya, kan? Itu malu-maluin banget!
Aku mau protes sekali lagi dengan menepuk bahunya lebih kencang, mungkin saja dia engga peka sama kodeku. Namun tak lama suara salam darinya terdengar. Ternyata dia cuma mau pamit sama Paman Harun dengan mengucapkan salam—dengan suara lembut, engga kayak waktu pertama tadi. Ih. Aku mengikuti setelahnya. Untung engga jadi kutepuk. Huf, dasar, bikin jantungan!
“Turun!” Perintahnya, saat kami sudah lumayan jauh dari rumahku, tapi belum berarti ini sudah dekat dari sekolah. Kami berhenti di pinggir jalan besar. Banyak kendaraan dengan berbagai macam roda lewat di depan sana.
Mau engga mau aku turun. Membenarkan seragam dan jilbab instan putihku yang terkena angin. Kulihat wajahnya masih sama saja: tajam dan dingin. Bulir keringat terlihat di dahinya yang sedikit tertutup topi sekolah. Mukannya kelihatan capek. Apa aku berat, ya?
“Saya engga mau temenan sama orang yang punya masalah, apalagi melibatkan saya tanpa izin apa-apa,” protesnya begitu saja. Ia sudah kembali menyiapkan diri untuk mengayuh sepeda.
Idih, ge-er banget dia. Kalau bukan karena terpaksa dan ada orang lain selain dia di jalan tadi, rasanya aku juga engga mau buat ikut naik sepeda bareng. Catat, ya, aku engga mau!
Mana dia sengaja bawanya cepat banget. Kan, aku jadi serba salah. Mau pegang bahu engga mungkin, pegang tas takut putus talinya.
“Gini ya,” mataku melirik ke arah baju osisnya di sebelah kanan, tapi bet namanya engga terpasang di sana. Nambah kesan dia yang so misterius. “Kamu si tanpa nama. Kalau engga terdesak aku juga ogah bareng sama kamu tahu!” Dia mendengus, membenarkan kemeja osisnya yang tertarik ke belakang karena ulahku. Kerahnya sampai mau nyekik bagian depan.
“Jangan lagi kayak gitu,” tutupnya. Lantas pergi begitu saja. Padahal aku belum mengucap terima kasih.
Mataku membulat melihatnya. Decakan ringan dari mulutku keluar karena melihat tingkahnya yang sooo cool. Padahal tadi di depan Paman Harun dia sampai pamit izin dan salam, sopan bangetlah. Pas di depanku langsung aja jalan tanpa peduli sisa perjalananku gimana sampai sekolah.
Setidaknya basa-basi, gitu. Aku juga engga akan nolak, kalau sudah mepet dan dia maksa.
Tapi, kalau dipikir-pikir, muka anak itu engga asing. Selain satu sekolah—yang sebenarnya aku baru tahu—aku rasa seperti pernah bertemu dia di pengajian sore Ustaz Hamza. Jangan-jangan rumah kita dekatan lagi? Duh, itu semakin buat malu, jangan sampai deh.
Kakiku melaju kembali menuju sekolah. Masih tersisa lima belas menit sebelum upacara dimulai. Dari masuk sekolah di kelas tujuh, sampai sekarang menuju lulus, entah kenapa aku lebih suka menyendiri. Tapi, bukan berarti aku tertutup atau engga berprestasi. Aku suka menyapa dan mengobrol dengan teman-teman, tapi engga ada satu pun di antara mereka yang menjadikanku sahabat. Sebenarnya karena mereka sudah punya circle dan mendekatiku kadang cuma karena kemampuan yang kupunya. Lebih-lebih suka manfaatin masalah tugas.
Makanya aku selalu berdoa memiliki keluarga yang utuh—bagian ini kayaknya engga mungkin lagi—selain itu, aku pengin sekali punya sahabat yang bisa mendengar keluh kesahku.
Engga pernah ada yang tahu kalau aku punya Ibu tiri, aku menutup rapat cerita keluargaku, apa-apa yang menimpaku, padahal rasanya aku pengin cerita soal masalah yang baru akhir-akhir ini buatku kepikiran terus.
Mungkin bagi kalian, tindakanku tadi engga sopan, entah bersama Ibu Rahayu atau Paman Harun. Tapi, aku punya alasan di balik itu semua. Oke, sebelumnya aku memang sudah engga suka sama mereka, you know that—menerima kehadiran orang baru dalam keluarga itu sulit, aku belum menerima mereka.
Makanya Ayah selalu bertindak sedikit keras padaku, juga sepertinya karena sejak kecil aku tinggal bersama Nenek, dan ikatan Ayah dan anak di antara kami kurang terjalin.
Terlebih, Ayah menikah dengan Ibu Rahayu bahkan saat Nenek belum genap 40 hari pergi, dan itu tanpa sepengetahuanku.
Gimana engga kesal, kan? Rasanya aku benar-benar engga dianggap sebagai anak. Setidaknya, aku butuh penjelasan mereka kenapa tiba-tiba melangsungkan pernikahan tanpa aku tahu.
Waktu itu aku engga sengaja mendengar percakapan Ibu Rahayu dan Paman Harun di dapur, keduanya engga sadar kalau malam itu aku belum tidur.
Aku butuh minum untuk membasahkan tenggorokan, sambil menahan kantuk, aku bekerja sama dengan kaki buat ke dapur. Tapi, saat sampai sana, kantukku sudah meluap. Hilang begitu saja.
Bagaimana tidak. Ibu Rahayu mengatakan bahwa ia punya rencana menyingkirkanku dari rumah. Aku juga engga mengerti kenapa, tapi perspektifku bilang kalau itu karena dia mau menjauhkan aku dari Ayah.
____
Setahun setelahnya. Aku yang sedang membongkar lemari pakaian karena mencari satu benda peninggalan Nenek, tiba-tiba jadi ingat kejadian itu. Rasanya, aku ingin membuktikan apa ucapan Ibu Rahayu benar adanya atau engga, karena kalau beneran terjadi aku pengin mempersiapkan diri, menata hati untuk menerimanya.
Tanganku menggapai benda yang kucari. Berhasil. Aku menariknya dan melihat buku bersampul cokelat dengan gantungan jam lengkap dengan kata 'learn' di sana. Kata Nenek ini peninggalan Ibu kandungku. Bentuknya vintage banget, tiap halamannya ada tempat khusus untuk taruh foto.
Kali itu, saat aku mengingatnya, aku mencoba menulis di lembar pertama kejadian tahun lalu, jaga-jaga siapa tahu aku lupa atau bisa menjadi alat untuk membuka topeng Ibu Rahayu yang ternyata pura-pura baik.
Jariku mencatat tanggal dan waktu di sana, menulis apa yang kuingat dalam tiap ucapan Ibu Rahayu dan Paman Harun. Namun, belum saja aku menyelesaikannya. Di depan kamar terdengar keributan. Sepertinya suara Ayah dan Ibu Rahayu yang sedang beradu argumen di ruang tamu.
Aku menghentikan kegiatan. Memilih mengintip apa yang sebenarnya terjadi. Di balik pintu, aku menatap Ayah yang sudah bertampang marah dan Ibu Rahayu yang menangis. Ada apa? Jujur, keributan besar seperti ini engga pernah terjadi di rumah kami. Paman Harun engga ada di rumah, sepertinya belum juga pulang kerja.
Aku harus gimana? Menghentikan keduanya? Muncul di tengah-tengah mereka?
“Dia masih tetap harus di rumah sampai waktunya tiba,” ucap Ayah. Kedua tangannya mengepal kuat.
“Mas, kalau Mas terus bertindak seperti itu, aku engga segan-segan bawa Gladys pergi dari rumah!” tukas Ibu Rahayu, wajahnya sudah penuh derai air mata.
Mataku membulat mendengarnya. Jantungku memompa cepat. Kenapa Ibu Rahayu berkata demikian? Apa aku engga salah dengar?
Dulu, aku selalu mengatakan pada hatiku bahwa aku kuat menerima jalan hidup ini, setidaknya aku masih memiliki Ibu. Apalagi sebelum Nenek pergi, beliau mengatakan bahwa aku harus menerima kehadiran Ibu Rahayu, dan diam-diam aku selalu suka atas perhatiannya termasuk bekal mie goreng yang dia selalu siapkan.
Tapi, mendengar ucapannya demikian, aku benar-benar merasa jadi anak yang membawa beban keluarga. Aku benar-benar merasa engga pernah dia anggap sebagai anak. Apa dugaanku selama ini benar kalau dia memang punya niat menjauhkan aku dengan Ayah?
Telingaku tak kuat lagi mendengar keributan mereka. Aku memilih menutup pintu dengan decitan yang cukup keras. Menguncinya segera. Kurasa Ayah dan Ibu Rahayu tahu kalau aku mendengar pertikaian mereka tadi. Biarlah, aku cuma pengin menunjukkan kekesalanku.
Aku menangis tersedu, membawa buku peninggalan Ibuku dalam pelukan dan meringkuk di dalam selimut. Mencoba melupakan ucapan mereka yang terus terngiyang di kepalaku, menjadi luka yang engga pernah bisa kutemukan obatnya.
____
Azzam di depan sana pun engga banyak berkutik, ia menatapku tanpa kedip. “Dan Kamu melewati itu sendirian?” Aku menaikan dua alisku dan tersenyum ke arahnya. Ia terduduk lemas, mengusap wajahnya berulang kali. Menyedihkan memang, tapi itulah ceritaku sejujurnya.
“Kalau saya jadi kamu, saya engga akan sanggup dengan masa kecil yang seperti itu, Dys,” tambahnya setelah mendengar penjelasanku yang begitu panjang.
“Anggap saja itu demi amanat Nenek,” jawabku dengan meliriknya yang sudah beberapa kali menghela napas.
Layla di sampingku bahkan lebih parah dari Azzam. Dia sudah mengeluarkan isak tangis dan memelukku dari samping, “Dys, aku engga tahu keadaan keluargamu yang ternyata seperti itu. Itu pasti berat banget.”
Beberapa mahasiswa yang sedang di taman asrama juga menatap kami dengan terheran, aku memilih mengusap punggung Layla agar ia menghentikan tangisannya yang malah mengundang bertanyaan orang banyak. “Ay sudah, harusnya kan aku yang sedih,” lirihku dengan tawa pelan. Duh, Layla.
Gadis itu sudah membenarkan posisi duduk, wajahnya sudah memerah karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Ia bahkan melepas kacamatanya yang berembun.
Azzam engga tinggal diam, dia membantu dengan menyuruh Layla berhenti menangis, “Jangan cemberut begitu Layla, muka kamu lebih mirip bebek dibanding bebek itu sendiri,” usilnya.
Aku tertawa mendengarnya. Azzam memang orang yang paling tidak memerdulikan ucapan pada Layla. But, it's so great. Terbukti Layla sudah berhenti menangis. Ia sudah sedikit membaik, bahkan sudah bisa melempar gulungan tisu pada Azzam di sebrang meja.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkah mereka. “Sudah. Kurasa, kita akan benar-benar didatangi kalau kalian terus ribut.” Aku melirik keduanya yang sudah diam.
“Dys, terus gimana kelanjutannya? Ayah dan Ibumu bagaimana?” Layla sudah kembali ke topik penjelasanku tadi.
“Benar, lalu gimana caranya kamu keluar dari lingkungan keluarga seperti itu? Apa mereka tahu kamu melanjutkan pendidikan di sini?” selidik Azzam, ia sama penasarannya dengan Layla.
Aku menarik napas, ini bagian yang tersulit yang mesti aku ceritakan. Rasanya ada sayatan tak kasat mata yang terasa, ternyata setelah bertahun-tahun rasa sakitnya masih saja sama. “Aku benar-benar dipaksa pergi dari rumah.”
“Apa?” Serentak Layla dan Azzam menatapku.
“Kenapa bisa?” Layla menguncang lenganku, Azzam menengadah wajahnya sebelum menatapku kembali, “Itu keterlaluan, Dys!”
Aku memejamkan mata sejenak sebelum menatap keduanya kembali, “Aku masih mengingatnya, malam itu Ibu Rahayu memintaku bersiap tanpa menjelaskan maksudnya. Beliau memintaku segera keluar rumah dengan Paman Harun yang sudah sama siapnya denganku, aku bertanya berulang kali mengapa dan hendak ke mana aku akan dibawa, tapi dia engga menjawab.”
Layla mengusap punggung tanganku, menenangkan penjelasanku yang mungkin terasa pilu, “Pikiranku mengatakan bahwa Ibu Rahayu memang benar sengaja menjauhkanku dengan Ayah, beliau mungkin sudah engga ingin lagi melihatku di rumah itu. Aku bahkan baru tahu bahwa ternyata kepergianku engga diketahui Ayah dari cerita Paman Harun pas dia sudah membawaku pergi menjauh dari rumah. Jelas itu membuat perspektifku semakin kuat.”
“Kamu dibawa ke mana?” Azzam menaruh kedua tangannya di atas meja, “Bukan tempat yang macam-macam, kan?”
Aku tersenyum tipis, mematahkan dugaannya. “Bukan.” Bahkan kulihat wajah Layla terlihat seperti lega, “Terus ke mana?”
“Aku juga engga mengerti mengapa Ibu Rahayu mengusirku dan mengantarkanku pada tempat ini, Paman Harun menjelaskan secara garis besar bahwa aku akan pindah sekolah di sini, di Jawa Tengah. Sepanjang perjalanan dari gerbang yang cukup luas dan panjang aku menebak apa tempat ini sebenarnya. Sebuah gerbang lain dengan plang besar dan bacaan dengan tiga jenis bahasa, menjadi petunjuk di mana aku sebenarnya.”
“Pondok Pesantren Darul Akhyar,” aku melirik dua sahabatku bergantian, “Tempat yang engga pernah aku duga. Di sana, kami disambut dengan Masjid yang cukup besar, suara-suara lantunan ayat al-Quran terdengar halus di telinga. Gedung sekolah berlantai, serta lapangan yang cukup luas engga menyurutkan megahnya di tengah malam. Lalu Paman Harun mengenalkanku pada Pimpinan Pondok, Kyai Akhyar beserta istrinya.”
“Tapi kenapa harus Pondok Pesantren?” Aku mengendikan bahu pada Azzam. Karena jangankan Azzam, aku sendiri pun engga mengerti mengapa harus tempat itu.
“Aku menolak keras untuk melanjutkan di sana, tapi Paman Harun meyakinkan bahwa di sana adalah tempat terbaik aku tinggal.”
Aku mengusap permukaan sampul buku, “Di buku ini semua ceritaku tertulis, bahkan cerita saat aku menjadi santri dulu.”
“Menurutku Pondok Pesantren salah satu tempat pendidikan terbaik dalam mengasah ilmu agama dan ilmu pendidikan umum secara seimbang. Kamu beruntung. Papaku selalu berharap aku melanjutkan pendidikan di sana,” tukas Layla, ia sudah melihat beberapa halaman di bukuku.
“Saya juga penasaran dengan kehidupan menjadi santri, kamu tahu gimana keluarga saya, Dys. Kalau aja dulu ada kesempatan, rasanya saya lebih baik mengasingkan diri dan belajar di sana,” tambah Azzam setelah ia mengecap segelas teh hangatnya.
Aku tersenyum lebar menatap keduanya, setuju dengan ucapan mereka. “Benar, meski awalnya aku menolak dan susah untuk beradaptasi, tapi ternyata Pondok Pesantren itu engga seburuk yang kupikir, bahkan menjadi tempat aku bernaung, memberikan banyak pelajaran dan kebahagiaan yang sebelumnya aku engga pernah dapatkan. Darul Akhyar sudah kujadikan rumah. Kalau pun aku harus pulang, hanya satu tempat itu yang akan kukunjungi.”
“Jadi itu alasan kamu engga pulang selama empat tahun ini?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Layla, “Ayah dan Ibuku engga tahu bahwa aku melanjutkan pendidikan di sini, bahkan selama jadi santri, aku engga pernah dijengguk orang tua.” Sudut bibirku tertarik kala mengatakan demikian.
Kulihat wajah Layla kembali cemberut. Azzam di sebrang sana menguatkan, “Kamu benar-benar perempuan kuat, Dys. And now you got it, mendapatkan kebahagiaan bahkan bisa melanjutnya pendidikan di sini dengan beasiswa.”
“Ya, karena aku percaya setiap kejadian buruk di masa lalu mungkin engga selamanya berkesan buruk, ada banyak pelajaran yang didapat yang justru membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik.” Syukurku mengudara, karena kejadian masa lalu yang menjadi motivasiku untuk berubah dan menunjukkan kualitas diri secara maksimal. Bahwa ternyata tanpa dukungan kedua orang tua pun, aku bisa mewujudkan cita-citaku. Meski rasanya kurang.
“Dys, kamu mau cerita saat kamu jadi santri dulu? Aku penasaran gimana hidupmu setelah berada di sana.”
“Saya juga pengin tahu gimana sistem belajar di sana. Apalagi pelajaran agama terkait kitab?” Azzam menaikan satu alisnya, “You know me so well, saya bahkan awam atas itu semua. Mungkin kamu bisa sambil ajarin kita pelajaran yang kamu tahu?”
Aku mengangguk menyetujui, engga keberatan atas permintaan mereka. Justru merasa senang karena bisa berbagi kisah masa lalu. Setidaknya kisah yang aku anggap buruk justru malah membuat orang lain yang mendengarnya bisa memetik pelajaran. Karena, aku mungkin engga bisa mengubah kisah masa lalu, tapi aku bisa menjadi lebih baik di masa depan.
“Terus di sana, apa kamu menemukan apa yang kamu cari? ” Azzam bersuara kembali.
Aku berpikir sejenak, tersenyum simpul memandangnya. “Sebagian besar sudah, termasuk permintaanku dulu, punya sahabat yang mendengar keluh kesahku.”
“Oh ya, siapa?” Keduanya kompak bertanya. Kayaknya bukan cuma urusan makanan, Azzam dan Layla memang sudah punya ikatan kekompakan.
“Ada. Tiga orang yang mengubah hidupku, membantu semua yang pengin kuraih, mendukung atas apa yang menjadi pilihanku,” Aku melirik keduanya yang masih menunggu, “kalian juga, orang-orang yang selalu ada dan banyak membantu.” Keduanya tersenyum tulus.
“Ah ya, Pondok Pesantren itu juga identik sama Ustaz-Ustazahnya, kan? Gimana?” Layla sudah kembali dengan jiwa riangnya, ia bahkan sepertinya lupa bahwa tadi sempat menangis.
“Mereka baik, bahkan membantuku dalam hal pelajaran, sampai membimbingku bisa kuliah di sini. Meski aku sendiri engga lepas dari hukuman mereka.” Aku tertawa saat mengatakannya.
Mataku kembali menatap Layla yang sudah menyipitkan pandangan, “Kalau sama santri putranya? Apa ada yang bikin hati kamu klepek-klepek?”
Aku tertawa mendengarnya, Azzam di sebrang meja membulatkan mata, “Itu hati atau ikan?”
Layla berdecih pelan menatap Azzam, “Kamu engga suka laki-laki kayak Azzam 'kan, Dys? Jangan sampai deh! Aku bertaruh, laki-laki itu pasti hebat sudah bisa buat kamu jatuh hati.”
Aku mengendikan bahu, mataku engga sengaja tertuju pada sebuah rangkaian bunga kering yang tertempel di salah satu halaman buku.
“Mungkin,” lirihku tanpa sengaja.
Jawaban yang membuat Layla menyenggol bahuku berulang kali seolah sengaja meledek, “Siapa namanya?”
“Bukan, maksudku...” Haish, pengin kupukul deh ini mulut! Aku merutuki diri karena berkata seenaknya, mataku meminta bantuan Azzam agar Layla berhenti bertanya perihal itu. Tapi, Laki-laki itu hanya menggeleng pelan dengan memijat pangkal hidungnya.
“Gimana kalau kita lanjut makan?” tawarku, pandanganku sudah tertuju pada baklava yang sudah engga sehangat tadi, “Baklava terlalu enak untuk didiamkan.” Aku menaruh bagian-bagian kecil pada piring Layla dan Azzam.
“Tapi kamu janji 'kan mau ceritain saat kamu menjadi santri?” Aku mengangguk, setelah menyuap bagian kecil baklava.
“Aku akan lanjut bercerita saat pertama kali aku menginjakkan kaki Pondok Pesantren, saat pertama kali aku bertemu tiga sahabatku, saat perjuanganku sampai ke Turki dimulai.”
🍂🍂🍂
Terima kasih sudah baca part 2 Gladys.
Sampai bertemu part 3 :)
Ingatkan aku kalau ada bagian yang salah, ya.
If you find something from this story, tag me on instagram (@) baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.
Salam, Magicilicious
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top