12 | Jalan Hidup

Bismillahirrahmanirrahim

🍂🍂🍂

WAKTU istirahat masih setengah jam lagi. Dilihat dari luar, ruangan guru terlihat sepi. Para Guru pasti sibuk mengajar di setiap kelas. Kakiku terus masuk ke dalam untuk menyimpan tumpukan buku tugas Bahasa Indonesia di meja Pak Ismail.

Aku sempat terkejut kala menemukan Miss Hani di dalam ruangan yang sedang mengobrol dengan seseorang. Percakapan mereka, berhasil membuatku memelankan langkah. Sayup-sayup kudengar suara Miss Hani yang terdengar kecewa karena anak yang memunggungiku sepertinya engga memenuhi permintaannya.

Entahlah, aku juga engga tahu pasti karena engga berniat sama sekali buat nguping percakapan mereka.

"Ghufron," panggilan akrabku di sekolah. Suara lembut milik Miss Hani terdengar, aku spontan mengalihkan pandangan ke arahnya. Kulihat sudah engga ada keberadaan siswi tadi.

Wajah Miss Hani terlihat murung saat menatapku, engga seperti biasanya yang tampil enerjik.

"Ya, Miss?"

Beliau menepuk bahuku pelan, "Kamu siap 'kan, kalau acara perpisahan kelas sembilan nanti jadi perwakilan siswa untuk pidato sendirian?"

"Bukannya biasanya berdua, Miss?" Begitu, biasanya. Yang kutahu dari setiap tahun, acara perpisahan akan menampilkan dua siswa terbaik untuk memberi sambutan atau pidato perwakilan siswa lain, tapi kenapa tahun ini engga?

"Apa siswi tadi calon perwakilan?" tebakku. Miss Hani cuma mengangguk tanpa menjelaskan.

"Kita mungkin sesekali harus mengubah kebiasaan." Rasanya aku pengin menanyakan alasannya, atau setidaknya pengin tahu siapa siswi yang menolak itu, tapi melihat respon Miss Hani yang demikian sepertinya engga sopan kalau menanyakan macam-macam.

Itu juga bukan urusanku.

Lagipula sejujurnya aku juga enggan untuk berpartisipasi sebagai perwakilan siswa lain. Bukan karena aku engga senang karena mendapat predikat terbaik, tapi kalau akhirnya banyak dari mereka malah menganggapku sebagai siswa teladan di balik nama orang tua. Untuk apa?

Setelah menyetujui tanpa keberatan ucapan Miss Hani, aku segera kembali menuju kelas.

Mataku tak sengaja menatap siswi tadi yang masih berdiri tak jauh dari ruang guru, ia masih saja memunggungiku. Siapa dia sampai bisa menolak tawaran Miss Hani?

Semakin lama aku melihatnya, gesturnya terlihat aneh. Ia seperti mengusap wajahnya dengan isak tangis terdengar. Tunggu, dia bukan lagi nangis, kan?

Saat aku hendak mendekat dan menegurnya, kulihat dari arah depan ada beberapa siswa lain yang mendatanginya. Ia seketika berhenti mengusap wajah. Aku yang melihatnya merasa heran, bisa kutebak ia pasti sudah mengubah ekspresi, apalagi dengking tawa mereka tak lama terdengar.

Secepat itu dia bisa mengubah semuanya? Ah, sudahlah aku juga engga peduli.

____


"Abi sudah menyiapkan sekolah terbaik kalau kamu sudah lulus nanti, dek," mataku melirik ke arah brosure yang Abi sodorkan. Seketika sajian makan malam yang sedang kusantap kehilangan nikmatnya.

Abi dan keinginannya adalah dua hal yang wajib dipenuhi. Mana berani semua penghuni rumah membantah. Aku tahu, maksud Abi baik, entah tindakan atau ucapannya, beliau hanya ingin mendidik anaknya termasuk mempersiapkan masa depanku dan Abang ke jenjang yang terbaik, tapi karena sikapnya yang demikian, kadang sering kali permintaanku engga pernah beliau dengar.

"Pondok Pesantren Darul Akhyar, di Jawa tengah. SMA IT-nya berakreditas favorit. Di sana juga ada banyak jurusan, fasilitas lengkap, pokoknya terbaik buat kamu, dek." Mood-ku benar-benar turun, sebetulnya aku sudah mengincar satu SMA Negeri favorit di Jakarta, Abang pun menjadi alumni di sana, tapi kenapa mesti aku yang harus mondok?

"Bi, biarin Ghufta makan dulu," itu suara Umi, beliau pasti bisa lihat wajahku yang ditekuk karena menolak keras usul Abi, Umi paling pengertian kalau masalah ini.

"Kalau Abangmu bisa lulus SMA Negeri dan masuk ITB, kamu juga mesti bisa sama kayak dia, syukur-syukur kalau lulus dari Pondok Pesantren bisa lanjut kuliah di Cairo," kekehan Abi terdengar menyelip di antara perintahnya. Aku tahu itu hanya cara halus Abi agar aku mengikuti ucapannya.

Tapi, engga ada sedikit pun minatku untuk melanjutkan ke sana. Kenapa aku engga pernah bebas menentukan pilihan hidupku sendiri?

Bukan aku engga tahu kalau Abang pun berjuang mati-matian untuk masuk ITB sebagai pembuktian ke Abi karena menolak permintaan untuk mondok. Tapi akhirnya Abi terima saja apalagi saat tahu Abang Akmal diterima Perguruan tinggi ternama.

Keberhasilan Abang jadi tolak ukurku sekarang, tak jarang Abi sering membandingkan kami. Apalagi soal keinginannya untuk mondok, sekarang semuanya seolah dialihkan kepadaku.

"Engga kejauhan, Bi?" tukasku sedikit mengalihkan.

"Masih di Indonesia, kan? Jauh itu kalau kamu sekolah di luar negeri, dek," Abi mencoba bergurau, mengusap puncak kepalaku, "Anak laki-laki mesti punya banyak pengalaman hidup, lagian di sana juga ada teman Abi. Ada yang menjaga kamu dan engga bikin Abi khawatir di sini."

Aku tercengang saat mengetahui hal itu. Jujur saat mendengarnya, bukan malah membuatku senang, justru malah membuatku harus menanggung beban yang nantinya akan membawa nama Abi, gimana kalau di sana aku engga betah? Atau membuat ulah? Karena aku juga cuma anak laki-laki biasa dan engga seteladan yang Abi pikir.

"Sudahlah dek terima aja," suara Abang Akmal terdengar dari balik pintu kamar, ia keluar sembari mengeringkan rambut basahnya dengan handuk, "lumayan kalau benaran kamu kuliah di Cairo," aku mendengus pelan mendengarnya.

"Nanti kamu bisa ketemu onta di sana," ledeknya, aku membalas dengan melembar sendok yang sayangnya malah mengenai tembok.

Abang Akmal semakin meledekku, aku mengejarnya yang malah masuk kembali ke kamar. Dasar, Abang penakut!

Suara Umi tak lepas terdengar menghentikan keributan kami berdua. Meski belum memberi jawaban pasti, namun aku tahu permintaan Abi engga akan bisa aku tolak begitu saja.

____

"Kalau Ghufta pasti bisa masuk ke sana, Pak Ustaz 'kan punya banyak link, Mi. Apalagi dia anaknya pintar, Umi juga seorang Guru, pasti ilmunya nurun."

Cekalan tanganku di gagang pintu tertahan, suara-suara tetangga sekitar rumah terdengar. Umi setiap pagi selalu rajin membersihkan tanaman sebelum berangkat mengajar, demikian tak menutup kemungkinan mereka bertemu di halaman depan.

Umi engga pernah membandingkan aku dengan Abang, beliau selayaknya Ibu yang mencurahkan kasih sayang, kadang kalau aku atau Abang membuat ulah, Umi tak segan menghukum kami, cuma Abi yang paling gengsi kalau kami berbuat salah. Entah karena apa, Abi sepertinya lupa bahwa kami juga bisa berulah seperti anak laki-laki lain.

"Miii, Ghufta berangkat, ya!" seruku dari pintu depan.

Kulihat Umi menengok ke arahku yang sudah siap mengayuh dengan sepeda, "Eh, salamnya mana?"

"Mikum," Umi jengkel melihatku, "eh, Assalamu'alaikum Umi," ulangku memberi salam yang baik sembari melambai ke arahnya.

Umi tersenyum membalas salam dan lambaikan tangan juga.

Disanjung atas nama orang tua membuatku sedikit terbebani. Gimana engga, mereka bisa mewajarkan kalau aku berjuang atas usahaku sendiri, contohnya saja predikat yang kuraih. Padahal mereka engga tahu, kadang keberhasilan itu kudapatkan karena proses yang panjang, bukan semata-mata karena status keluargaku.

Tapi, semua berbanding terbalik kalau kesalahan yang kulakukan. Mereka selalu mengherankan, 'Bagaimana mungkin anak seorang Guru bisa berulah?' Belum lagi, status Abi sebagai tokoh agama, menjadi bahan cibiran kalau mereka melihat tingkahku yang berbuat ulah, yang tentu seperti aib dalam keluarga.

Rasanya, aku sudah bosan melihat perlakuan semuanya. Sesekali aku ingin melangkah tanpa paksaan, melebarkan sayap melawan arah angin, terbang sesuai keinginanku sendiri menuju mimpi yang ingin kugapai.

Kayuhan sepedaku pelan, masih pagi saja sudah ada yang mengusik rasa kesalku. Seringnya rasa yang selalu menyergap ini kuabaikan, tapi semakin dewasa aku semakin engga tahan sama omongan orang-orang tentang aku. Rasanya, aku ingin membuktikan bahwa aku mampu tanpa perlu embel-embel predikat orang tua.

Mataku tak sengaja menangkap keberadaan seseorang yang tiba-tiba menghentikan laju sepedaku, tangannya mengibas-ngibas ke arah depan. Ini lagi, aku bukan ojek sepeda yang bisa diberhentikan mendadak.

Baru saja aku hendak protes, dia sudah mengeluarkan suara. "Aku bareng teman," ia menunjukku begitu saja seolah kami sudah saling mengenal. Matanya seperti memberi kode bantuan. Haish, kenapa pagiku terasa semakin mengesalkan?

"Sejak kapan kamu jadi teman saya?" protesku begitu saja. Engga sanggup lagi aku menahan apalagi mengajakku ke dalam masalahnya. Urusan keluargaku saja sudah banyak.

Ia spontan melotot ke arahku, tapi senyumnya masih terbit seolah menunjukan semuanya baik-baik saja.

"Sejak tadi," jawabnya. Belum sempat aku membantah, tapi gerakannya yang cepat sampai tiba-tiba naik di pedal belakang sepeda bikin aku engga bisa berkutik. Ini bukan berarti aku bareng dia ke sekolah, kan?

Meski engga terima begitu saja, tapi tindakannya yang aneh kuyakin mengartikan sesuatu yang lain, apalagi seseorang yang lebih dewasa dan berpakaian rapi berdiri tak jauh dari kami di pagar rumah.

Apa mungkin itu Kakaknya? Apa mungkin dia sepertiku yang suka kesal sama Abang dan ini caranya biar menghindar dan engga diantar ke sekolah? Kasihan juga, sih.

Tepukan di bahuku terasa. Dasar anak ini! Sudah menghentikan orang tiba-tiba, sekarang malah dia yang engga sabaran, engga tahu apa kalau berat bebanku bertambah karena dia naik sepeda. Baru naik saja, sudah kurasakan keringat bercucuran di kerah seragamku.

Mataku melirik ke arah pagar, meski saling engga kenal namun aku tetap mencoba untuk berlaku sopan. Kuucapkan salam dengan benar dan pamit izin padanya yang diikuti oleh gadis itu.

"Turun!" ucapku saat pemberhentian gang rumah sebelum menuju jalanan besar, mataku menatapnya kesal. Dia terlihat kepanasan, tangannya lincah mengibaskan ke depan mukanya dan membenarkan jilbab putih yang ia gunakan.

"Saya engga mau temenan sama orang yang punya masalah, apalagi melibatkan saya tanpa izin apa-apa." Tanganku sudah membenarkan sisi baju seragamku yang kusut karena tertarik olehnya, keringat di dahiku terasa bercucuran. Benar-benar menyusahkan.

"Gini ya, kamu si tanpa nama. Kalau engga terdesak juga aku ogah bareng kamu tahu!" Kuabaikan omelannya gitu saja, sudah untung kubantu, tadi saja kutinggal dia di depan pagar. Atau kutambah kecepatan laju sepeda biar dia kelimbungan. Huf.

"Jangan lagi kaya gitu." Sudahlah kuakhiri pertemuan ini dengan sedikit petuah, biar dia engga berlaku kayak tadi sama siswa lain, cukup aku korbannya yang tiba-tiba dipaksa untuk ikut permainan dia.

Kuulangi, secara paksa tanpa ucapan terima kasih. Hiks, menyedihkan.

Aku terus mengayuh sepeda tanpa menengok kebelakang. Meski sebenarnya hatiku sedikit engga enak karena meninggalkannya gitu saja. Ah, bodo, dia juga pemaksa!

_____

Tanganku memeriksa kondisi ban belakang sepeda yang terlihat kempes, keadannya sudah engga memungkinkan kalau aku naik lagi.
Kenapa bisa tiba-tiba terjadi di waktu yang engga tepat?

Aku menggerutu pelan, padahal kondisiku sudah lelah apalagi tadi sehabis latihan pidato bersama Miss Hani, tubuhku sudah meminta haknya buat segera ngerasin nikmatnya rebahan di kasur empuk. Tapi, mau engga mau aku memecahkan khayalan itu dan menerima kenyataan, karena nyatanya sekarang aku lagi nuntun sepeda di sore hari dengan berbagai kendaraan yang terus melaju kencang tanpa peduli aku termisuh-misuh di jalan sendirian.

Tanya kek, bantu kek, ini jalan aja.

Kakiku sepertinya sudah engga sanggup lagi melangkah, apalagi sedaritadi mataku engga menemukan bengkel untuk memperbaiki ban sepeda. Lengkap sudah penderitaanku.

"Dek, sepedanya kenapa?" suara seseorang di sampingku terdengar, kulihat ia berpakaian seperti montir, tangannya penuh oli dan saat mataku menatap papan bilboard di atas sana, sebuah nama bengkel terlihat.

Tepat, memang rezeki anak soleh.

"Ban belakangnya kempes," keluhku.

Ia menarik sepedaku untuk ia lihat, aku menunggunya namun ia malah menatapku tajam dengan dahi terlipat, "tunggu, bukannya kamu teman Gladys?"

Aku menatapnya engga mengerti. Siapa itu?

"Kalian berangkat sekolah beberapa waktu lalu, dia dibonceng pakai sepeda ini." Otakku mencerna ucapannya. Kalau diingat-ingat engga pernah ada yang kubonceng sebelumnya, kecuali satu.

"Kita pernah ketemu pagi itu. Ingat, kan?" Mataku melebar kala mengingatnya. Jangan-jangan yang dimaksud adalah anak perempuan yang mengesalkan itu.

"Saya Pamannya, nama saya Harun."

Tanganku menyambut ulurannya, aku ikut memperkenalkan diri juga.

Baru kutahu nama anak itu adalah Gladys. Setelah kejadian itu kita engga pernah bertemu lagi dengan sengaja atau pun papasan gitu saja, tapi untunglah. Kalau engga, dia pasti sengaja menjadikan aku alat lagi untuk menghindari Pamannya ini.

"Kenapa pulangnya sore?"

Aku diberi sambutan baik, duduk di kursi tamu bahkan disediakan air mineral, kondisi bengkel sepertinya sudah mau tutup hanya saja Paman Harun membuka sedikit rolling-nya karena aku masih berada di dalam sebagai pelanggan.

"Habis latihan pidato di sekolah."

"Oh ya? Keren!" Ia memujiku, wajahnya terlihat bersahabat, tapi kenapa perempuan itu, eh maksudku Gladys seperti engga menyukainya?

"Saya jadi ingat Gladys, waktu itu saya engga sengaja lihat dia di kamar berdiri depan kaca sambil menghapal sesuatu, seperti lagi pidato pakai bahasa Inggris, tapi saya biarkan. Maklum, saya engga begitu ngerti."

Untuk apa dia melakukan hal itu kalau bukan jadi perwakilan siswa? Aku saja yang terpilih merasa beban. Dasar, aneh.

"Kalau Gladys gimana di sekolah?" Paman Harun lincah memompa ban sepeda, tatapannya sesekali membagi ke arahku dan ban. "Kalian 'kan teman."

Aku menatap arah lain, tawa sumbang kukeluarkan untuk menutupi kegugupan. Teman dari mana? Aku saja baru tahu dia saat itu, bahkan engga ada sesi perkenalan lebih lanjut. Ya, maksudnya engga mengharapkan juga, tapi sekadar tahu nama, dia juga engga memperkenalkan. Anak itu nampaknya engga cukup populer di sekolah, buktinya aku jarang menemukan dia di eskul atau forum organisasi.

"Ya, dia...," pikiranku terlintas saat dia yang marah-marah kuturunkan di pinggir jalan, belum lagi mukanya yang sama sekali engga bersahabat, "cerewet, dan suka ngomel."

Kudengar dengking tawa dari Paman Harun terdengar, lamunanku buyar karena melihat ekspresinya, kukira akan marah atau engga terima, tapi justru aku mendapat respon yang berbeda. "Saya bahkan engga pernah lihat Gladys bereskpresi seperti itu. "

Aku mengangguk pelan, kuharap Paman Harun juga engga melihatnya. Bisa kaget dia karena melihat keponakannya berubah menyeramkan.

"Rasanya saya juga pengin lihat dia bersikap demikian seperti anak perempuan lain, tapi waktu engga pernah mengizinkan saya buat melihatnya."

Paman Harun beralih menatapku, "Gladys di rumah cenderung diam dan engga banyak bicara."

Keterkejutan engga bisa kututupi saat mendengarnya. Paman Harun bahkan semakin tertawa kala aku melongo di depannya. Anak itu bersifat diam dan engga banyak bicara sepertinya adalah dua kemungkinan yang engga terjadi. Mana mungkin?

Dia bahkan lebih cerewet dari anak perempuan yang sering kutemui di sekolah. Apa dia punya dua jenis kepribadian? Rasanya engga mungkin banget. Kalau dia punya kembaran masih bisa kuterima, kembarannya yang diam dan dia yang tukang ngomel, cocok.

"Sebenarnya dia baik, hanya saja keadaan keluarga kami yang membuatnya seperti itu " kulihat wajah Paman Harun sedikit murung, namun ia buru-buru menutupinya, "tapi saya senang saat dia memperkenalkan kamu sebagai teman, saya khawatir dia engga bisa berbaur dengan teman di sekolahnya, tapi untunglah."

Aku masih diam engga banyak bicara, kepalaku cuma mengangguk sebagai jawaban. Mencerna semuanya yang rasanya engga bisa kupercaya.

Andai aku bisa mengakui bahwa kami juga bukan teman dekat. Tapi, rasanya semua sudah terlanjur terjadi, engga enak pula karena Paman Harun sudah bersikap baik dan menceritakan sedikit tentang gadis aneh itu. Tambahannya karena menjadi 'teman dadakannya', ongkos bengkel beliau gratiskan.

Tapi, mendengar penjelasan Paman Harun, kenapa aku rasa kalau Gladys melakukan demikian karena menutupi kesedihannya? Apa mungkin masalahnya terpaksa bikin dia pura-pura cerewet dan menutupi semuanya. Seberat apa memang?

Huf, ini malah buatku kepikiran. Benar-benar dia menyusahkan!

___

"Ghufta!" sebuah bantal mendarat tepat di mukaku kala panggilan itu terdengar. Tanganku mengambil alih bantal dan menatap dua orang di depanku yang tertawa. Aku melirik mereka sebal.

Lamunanku seketika buyar saat mengingat insiden dulu. Engga ada yang tahu kalau aku dan Gladys pernah bertemu bahkan sempat satu sekolah, termasuk dia sendiri yang engga pernah sadar sama kehadiranku dan kami dipertemukan kembali, sikapnya yang cuek bahkan terkesan engga mudah mengingat sesuatu sebenarnya bikin aku sedikit lega. Mungkin juga karena perubahan kami di masa pertumbuhan. Jadi, ada beberapa perbedaan yang terjadi. Coba saja kalau dia tahu aku adalah si anak sepeda waktu itu, makin-makin deh dia pasti menjaga jarak dariku.

Kilat mataku sudah menatap ke arah Azri yang berlagak polos tanpa salah, kukembalikan bantal yang ia lempar namun dengan sigap bisa ia tangkap, "masih mikirin yang tadi?"

Binar di sampingnya menatapku dengan mata bertanya, Azri lebih dulu menjelaskan, "biasa, Ghufta dan anak pindahan memasuki episode ke 876593109 kali." Keduanya tersenyum jahil.

"Sudahlah, orang bukan kamu pelakunya, kan? Engga usah dipikirin."

"Siapa juga yang mikirin dia," elakku, lantas merebahkan diri di kasur. Azri dan Binar malah semakin giat menggoda.

"Tapi, siapa pun yang melakukan itu termasuk tindakan sengaja, apalagi kalau dia tahu pintu itu rusak," Azri masih terus menjabarkan kejadian tadi pada Binar, aku yang berbeda ranjang dengan mereka cuma bisa mendengarkan di atas sini.

Sesekali kadang mereka mengungkit kejadian mangga yang Gladys pernah lempar ke arahku, keduanya memang hobi sekali memancing tapi tak jarang aku juga ikut membalas ledekan mereka.

Aku masih memikirkan siapa pelaku sebenarnya, tindakannya itu sudah kertelaluan, pasti itu semua bukan karena ketidaksengajaan, mana mungkin dia bisa dengan tega menutup pintu kalau dia tahu pintu itu rusak dan membuat Gladys terkunci di dalam sana. Keterlaluan.

Tunggu, pintu yang rusak? Engga ada yang tahu insiden ini kecuali anak-anak eskul kemarin. jangan-jangan pelakunya engga jauh dari anggota tim buletin sendiri, tapi siapa?

____

Langkahku sedikit cepat menuju ruang eskul, setelah semalaman memikirkan rencana apa yang kubuat untuk mencari bukti pelakunya, akhirnya kuputuskan untuk menyelidiki. Bukan karena peduli, aku cuma pengin meluruskan saja masalah yang terjadi.

Kulihat ada dua petugas yang berjaga di depannya, sepertinya itu bagian service pintu yang sedang bertugas. Keberadaan mereka menjadi penghalangku untuk bisa masuk ke ruangan karena pintu sedang masa perbaikan, padahal aku sudah menyisihkan waktu istirahat untuk ke sini, menunda sebentar pertemuanku dengan Ustaz Ahmad di Wisma, sampai mencari alasan ke Azri dan Binar, biar mereka engga tahu kalau diam-diam aku menyelidiki hal ini.

Bukan semata-mata karena Gladys ya, bukan. Kuulangi, aku cuma penasaran saja. Titik.

"Kalau kamu ketahuan gimana? Kalau Kak Gladys lapor ke Ustaz Ahmad?"

"Engga akan ketahuan, kan alasannya bisa karena pintunya rusak, dan tertutup karena angin."

Suara-suara ini terdengar halus saat kakiku melangkah kembali menuju ke Wisma. Ada satu lorong pembatas antara santri putra dan putri di bagian gedung sekolah, tapi mataku engga bisa menemukan pelakunya cuma suara mereka yang terdengar sayup. Kenapa mereka bawa-bawa nama Gladys?

Kakiku semakin merapat untuk mendekat, namun ucapan-ucapan mereka sudah hilang begitu saja.

Aku memilih menepi, menyudahi rasa penasaranku, berusaha mengabaikan kejadian kemarin namun tetap saja kejanggalan ini cukup membuatku memikirkannya. Siapa sebenarnya yang tega melakukan hal demikian?

Fokusku kembali ke Ustaz Ahmad, aku suka berencana menceritakan insiden kemarin sore pada beliau, termasuk seseorang yang mengunci Gladys di sana.

Tapi, dalam perjalanan menuju Wisma, mataku menangkap seseorang yang sedang menenteng belanjaan dengan berat, beberapa santri lain juga ikut membawa belanjaan yang sama. Semenjak kedatangan Gus Nuril, beberapa santri diberi tugas piket memasak membantu di bagian dapur, dan aku tahu, pasti Gladys sedang membantu menjalankan tugasnya.

Harusnya kakiku melangkah ke arah Wisma dengan lurus begitu saja, namun entah mengapa kubelokan sedikit ke arahnya yang membawa barang, bukan maksud mendekati cuma pengin mengerjainya.

Entah mengapa, melihat Gladys yang suka marah-marah malah membuatku semakin suka menjahilinya. Dia engga pernah terlihat bersahabat kalau bertemu denganku, mukanya merah seperti mengeluarkan asap, bahkan rentetan omelannya terdengar. Lucu saja lihat dia marah.

"Loh, katanya kamu enga kuat, kok tiba-tiba bisa ke bawa?" Seseorang di sampingnya mengatakan demikian dengan tatapan heran.

Sepertinya dia pura-pura kuat saat melihatku. Tangannya sudah bisa membawa sekantong plastik yang bisa ia bawa dengan mudah. Matanya tajam menatapku yang berjalan sengaja ke arahnya padahal nanti kubelokkan menuju Wisma.

"Enggak, enggak berat, Rul! Ini, sih, enteng bagiku!" lagaknya pamer. Aku menipiskan bibir, kulihat dia yang sudah jalan menuju dapur dengan langkah lebar.

Aku cuma menahan tawa kala melihatnya yang mencoba menguatkan diri dari beban belanjaan, padahal jelas sekali ia engga kuat.

Kakiku sudah kembali pada jalan menuju wisma, tadi sedikit saja aku mengerjainya, wajahnya semerah tomat dengan mata lebar yang menyala ketika melihatku menjadi ciri khasnya. Heran, kenapa cuma ke aku dia bersikap demikian?

Dasar aneh dan engga bisa kutebak.

____

"Kalau masalah pintu sudah beres kok, Ghuf," Ustaz Ahmad menjawab keluhanku, kalau itu aku juga sudah tahu, bahkan bertemu dengan ahli service-nya tadi.

"Jadi, kenapa kamu ke sini?"

Aku berpikir sejenak untuk menyampaikan maksudnya, kalau tiba-tiba bilang Gladys kekunci tanpa bukti kurasa Ustaz Ahmad engga akan percaya gitu saja. Huf, teledor sekali aku ini. Harusnya aku menyiapkannya tanpa buru-buru melaporkan.

"Ghuf, engga ada apa-apa lagi, kan?". Beliau menanyakanku lagi.

Aku tersenyum ke arahnya sambil menggeleng, terpaksa kutunda dulu laporan ini, "Saya kira Ustaz belum tahu."

"Sudah tahu, tadi Gladys sama Nurul ke sini buat ceritain pintu yang rusak," ucapan Ustaz Ahmad berhasil membuatku melebarkan mata, anak itu sudah cerita lebih dulu?

"Makanya Ustaz langsung panggil service."

"Dia cuma cerita itu saja, Staz?" Kulihat Ustaz Ahmad mengangguk tanpa bantahan.

Aku ber-oh pelan. Ternyata Gladys cuma menceritakan sampai situ saja. Sepertinya dia engga mau memperpanjang masalah atau sampai Ustaz Ahmad tahu. Ah, mungkin belum waktunya.

"Oh ya, satu lagi." Aku mengangkat wajah seketika, Ustaz Ahmad memberiku sesuatu yang dibungkus pada plastik biru, "Apa ini, Staz?"

"Boleh Ustaz minta tolong?" Aku mengangguk, "antarkan plastik ini ke dapur, sepertinya tadi Gladys lupa buat bawa, malah tertinggal di meja. Tenang, engga Ustaz buka isinya."

Kenapa dia bisa mudah banget lupa, sih? Mau engga mau aku menerima dengan berat hati dan rasa malas untuk berhubungan dengan gadis itu, akhirnya semua kulakukan demi Ustaz Ahmad. Awas saja kalau ternyata bungkusan bukan miliknya.

Baru saja aku hendak melangkah ke arah dapur, kulihat anak itu beserta temannya sibuk menelisik sesuatu, mataku mengikuti gerakkannya yang seperti mencari barang.

Ia menatapku kaget kala aku sudah berdiri tak jauh darinya.

Kujulurkan langsung plastik biru ke depannya, "Ini punyamu? Tadi ketinggalan di ruangan Ustaz Ahmad."

Belum sempat aku mengembalikan padanya, ia sudah menahan-nahan agar plastik itu tetap kupegang, "Engga usah!"

Mataku menatapnya engga mengerti, "itu buat kamu saja!"

Kalimat protesku dibungkam, dia sudah membuka suara kembali, "jangan dibuka di sini, buka di tempat sepi atau tunggu sampai aku kembali ke asrama."

Plastik itu masih menggantung di tanganku, langkah Gladys semakin mundur, "inget ja-ng-an du-lu di-bu-ka!" ejanya dengan mata mengawasi.

Dia lantas menarik temannya menjauhi dan berlari menuju asramanya. Meninggalkanku yang masih kebingungan.

Mataku menelisik plastik biru yang terbungkus, ini bukan berisi sesuatu yang buat aku tercengang, kan? Dia engga bermaksud mengerjaiku, kan?

Setelah memastikan dia pergi menjauh, tanganku menarik ikatan talinya lantas mengambil isinya yang berbentuk, bulat?

Mataku melebar kala sebuah mangga sudah berada digenggamanku lengkap dengan sesobek kertas kecil yang tertempel di depannya dengan bertuliskan, sori.

Hah? Ini maksudnya apa?

🍂🍂🍂

Pov Ghufta belum selesai sampai sini, nanti ada sesinya lagi, ya. Hihi

Next bagian Gladys lagi, ya.

Terima kasih sudah membaca cerita Gladys. Sampai bertemu di part 13 :)

Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah, ya.

If you find something from this story, tag me on instagram (@) Baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.

Salam, Magicilicious

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top