10 | Kedatangan


Bismillahirrahmanirrahim

🍂🍂🍂

Coincidental

HARI yang ditunggu keluarga Kyai dan semua santri tiba. Kedatangannya sukses bikin heboh  seluruh penghuni Darul Akhyar. Kupingku rasanya bosan karena dengar berita ini. Dari mulai desas-desus kepulangannya sampai beliau sudah tiba pagi ini. Siapa lagi kalau bukan, Gus Nuril.

Pagi ini saja terasa berbeda, dari selesai salat jama'ah subuh, santri putra sudah sibuk membersihkan halaman di taman Masjid Jami, mereka bergotong royong seolah debu seujung
kuku pun bisa merusak suasana penyambutan.

Sedangkan santri putri banyak yang ditarik untuk membantu di bagian dapur ndalem, menyiapkan berbagai macam makanan besar sama kue-kue tradisional sebagai hidangan.

Acara penyambutannya cuma dilakukan sederhana di Masjid Jami, tapi tipe sederhana untuk kepulangan Gus kesayangan Kyai rasanya engga sesederhana kelihatannya.

Percaya deh, semua sibuk, banget.

Semua santri putra sudah berkumpul di Masjid Jami, lengkap dengan keluarga Kyai yang mendampingi serta pengurus Pondok. Cuma santri putra saja yang boleh berbaur di dalam Masjid buat menyambut langsung kepulangan Gus Nuril. Sedangkan santri putri engga bisa ikut berbaur karena Kyai engga mengizinkan.

Meski begitu, sebagain besar santri putri lebih milih stay di luar dekat area Masjid sambil bisik-bisik, meski sudah disuruh untuk engga ikut menyambut, tapi mereka tetep kekeuh, jelas terlihat banget raut wajah mereka yang penasaran.

Semua cuma buat lihat wajah rupawan Gus Nuril yang katanya kalau lewat bisa bikin mata engga kedip. Masa, sih?

“Dys, ayo ikut sambut Gus Nuril di Masjid!” Nurul sudah heboh sambil narik-narik tanganku, dia bahkan sudah beberapa kali benerin jilbab cokelat yang dipadu baju pramuka, seolah dirasanya  berantakan padahal engga sama sekali.

Aku menghentikan diri segera, “Duh, Rul, aku engga mau ikutan sambut beliau.”

“Ih, kenapa?”

“Kan, yang wajib sambut cuma santri putra saja.”

Dia berdecak pelan, “Huu, kamu engga seru!” tapi penolakanku engga bikin semangat Nurul surut, dia tetap ikut lari-lari sama beberapa santri putri lain buat ambil barisan paling depan di area Masjid buat lihat kedatangan Gus Nuril.

Aku sudah sepakat sama Geng Micin buat engga ikutan heboh-heboh sambut beliau kayak yang lain, apalagi ambil serobot antrian baris di depan Masjid cuma buat lihat wajah Gus Nuril.

Kita sih mau tampil cool, engga terpengaruh sama yang lain.

Dengan wajah santai, kita berempat sepakat buat milih pergi di dapur lebih dulu ketemu Ustazah Windy, daripada capek berdiri di luar, panas sambil nunggu lama kedatangan Gus Nuril serta rombongan yang mungkin engga bisa kita lihat juga wajahnya karena beliau keburu masuk ke Masjid.

Tapi, rencana cuma rencana, aku sontak menarik ketiganya yang semangat banget buat minta makan, alasannya karena dari jauh sudah terlihat wajah Ustaz Ahsan yang lagi berdiri di depan pintu. Bukan apa-apa, aku cuma takut disuruh kembali hapalan—yang belum juga kuhapal.

“Eh, ki-kita mending ikutan yang lain!” Kakiku menggiring ketiga untuk puter arah. Protesan mereka terbungkam kala ketiganya sudah kutarik menuju area masjid.

Engga apa kepanasan juga, asal jangan dulu ketemu Ustaz Ahsan! Plis, aku belum siap!

Jadilah kita berempat di sini. Berdiri di bawah pohon biar adem sambil lirik-lirik ke arah gerbang. Dengan wajah setenang mungkin, kita berempat ikut berbaur agak jauh dari Masjid.

Kalau ketahuan Nurul, bisa diketawain sampai puas aku sama dia gara-gara ikutan ngintip kedatangan Gus Nuril juga. Huf, semoga kami engga ketemu.

Kami berempat ikutan nimbrung karena menghormati kedatangan beliau seperti yang lain. Cuma menghormati, ya, bukan ikutan cari perhatian.

Kalau aku, hitung-hitung sekalian ngetest saja, apa mataku ini pas nanti lihat Gus Nuril datang, masih bisa berkedip atau engga seperti apa yang dibilang orang-orang.  

“Dys, masih belum datang?” tepuk Syahlaa di sampingku.

Aku bagian pemantau gerbang, mataku masih setia menanti pakai teropong dari gulungan kertas hapalan mufradat, gelengan kepala  sontak kuberi sebagai jawaban ke Syahlaa

“Udahlah, jangan dilihatin terus,” Meda menimpali, dia sendiri yang paling santai sambil bersedekap tangan, “Gus Nuril, ya, mirip Gus Emil versi muda.”

“Oh, berarti Gus Emil udah tua, ya, Med?” Hafshah bertanya sambil mengerjabkan mata. 

Spontan kami menahan tawa sambil nutup mulut, mata kami melirik kanan-kiri, takut tiba-tiba beliau datang. Atau Ustazah Windy yang negur. Kan, engga lucu.

“Bukan!” Sontak Meda menaruh jari di depan bibir, dia merendahkan suaranya, “maksudnya Gus Emil itu lebih dewasa, dan Gus Nuril itu—ah, udahlah, nanti lihat saja,” tangannya terjulur ke depan agar Hafshah kembali menatap ke arah gerbang. 

“Lagian aku sama Dypsi pengin tahu aja sama wajah Gus Nuril, kan kita santri pindahan,” Syahlaa di sampingku menyenggol lengan, “Iya, engga?

“Sekalian kita cuma mau test mata, masih bisa ngedip atau engga,” tambahku meyakinkan tanpa memandang ketiga di belakang sana.

Meda sudah engga lagi protes, dia cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah kami.

Beberapa kali aku dengar Meda banyak menghasut kami buat engga penasaran sama Gus Nuril sampai menyuarakan Geng Micin #AntiGusNuril, aku dan yang lain menggangguk tapi mata kami masih saja menanti rombongan datang.

Suasana di depan kami malah terlihat lebih heboh, mereka bahkan sudah seperti terkagum-kagum meski belum lihat wajah Gus Nuril yang datang. Hadeh.

Kami berempat masih sibuk mengintip dari jarak yang lumayan jauh dari santri putri lain, semoga saja engga ada yang mendapati posisi kami yang lagi seperti ini. Atau ulet-ulet di pohon jangan dulu pada turun sebelum kedatangan Gus Nuril dan rombongan.

Engga lama, rombongan tiba. Ada dua mobil yang datang dan masuk ke area Masjid. Mata kami spontan menelisik gerak-gerik di depan sana, dari mobil lincah berparkir sampai pintu dibuka.

Spontan aku menahan napas karena melihat sosok yang baru pertama kali kutemui turun, engga bisa kulihat jelas wajahnya, karena posisi kami yang jauh. Tapi, aku bisa menyimpulkan bahwa ia memang seperti yang dibicarakan orang-orang.

Pandanganku tertuju pada jaket yang ia gunakan. Sepertinya itu jaket identitas status mahasiswanya. Di sisi kanan dan kirinya, terdapat dua lambang bendera yang tertempel di sana. Bendera Indonesia dan Turki. 

Turki... rasanya kedatangan Gus Nuril membuat mimpiku terasa semakin nyata.

“Dys!” tegur Syahlaa dengan mata menyala, “Ngelamun terus, gimana wajahnya?”

“Eh, iya-iya!” Duh, gara-gara fokus sama jaketnya.

Tanganku kembali menggunakan gulungan kertas untuk melihat wajah Gus Nuril dengan jelas, tapi ternyata rombongan sudah masuk ke dalam Masjid. Kami tertinggal.

“Yah, La, beliau udah masuk.”

Syahlaa cuma menipiskan bibir, menatapku jengkel. Aku meringis pelan sambil minta maaf. Meda di belakang kami terbahak puas sambil terus menyerukan hasutannya untuk engga lagi penasaran sama Gus Nuril.

Suara deheman kencang menghentikan tawa Meda, dia diam memantung sambil melirik ke belakang memberi kode. Mataku dan Syahlaa menatap di balik punggungnya.

Kehadiran Ustaz Ahsan terlihat. Beliau sudah berdecak pinggang sambil tersenyum penuh arti karena melihat kami berempat yang seperti tertangkap basah karena ketahuan mengintip.

Engga ada cara lain, aku menarik ketiganya ambil ancang-ancang, “Kabuuuur!”

“Berani kabur kalian?!”

____

Euforia penyambutan Gus Nuril sepertinya memang belum selesai. Bahkan kini beberapa kalangan luar ramai berdatangan, seperti tamu-tamu Kyai. Aku engga tahu pasti, sih, tapi terlihat dari jejeran parkir mobilnya sepertinya benar.

Sore ini aku sama Nurul bahkan diberitahu oleh Ustaz Ahmad bahwa acara eskul exhibition diundur pekan depan, karena semuanya mesti menyambut kehadiran Gus Nuril yang engga mungkin diabaikan begitu saja.

Baiklah, lagian aku juga masih belum siap ketemu apalagi berdebat sama seseorang yang punya ide konsep lain di acara kami. Engga perlu kusebut namanya, kan?

“Mungkin, besok bisa kita agendakan buat rapat ulang tuh, Rul,” saranku.

Kakiku beriringan jalan dengan Nurul yang lagi serius memikirkan sesuatu. Tumben, biasanya dia paling heboh.

Kami berdua baru saja habis dari wisma Ustaz, ketemu Ustaz Ahmad untuk konsul acara yang diundur, beliau meminta kami untuk lebih mematangkan acara dan kami setuju.

“Kamu mikirin apa, sih?” Engga biasanya dia begitu.

“Gus Nuril,” celetuknya tiba-tiba, bibirnya sudah senyam-senyum seperti biasa, “Aku lagi mikir Kenapa nama kita bisa hampir mirip.”

“Hah?” Aku memandangnya engga percaya. Serius dia lagi mikirin itu?  Jangan bilang dia mikirin hal lain.

Nurul terus menceritakan kekagumannya sama Gus Nuril, sampai mendeskripsikan sosok Gus Nuril yang dia lihat jelas tadi pagi. Ya, gimana engga, Nurul baris paling depan di antrian tadi. Aku yang mendengarnya, engga banyak tanggap cuma bisa geleng kepala.

“Jangan-jangan kami,” dia menghentikan ucapannya tiba-tiba, senyumnya masih saja malu-malu. Tuh 'kan.  Aku memutar bola mata melihat tingkahnya.

“Ka-kami jo—” belum sempat dia melanjutkan, tanganku sudah membekap mulutnya. Tahu sekali dia mau ngomong apa. Gawat kalau sampai dilanjutkan.

Nurul berontak sesaat sebelum ia memayunkan bibir saat aku melepasnya.

“Jahat kamu, Dys!” Aku tertawa pelan mendengar gerutuan kesalnya. Suruh siapa berpikir macam-macam. Mengkhayal yang engga-engga.

Tawaku berhenti mendadak saat mataku engga sengaja menatap tiga orang laki-laki yang membawa nampan berisi buah, masalahnya kalau cuma santri biasa, wajahku engga mungkin setegang ini.

Kulihat dia menyadari dari jauh kehadiran kami yang lagi jalan.  Wajahnya flat, datar, engga ada senyum sama sekali.

Kenapa juga harus ketemu di sini tiba-tiba. Ish.

Aku pura-pura biasa saja, meski kakiku rasanya pengin lari dari sini, apalagi Nurul yang membalas tatapannya. Padahal baru saja, Nurul ngomongin Gus Nuril, dia engga inget apa tadi terkagum-kagum sampai sekarang fokusnya teralihkan.

“Eh, Dys, Ghufta jalan ke arah sini,” cicit Nurul. Dia sudah engga bisa diam macam ulet bulu. Apalagi beberapa kali dia berdehem pelan seolah menetralkan suara.

Aku membelalakan mata mendengarnya. Ngapain juga dia mendekat? Mataku berkeliling, suasana di tengah lapangan memang sepi, tapi siapa tahu ada yang melihat kami dari jauh, kan?

“Rul, aku duluan saja!”

“Ih, tunggu kenapa! Dia kayaknya bawa buah tau” Tangan Nurul mengapit lenganku kuat.

Tunggu-tunggu, buah katanya? Jangan-jangan ini seperti apa yang kubayangkan dulu, dia mau balas timpukan mangga itu, pakai buah lain?

Aku berontak hebat, mataku engga berani menatap ke depan, gawat juga kalau beneran terjadi.

Tanganku berusaha terlepas dari apitan Nurul. Berhasil. Segera aku berlari, engga peduli sama suara Nurul yang sudah memanggil namaku berulang kali dari belakang.

Duh, semoga Nurul engga kena balasan timpukan buah dari Ghufta gara-gara aku kabur.

Napasku tersengal, aku sudah menjauh dari mereka. Aman. Kulihat Nurul di belakang sana mengejarku sambil bawa beberapa buah, “Dys, kenapa kamu lari? Ghufta cuma mau kasih buah ke kita tau!”

Apa katanya? Jelas banget, wajah Ghufta cuek gitu, engga mungkin dia berubah jadi baik kasih kita buah. Nurul pasti terhasut sama kebaikan dia yang pura-pura.

“Nih, buah dari sisa parcel kedatangan Gus Nuril,” sodor Nurul dengan memberi empat buah salak padaku.

Matanya mendelik tajam, “kamu sih, harusnya aku dapat banyak tau!”

Aku menggeleng tegas, menolak tawaran Nurul untuk mengambil buah itu. Jangan-jangan itu kode kalau dia mau ganti nimpuk aku pakai salak. I can't even imagine.

“Engga mau, buat kamu aja!” sodorku kembali ke arah Nurul.

Kulihat gadis itu malah menerima dengan suka cita sambil mengucapkan terima kasih.

Plis ya, Aku engga bisa terhasut sama buah salak!

____

Suara lirih Nyai melalui speaker yang terdengar dari arah Mushola menyadarkan kami bahwa sedang diadakannya pengajian. Tapi, kami berempat engga bisa ikut karena lagi dapat tamu bulanan. Pas banget berempat, engga janjian juga, mungkin karena sudah sahabatan jadi masalah tamu pun datangnya malah kompak.

“Aku masih penasaran sama muka Gus Nuril,” Syahlaa berbicara di sampingku sambil memanyukan bibir.

Aku tertawa pelan melihatnya, “Aku juga sih, tadi engga fokus lihatnya.”

“Ya ampun, beliau ya mirip Gus Emil,” Meda menghentikan ucapan Hafshah yang hendak berbicara, “sama-sama anak Kyai,” jelasnya.

“Tapi, kenapa yang lain pada heboh, ya?” Hafshah menimpali setelah mengerti ucapan Meda, dia engga berani lagi menyela. “Apa kita kurang dekat lihatnya?”

Aku kompak mengendikan bahu sama Syahlaa. Setelah penyambutannya pagi tadi, suasana santri sudah engga ramai, meski ada beberapa dari mereka yang terlihat sengaja bulak-balik bantu-bantu di dapur cuma biar ngelihat Gus Nuril.

Kami sendiri yang belum ketemu jelas, malah belum lagi ketemu beliau. Engga mau tahu juga sih sebenarnya, tapi ya penasaran juga kenapa melihat yang lain sepertinya excited.

“Dia cuma engga tersentuh, dan ya, mungkin karena dia seorang Gus. Tapi, kita tetap harus #AntiGusNuril,” Meda mengatakan dengan lugas, kami bertiga mengangguk mengerti.

“Beliau dingin gitu, ya?” celetuk Syahlaa.

“Macam beruang kutub?” timpalku yang dihadiahi tawa oleh mereka.

“Dia itu biasa saja. Cuma santri-santri di sini saja yang heboh. Padahal dia itu ya kayak laki-laki biasa, dan ya—”

Aku engga lagi dengar ocehan Meda karena
Hafshah menepuk bahuku secara tiba-tiba, mataku meliriknya seolah memberi kode. Kenapa, sih?

Syahlaa juga turut bingung menatap Hafshah dengan pandangan seolah memberi arti 'kenapa?'

Aku menyahut, “kamu kenapa Haf? Lihat hantu?”

Gadis mungil itu menggeleng, bibirnya seolah terkunci rapat, “i-ituuu....”

Aku sama Syahlaa kompak melihat arah yang dia maksud, spontan kami membulatkan mata.
Tanganku terjulur menepuk tangan Meda biar dia berhenti berceloteh.

Glek! Kenapa tiba-tiba beruang—eh Gus Nuril sudah berdiri di belakang kami? Dia engga dengar 'kan apa yang daritadi kami bicarakan?

🍂🍂🍂

Gus Nuril dengar ngga kira-kira?😂

Terima kasih sudah membaca cerita Gladys. Sampai bertemu di part 11 :)

Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah, ya.

If you find something from this story, tag me on instagram (@) Baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.

Salam, Magicilicious

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top