1 | Lembar Pertama
Bismillahirrahmanirrahim
“Aku telah melepas segala kenangan dalam tempat persinggahan. Membuka pintu dari bayangan yang mengikuti—tanpa tersisa, tanpa kuberi detaknya lagi.”
🍂🍂🍂
The book of you and I
MUSIM panas di Kota İzmir, menjadi daya tarik bagi para turis atau pun masyarakatnya sendiri. Setelah melewati musim dingin, sepertinya orang-orang di sini sudah sangat menantikan matahari yang hadir tanpa malu-malu. Biasanya, musim panas ini menjadi musim yang diminati banyak pengunjung untuk menikmati obyek wisata.
Aku masih saja selalu terkagum pada keindahan İzmir sebagai kota terbesar ketiga di Türki. Mengagumi segala keindahan ciptaan-Nya membuatku semakin istiqamah. Betapa besarnya kuasa Allah Sang Mana Pencipta seluruh alam. Rasa syukurku mengudara, menyaksikan langsung keindahan semesta yang tersaji, seperti dalam ayat Al-Qur'an:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Penurunan jumlah pendatang memang sempat terjadi, namun setelah merujuk kehidupan baru yang sesuai dengan standar WHO dan diterapkan oleh Pemerintah İzmir, para turis masih bisa datang. Dengan catatan, mematuhi aturan yang ketat.
Teruntuk İzmir yang menjadi salah satu provinsi di Türki, kota dekat pantai ini memiliki tradisi untuk menyambut musim panas. Pemerintah kota İzmir biasanya menyediakan kapal ferry menuju pulau Yassica dari pelabuan kota Karşıyaka dan Uçuklar.
Kenapa aku bisa tahu? Karena informasi itu sudah sangat umum bagi kalangan mahasiswa. Bonusnya, kita dapat potongan harga bermodalkan kartu pelajar. Tapi jujur, selama di sini, aku belum pernah liburan jauh. Padahal banyak tempat di Türki yang sudah masuk waiting list-ku. Sayangnya, semuanya belum kuberi tanda ceklis.
Kupandangi semua hal yang tersaji di depanku. Beberapa mahasiswa terlihat saling menyapa. Wajah-wajah perpaduan Timur dan Barat terlihat. Jelas, karena Turki menjadi negara yang diapit dua benua, Eropa dan Asia.
Mereka memenuhi satu tempat di tengah taman yang dikeliling pepohonan besar, beberapa lagi duduk di kursi berjarak yang disediakan, saling mengobrol dengan bahasa Türki.
Aku selalu kagum melihat wajah mereka. Selain itu, perawakan tubuhnya yang tinggi selalu membuatku—yang bantat—ini minder. Kulitnya bukan lagi mulus, kurasa nyamuk saja akan meluncur sebelum mengigit. Engga terbayang kalau dapat jodoh kewarganegaraan di sini, anakku akan seganteng dan secantik apa nantinya. Eh.
Aku menampaki tangga menuju ruang Profesor yang akan kutemui hari ini. Sedikit berlari mengejar waktu dari janji temu yang telah kami sepakati. Namun, tetap saja pikiranku terfokus pada kejadian tadi di stasiun.
Semuanya masih menjadi sebuah tanda tanya bagiku tentang siapa pengirim surat itu. Jika dilihat dari jenis bahasa yang ia gunakan, bisa kutebak pengirimnya berasal dari Negara yang sama sepertiku, Indonesia.
But, I still need a hint! Huf.
“Merhaba, Gladys!” Seorang gadis berkacamata menyapa di depanku dengan melambaikan tangan. Ucapannya sedikit keras karena tertutup masker. Jilbab hijau panjangnya sedikit tertiup angin kala langkahnya mendekat ke arahku.
“Merhaba, Layla!” tukasku dengan sama cerianya. Aku sempat melirik arloji di pergelangan tangan, merasa aneh karena Layla justru bersikap santai padahal kami berdua sudah ada janji bertemu dengan Profesor yang sama.
“Kenapa kamu di luar?” Aku bertanya saat Layla sudah berjalan mendekat.
Layla menatapku dari samping, “Kamu engga baca info di grup? Prof Hüseyin Kerim, beliau engga masuk hari ini.” Aku sedikit bernapas lega mendengarnya, hampir saja aku terlambat. Fyuh.
“Tapi, kenapa kamu datang telat? Bukan kamu banget dateng lima menit sebelum pertemuan dimulai,” Layla cenderung banyak khawatir, matanya sekarang bahkan sudah memeriksaku dari bawah sampai atas. “Kamu engga apa-apa, kan?”
Aku menyunggikan senyum di balik masker yang kugunakan. “Engga. Tadi aku cuma tertinggal jadwal kereta.” Engga sepenuhnya aku berbohong, kan? Meski sebenarnya semua karena insiden surat tadi, tapi mana mungkin aku mengatakan alasan itu pada Layla. Bisa-bisa, kehebohannya bertambah.
Gadis itu ber-oh pelan, “Aku percaya, kecuali kalau kamu adalah dia,” Layla menunjuk ke arah depan dengan dagunya.
Aku membalik diri, menatap seorang laki-laki memakai jaket cokelat, lengkap dengan masker dan tas punggung yang di sampirkan di bahu.
“Kamu ngomongin saya?” Azzam namanya. Dari kejauhan laki-laki itu sudah menatap Layla sengit.
Aku tertawa pelan. Dua sahabat yang kutemui ini memang memiliki sifat yang berbeda, karena itu pula tak jarang Layla dan Azzam lebih sering berbeda pendapat, saling mengusili, namun tetap kompak jika terkait urusan makanan. Kukira, urusan perut selalu tidak akan menyulitkan semua orang. Benar, bukan? Apalagi kalau gratis.
Laki-laki itu beralih menatapku,“Merhaba, Gladys, Nasılsın?” ucapnya, menanyakan kabar padaku. Kurasa, selain wajahnya, orang-orang akan semakin percaya jika Azzam bukan mahasiswa rantau seperti aku dan Layla, karena logat ucapan bahasa Türkinya yang tergolong fasih.
“Merhaba, İyi. Alhamdulillah.” Aku mengatakan baik sembari mengangguk menatapnya. Lalu mengulurkan jari telunjuk di hadapannya, menghadang ucapannya yang akan terus bertanya dengan bahasa ini. “Zam, kamu tahu gimana kemampuan bahasa Turkiku.” Ia tertawa mendengar protesku.
Begini, meski sudah lama menetap di Kota İzmir, tapi kurasa bahasa Türki menjadi salah satu bahasa yang sulit untuk diucapkan, intonasinya bahkan kata per huruf termasuk dalam tingkat medium yang meski dipelajari lebih detail. Tapi, sedikit-sedikit aku cukup mengerti maksud ucapan mereka.
Kami bertiga bertemu saat menjadi mahasiswa baru dan bergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Türki. Sejak tahu bahwa kami masuk dalam satu Universitas dan jurusan yang sama, pertemuan di antara kami semakin intens.
Apalagi, aku dan Layla tinggal di satu asrama, sedangkan Azzam tinggal terpisah di asrama putra. Asrama disediakan bagi mahasiswa penerima beasiswa. Seiring waktu, kami semakin mengenal satu sama lain, tak jarang keduanya bercerita tentang keluarganya atau bahkan perjuangan mereka untuk bisa sampai sini.
“Aku bahkan sudah bosen denger dia marah-marah pakai bahasa ini,” Layla memangku tangannya. Di antara kami bertiga, Azzam memang yang paling jago dengan bahasa ini.
“Kalau engga ada saya, kamu engga bisa pesan makanan,” tukas Azzam tak mau kalah. Aku menghentikan keduanya sebelum peperangan terjadi. Tapi, yang dikatakan Azzam benar, kalau dia tidak ada, aku dan Layla sedikit kesusahan, apalagi kalau itu di tempat umum. Maklum, amatir.
Meski terlihat saling tak suka, namun aku tahu bagaimana sebenarnya hati mereka. Di balik tindakan Azzam yang cuek, tak jarang ia lebih sering membelikan makanan kesukaan Layla. Begitu pun Layla, meski terlihat tak suka, tapi gadis itu yang paling sering menanyakan kehadiran Azzam padaku. Jangan tanya posisiku di mana.
Keduanya selalu mengingatkanku pada sahabatku. Tiga orang yang berbeda karakter namun justru membuatku selalu rindu untuk kembali bertemu dengan mereka. Kehadiran mereka berdua menjadi pengisi hari-hari kosong saat aku sulit untuk berinteraksi dengan ketiganya di Indonesia, jelas karena waktu dan jarak yang memisahkan kami.
Tanganku menarik Layla, juga menatap Azzam di sebrang sana. “Gimana kalau kita makan?” aku mengalihkan, tahu sekali jurus ampuh saat keduanya sedang seperti ini.
Aku melirik Layla, gadis itu mengangguk malu-malu bertanda setuju. Sedangkan Azzam, tak perlu mengucapkan kata setuju, satu ucapannya menyebut tempat makan favorite kami sudah menjadi kalimat penerimaan baginya, “Bornova Cafe.”
Layla menyusul langkah Azzam, membuatku mengembangkan senyum melihat tingkah mereka yang selalu di luar dugaan.
Sebuah dering ponsel menghentikan langkahku untuk menyusul keduanya, layar persegi itu menunjukan satu pesan pemberitahuan yang membuat senyumku surut.
'Reuni Akbar Alumni Pondok Pesantren Darul Akhyar.'
Aku menipiskan bibir, membaca sebuah pesan yang berisikan informasi acara, jelas tercantum di sana waktu dan tempat yang akan terselenggara. Juga pemberitahuan reuni lewat surat resmi yang sudah dikirim ke alamat masing-masing.
Jika boleh berkata jujur, aku sangat merindukan tempat itu. Empat tahun lamanya, aku belum kembali ke tempat bernaung yang memberikan banyak pelajaran, bahkan tempat yang menghantarkan sampai aku bisa melanjutkan pendidikan di Negara ini. Ya, Pondok Pesantren Darul Akhyar.
Beberapa pesan lain bermunculan, bertanya ketersediaan kami untuk menghadiri acara tersebut, diselingi dengan menanyakan kabar dan kegiatan setelah kelulusan. Kalimat-kalimat rindu semakin bermunculan kala tiga sahabatku sudah saling menimpali, juga para Alumni lain yang menjawab kesanggupan mereka menghadiri acara, dan aku sendiri belum menyanggupinya.
Bagaimana ini? Setelah surat itu lalu kini informasi reuni. Kenapa keduanya muncul secara mendadak dan mengingatkanku pada masa lalu. Bukan, bukan aku tidak ingin menghadiri acara itu, hanya saja kalimat ajakan pulang menjadi hal yang belum ingin kulakukan. Kembali pulang sama halnya aku akan membuka luka lama yang masih saja belum terobati.
Aku menutup aplikasi pesan, belum juga menjawab ketersediaan untuk hadir di acara reuni.
_____
“Pardon.” Aku mengatakan kata maaf kala tak sengaja menabrak seseorang. Layla di sampingku bahkan terkejut. Salahku tak menatap jalanan sekitar. Tubuhku bahkan limbung dan membuat sebuah buku yang sedang kupegang jatuh. Isinya berhamburan, lembaran kertas dengan beberapa foto polaroid juga surat yang baru kutemukan tadi ikut keluar dari dalamnya.
Perempuan dengan wajah khas Timur itu hendak membantu, aku menolaknya tegas. “It's oke.”Jelas, ini salahku, karena memikirkan slide kenangan pada waktu yang tidak tepat, lagipula ini hal sepele yang bisa kuatasi sendiri.
Azzam membantu memberi pengertian padanya dengan bahasa Türki yang fasih. Untunglah semua bisa teratasi.
Aku memungut semua foto yang tercecer, Layla di sampingku membantu mengambil lembaran kertas, “Ini apa, Dys?” dan surat dari pengirim yang masih kupertanyakan.
“Bukan apa-apa,” aku merebutnya segera, memasukan kembali ke dalam buku dan menyimpannya di tas.
“Itu ... surat dari Indonesia?” Layla bertanya lirih. Sepertinya ia sempat melihat isi tulisan dengan bahasa yang kami kenali.
Azzam di depan ikut menyelidik, “Itu surat pertamamu dari Indonesia? Siapa yang mengirimnya?”
Keduanya menatapku dengan penuh minat. Mereka tahu, aku engga pernah mendapat surat dari siapa pun terutama rekan dari Indonesia. Karena aku lebih mengalihkan komunikasi pada pesan elektronik yang mudah kujangkau.
Bagi para pendatang, surat bisa mengartikan sebagai keinginan pengirim untuk benar-benar menyampaikan kerinduan.
Mau engga mau aku mengangguk. “Tapi, aku engga tahu siapa pengirimnya.” Aku menatap keduanya yang menautkan alis, “surat tanpa nama itu, aku dapatkan tadi pagi ini di stasiun. Itu pula yang membuat aku hampir terlambat.”
Layla sudah membulatkan mata, gadis itu mendekatiku. Azzam di sebrang sana bahkan sudah hendak mengeluarkan rentetan pertanyaan lain. Tapi, aku segera menghentikannya. “Aku akan cerita, nanti.” Sengaja mengulur waktu agar mempersipakan diri.
“Gimana kalau kita melanjutkan makan?” Aku sengaja memegang perut, “Tadi pagi aku bahkan belum sempat sarapan.”
Azzam menatapku tidak percaya. Wajah Layla bahkan diliputi rasa penasaran, namun ia tetap menarik lenganku untuk melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. “Oke. Tapi kamu punya satu hutang cerita penting sama kita!” Aku meringis kecil mendengarnya. Namun tetap menyetujui.
“Maafkan aku,” ucapku dalam hati. Kalimat maaf yang tidak akan cukup rasanya, karena bukan satu cerita itu saja, bahkan puluhan cerita lain masih saja aku pendam sendirian.
_____
Layla di sampingku tidak henti menatap dengan mengulum senyum, tangannya memangku dagu. “Jangan-jangan kamu punya secret admirer?” Alisnya bahkan naik turun seperti sengaja menggoda.
Dugaan yang engga mungkin terjadi. Sejak kapan aku punya pengagum rahasia? Rasanya, minatku tak sampai sana. Aku belum memikirkan hal-hal yang berbaur percintaan, bagaimana mungkin ada seseorang yang suka padaku?
Kami sudah duduk di taman asrama. Tempatnya cukup nyaman, ada beberapa skat dalam satu tempat yang terbuat dari kayu. Duduknya lesehan dan ada meja di bagian tengah. Kalau di Indonesia, gambarannya seperti gazebo.
Biasanya kami makan di salah satu cafe bernama Bornova, yang menyajikan banyak makanan khas Turki. Selain pariwisata, stasiun, dan kampus, physical distancing juga berlaku pada area tempat makan.
Pembatasan jumlah pengunjung untuk makan di tempat berlaku di tempat itu, karena kursi yang disediakan tidak begitu banyak dan berjarak. Jika melebihi kapasitas, maka pemilik cafe tak segan untuk menolak pesanan atau makanan harus dibawa pulang.
Karena itu, kami memilih take a way. Tidak ingin mengambil risiko, meski kami yakin protokol kesehatan tetap dipatuhi. Tapi, makan di taman yang tersedia di asrama menjadi pilihan yang tepat. Setidaknya, menjauhi tempat keramaian.
Aku menggeleng ringan, membuang hal-hal yang tidak masuk akal. Isi surat jelas menunjukkan tentang pilihan hidupku saat ini. Surat tanpa nama itu sudah mereka baca, tentu saja menimbulkan respon yang menuntut penjelasan.
“Jangan ngarang deh, Lay!” Itu suara Azzam, laki-laki dengan tinggi seratus delapan puluh itu menatapnya jengah, “Isi surat itu jelas-jelas lebih mengarah pada masa lalu.” Nah, aku setuju dengannya.
Ia menatapku dengan menaikan satu alisnya, “Atau mungkin surat itu dikirim dari orang yang pernah terlibat sama masa lalumu, Dys?”
Aku terdiam gugup. Jika berbicara tentang masa lalu, rasanya aku ingin menghindar atau bahkan lebih baik diam tanpa penjelasan. Gimana, ya? Pembahasan ini cukup sensitif bagiku.
Kami memesan baklava—makanan yang terdiri dari kacang walnut atau pistache yang dicincang dan diberi pemanis, seperti gula atau madu, dan dibungkus oleh roti tipis. Serta teh hangat yang disebut çay, menjadi pelengkap makan. Dua jenis makanan yang kami pesan sudah siap disantap. Tapi, tak satu pun di antara kami menyentuhnya.
“Aku juga benar-benar penasaran dengan surat itu, Dys. Juga tentang masa lalumu, tentang buku yang selalu kamu bawa.” Gadis berkacamata itu menatapku dengan perasaan bersalah, “Maaf, Dys. Aku selalu pengin bertanya, tapi rasanya aku engga punya keberanian untuk mengatakannya.”
Pernyataan Layla seperti alat yang mendobrak kerasnya tameng hatiku. Aku jadi teringat bagaimana kami awalnya bertemu sebelum dipertemukan kembali saat menjadi anggota PPI. Sebuah buku yang selalu kubawa engga sengaja tertingal di area masjid, dan untung saja Layla menemukannya. Bahkan setelah empat tahun mengenal, aku engga pernah sekali pun bercerita tentang buku itu padanya.
“Tiap kalimatnya, seperti meminta sesuatu.” Azzam kembali menatapku, “permintaan untuk pulang?”
Rentetan pertanyaan mereka masih belum mampu kujawab, semuanya semakin terasa bercokol di hatiku. Menimbulkan kedilemaan yang panjang. Apa sudah saatnya aku menceritakan pada mereka? Karena sejujurnya, selama hampir empat tahun yang kami lewati, engga pernah sedikit pun aku menceritakan tentang latar belakang termasuk keluargaku. Mereka hanya tahu asalku dari Ibu kota dan caraku hingga bisa sampai di tahap ini. Padahal tanpa diminta, mereka selalu menceritakan tentang apa pun—sampai hal kecil.
“Dys, sorry, kayaknya pertanyaan kita terlalu mengarah ke privasi. Engga apa-apa kalau kamu engga mau cerita.” Layla sudah merangkulku, “gimana kalau kita mulai makan?”
Aku tahu itu hanya pengalihan. Azzam yang duduk di sebrang meja pun, mau engga mau mengikuti ucapan Layla, ia mulai memotong baklava menjadi bagian kecil. “Benar, engga perlu dipikirkan. Surat itu mungkin salah alamat,” tambahnya.
Aku tahu, surat itu engga akan salah alamat. Pengirimnya pasti sudah tahu aku sering ke kampus lewat jalur stasiun. Tambahannya, di akhir kalimat surat terselip namaku. It was just a mistake?
“Aku mau jujur,” ucapan itu berhasil menghentikan pergerakan mereka. Entah keberanian dari mana, aku menatap keduanya yang masih menunggu penjelasanku. “Maaf karena selama ini aku selalu menutup diri.”
Azzam menatap lurus, Layla kembali merangkumku. “Dys, jangan dipaksa. Kita ngerti.”
“Ay,” aku menatap Layla, “Kamu selalu baik. Bercerita tentang bagaimana keluargamu, keuslian Abangmu. Bagaimana kamu bisa sampai sini dengan mengikuti les bahasa di beberapa tempat, bahkan sampai cerita apa makanan kesukaanmu,” kulihat Layla menatapku haru, “hal-hal kecil selalu kamu ceritakan, dan aku masih mengingatnya.”
Kini mataku menatap Azzam, “Kamu juga, selalu jahil sama Layla, tapi menjadi yang paling dewasa membuat keputusan di antara kami. Selalu bercerita tentang bagaimana pandangan orang yang selalu menatapmu sebelah mata karena semua yang kamu miliki, bagaimana kamu menjadi sosok mandiri meski memiliki latar belakang keluarga yang memumpuni,” laki-laki itu tersenyum tipis mendengarnya.
“Kalian berdua selalu menceritakan semuanya.” Aku menatap keduanya bergantian.
“Bukan, bukan maksudku buat engga menjadi pribadi yang terbuka sama kalian, hanya saja aku bingung. Cerita mana yang ingin kujelaskan, sedangkan rasanya aku hampir engga pernah merasakan apa yang kalian rasakan.” Aku tertunduk, meremas jari.
Kembali menceritakan kenangan yang sudah tertutup rapat itu terasa sangat berat, aku tahu itu. Tapi, tidak menceritakan masalah pada orang dan memendamnya sendiri, jauh terasa lebih berat.
Aku kembali mengangkat wajah, “Aku marah pada pengirim surat itu, dia mengingatkanku pada kenangan yang engga ingin kuceritakan. Tapi, kalau engga ada surat ini, mungkin entah sampai kapan aku akan memendamnya sendiri.”
Usapan lembut di bahu kananku terasa, Layla menipiskan bibir, “Kamu bisa cerita apa pun sama kita, Dys. Kita siap mendengarkan, siap memberi masukan,” tukasnya.
Aku percaya mereka, dua orang yang memang memiliki sifat dan kepribadian yang baik.
“Semua berasal dari buku ini,” buku bersampul cokelat dengan gantungan berbentuk jam dan sebuah kata 'learn' yang berarti mempelajari, menjadi buku yang selalu setia kubawa.
Kini benda itu sudah berada di atas meja. “Aku akan menceritakan bagian awal tentang keluargaku, sampai akhirnya aku bisa sampai di sini.”
Azzam mengangguk yakin menatapku, Layla mengeluarkan kalimat penguat agar aku tetap bisa bercerita tanpa memaksakan diri.
Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri untuk mulai membuka lembar pertama yang mengingatkanku pada keluarga—atau bukan, karena rasanya engga seperti yang kalian bayangkan.
======
Nb.
Semoga nanti—kita—bisa menikmati baklava langsung di negaranya. Sambil ngerasain musim panas, aamiin. Sekarang liat futunya aja dulu, ehe.
🍂🍂🍂
Hallo. Assalamu'alaikum
Terima kasih sudah membaca part 1 cerita Gladys. Tolong ingatkan aku ketika menemukan bagian yang salah, ya.
Oh ya, ada beberapa hal yang perlu diingat dalam cerita ini:
1. Aku /plak😂
2. Cerita ini alurnya maju-mundur.
3. Jangan lupa masukan ke library & tinggalkan jejak.
______
Menurut kalian, keluarga seperti apa yang Gladys rasakan?
______
If you find something from this story, tag me on instagram: (@) baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject
_____
Sampai bertemu di part 2 :)
Salam, Magicilicious
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top