9. Siapa Remaja Itu?
༺ღ༒ 𝑯𝒂𝒑𝒑𝒚 𝑹𝒆𝒂𝒅𝒊𝒏𝒈 ༒ღ༻
.
.
.
.
.
𝐓𝐚𝐩...
𝐓𝐚𝐩...
𝐓𝐚𝐩...
Pada suatu hari, Marvel terlihat sedang berjalan terburu-buru di lorong perusahaannya, ia lupa kalau hari ini Nenek dari pihak Ibunya datang berkunjung ke rumah, Neneknya berkunjung hari ini karena hari ini adalah hari Sabtu, hari libur yang ditetapkan oleh sekolahnya
Itu sebabnya Neneknya datang berkunjung, ia ingin menemui cucu-cucu kesayangannya, tapi Marvel melupakan hal itu dan pergi ke perusahaan pagi pagi sekali, ia saja baru ingat tentang kunjungan Neneknya setelah mendapatkan panggilan dari Malik
Marvel yang melihat Jerry sedang mengobrol dengan resepsionis pun menghampirinya lalu menepuk pundak Jerry
"Ada apa?" Tanya Jerry
"Aku akan pulang lebih awal, soalnya aku baru ingat Nenek akan datang hari ini, dan aku harus sudah sampai rumah sebelum nenek datang, semua berkas yang harus ku kerjakan tolong kau taruh di atas meja kerjaku, aku akan kembali kesini lagi nanti, sampai jumpa Jerry." Setelah mengatakan hal itu Marvel langsung pergi ke luar menuju tempat parkir
Jerry hanya bisa mengerjapkan matanya karena Marvel berbicara dengan terburu-buru, tapi setelah memproses ucapan Marvel ia hanya merespon dengan anggukan kecil walaupun Marvel sudah lebih dulu pergi
Marvel terlihat sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal menurut Marvel sendiri, ia menerobos jalan raya yang pada waktu itu cukup ramai, dan karena aksi menerobos tersebut banyak yang mengklaksoni dirinya walaupun sepertinya ia tidak memperdulikan hal ktu
Setelah sesi mengendarai mobil bak orang kesetanan selesai, akhirnya Marvel sampai di rumahnya dengan sehat walafiat, ya walaupun ia terlambat sebab ada 1 mobil asing yang terparkir di halaman rumahnya
"Shit, aku lupa berganti pakaian sebelum sampai disini." Marvel membenturkan kepalanya ke setir mobil
Setelah beberapa menit Marvel berdiam diri di mobil, pada akhrinya ia turun dari mobil dengan lesu, masa bodoh dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Neneknya tentang kenapa ia menggunakan pakaian kantor
𝐂𝐤𝐥𝐞𝐤...
"Aku pulang." Ucap Marvel dengan lesu
Dirgan yang baru keluar dari dapur pun bertanya kepada Marvel. "Lho kok udah balik? Biasanya balik sore."
"Tadi bang Malik ngehubungin gua, omong omong Nenek kemana?" Tanya Marvel
"Nenek lagi di taman belakang, lu mendingan langsung ke kamar buat ganti baju, gak mungkinkan lu ketemu nenek pke baju begitu." Ucap Dirgan
Marvel menganggukkan kepalanya dan berjalan ke kamarnya, ia bernafas lega karena Neneknya sedang tidak berada di ruang tamu
Dirgan pun mengambil nampan yang terdapat 4 cangkir, 1 teko dan 1 piring cemilan yang berada di atas meja makan lalu membawanya ke taman belakang
Terlihat seorang wanita yang sudah agak keriput sedang mengobrol dengan Malik dan Steven (Kakeknya Marvel) di gazebo, Dirgan pun segera berjalan ke gazebo tersebut
"Nenek, Marvel sudah pulang dan dia sedang berganti pakaian di kamarnya." Dirgan menaruh nampannya di antara mereka
"Benarkah? Bukannya kata kalian berdua Marvel akan kembali sore hari?" Tanya sang Nenek
"Tadi Malik ngehubungin Marvel, Malik padahal bilang kalau gapapa dia pulangnya sore, tapi Malik gak nyangka Marvel langsung pulang." Ucap Malik
"Ya karena Marvel sepertinya gak mau Nenek nunggu lama." Ucap Dirgan
Setelah 20 menit mereka mengobrol, akhirnya Marvel berjalan kearah mereka dengan menggunakan kaos putih polos dan celana pendek hitam selutut, ia memegang secangkir kopi di tangan kanan dan satu toples cookies di tangan kiri
"Halo nenek, kakek, apakah kalian menungguku terlalu lama?" Marvel menyapa dengan senyum lebarnya
Rambut Comma hair milik Marvel membuat Nenek dan Kakeknya terkejut, seingat mereka Marvel sangat memperhatikan rambut panjangnya, bahkan ia sangat menghindari yang namanya mencukur rambut
Tapi sekarang dihadapan mereka bukan lagi seorang remaja laki-laki cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai melainkan remaja tampan dengan potongan rambut comma hair
Terkadang model rambut bisa mempengaruhinya penampilan, jadi ku sarankan pada kalian untuk bijak saat memilih model rambut kalian kedepannya
Neneknya Marvel mengusap wajah Marvel dengan lembut. "Ini beneran cucu nenek kan? Tampan banget, bahkan melebihi kakekmu saat muda." Steven yang mendengar itu langsung tersedak teh
Steven memandang keduanya dengan tatapan cemburu, harusnya HANYA dirinya yang pantas mendapatkan pujian itu dari istrinya bukan cucunya
Sedangkan kedua orang yang ditatap itupun mengabaikan orang tua yang tidak ingat umur itu, mereka berdua terlihat bercengkrama dengan akrab
Malik dan Dirgan yang sepertinya tidak akan mendapatkan script untuk mengobrol di bagian ini pun lebih memilih bermain game tanpa memperdulikan sekitar
"Ohya nek, nama nenek sih siapa? Marvel gak inget nama nenek." Marvel menatap polos neneknya itu
"Kamu lupa?" Tanya sang Nenek
"Aku amnesia nek, aku tahu kalau anda adalah nenek juga karena bang Malik menunjukkan foto nenek." Jawabnya berbohong
Marvel berbohong karena ia tidak perlu menunggu Malik atau Dirgan memberitahunya, sebab ia bisa mencari identitas seseorang dengan mudah, dan Amnesia adalah kebohongan belaka yang ternyata kebohongan itu diperkuat oleh dokter yang merawat Marvel waktu itu
Dirinya beruntung
"Nama nenek adalah Renata Anastasya Delvino née Pendragon, ingat dan jangan lupakan itu." Sang Nenek a.k.a Marvelia
Marvel yang mendengar itu mencatat nama Neneknya di kepalanya, lalu Steven angkat bicara
"Marvel, kakek mau bicara serius denganmu." Ucapan Steven membuat Malik dan Dirgan berhenti bermain game, mereka berdua kepo dengan apa yang ingin kakeknya bicarakan
"Mau bicara apa kek?" Tanya Marvel
"Kok bisa tiba-tiba Delvino Group di jadikan anak perusahaan dari E.H.D Corp." Ucapan Steven membuat Marvelia menatap heran suaminya
"Kenapa kamu menanyai Marvel seperti itu, mana mungkin dia tau tentang urusan perusahaan." Ucap Renata
"Aku memberikan sebagian besar saham yang kupegang padanya sayang, dan sisa yang ku pegang rencananya akan ku berikan pada Malik." Ucap Steven dengan nada lembut
Malik menatap datar kakeknya, ia bingung karena bukannya dia membenci keluarga Pendragon ya, tapi mengapa ia memberikan saham yang ia miliki untuk cucunya yang memegang marga Pendragon sedangkan dia kan punya cucu dari keluarga Mervyn dan Kusuma
"Sahamnya buat Dirgan saja Kek, Malik kan sudah jadi pewarisnya Daddy." Ucap Malik
"Gak, gua gak mau megang saham, lagian gua bakalan dapet saham yang dipegang ayahku." Respon Dirgan
"Sudah sudah, kenapa jadi ribut siapa yang megang saham sih, kakek kan lagi tanya hal penting ke Marvel." Ucap Steven
"Yak, kakek kan yang awalnya ngebahas siapa yang megang saham." Sahut Malik tidak terima
Steven tidak menyahuti ucapan Malik, ia malahan menatap Marvel dengan tatapan yang seolah-olah menunggu jawaban
Marvel menghela nafas pelan, sekali lagi ia harus berbohong pada keluarganya. "Pergerakan perusahaan kakek cuma berada di dalam negeri sedangkan perusahaan saingan kakek sudah menguasai pasar yang ada di negara lain, dari pada ujung ujungnya perusahaan kakek gulung tikar karena kalah saing mendingan ku jadiin anak perusahaan E.H.D Corp aja, kakek seharusnya tidak menganggap perusahaan lain sebagai musuh, setidaknya carilah sekutu yang cukup kuat untuk melebarkan pengaruh perusahaan yang kakek miliki hingga skala internasional, bukannya menikahkan Ibunda dengan Daddy kakek malahan menikahkannya dengan anak dari keluarga Mervyn."
"Daddy dan Ibu kamu itu sepupu, kakek tidak mau mengikuti tradisi lama keluarga kita yang sesat itu, masa sesama saudara menikah." Gerutu Steven
Marvel merotasikan matanya malas, keras kepalanya inilah yang membuat ia malas berdebat dengan kakeknya itu
"Lagian jika kau menjadikan perusahaan kakek menjadi anak perusahaan E.H.D Corp itu artinya kau memberikan saham yang kau pegang pada mereka." Kata Steven
"Kata siapa? Aku tidak perlu memberikan saham yang kumiliki pada mereka, sebab CEO dari E.H.D Corp yang baru adalah ayah baptisku." Ucap Marvel sepenuhnya berbahaya
"Ayah baptis? Kau melakukan pembaptisan?" Tanya Renata
"Iya nek, aku berharap dengan pilihanku yang sekarang hidupku akan lebih bahagia, dan sepertinya pilihanku yang sekarang tidaklah salah." Ucap Marvel sambil tersenyum manis
"Syukurlah kalau begitu, semoga Tuhan selalu memberkati mu, Marvel." Ucap Renata
"Terima kasih nenek." Respon Marvel, "𝘸𝘢𝘭𝘢𝘶𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘳𝘢𝘨𝘶 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪𝘬𝘶." Gumam Marvel dalam hati
Mereka pada akhirnya bersenang-senang dan saling bercengkrama satu sama lain hingga hampir menjelang waktu makan siang
Sebelum makan siang dimulai Steven dan Renata menonton betapa kompaknya Marvel dan Malik dalam memasak, dan berapa telatennya Dirgan dalam membuat menu makanan penutup
Saat mereka berdua memakan masakan buatan kakak beradik itu dan juga memakan makanan penutup buatan Dirgan, mereka berdua tidak berhenti memuji betapa enaknya masakan mereka, mengobrol saat makan dan melupakan table manner yang mereka pelajari sejak kecil
"Kalian berdua tau kan beberapa waktu yang lalu gua ngedate bareng Nevin." Marvel bicara pada kedua saudaranya dan di respon anggukan
Sedangkan Renata dan Steven tersenyum kecil melihat interaksi mereka
"Kan waktu ngedate gua awalnya mau kenalan sama pemilik KimCom Cafe tapi ujung ujungnya gua kenalan sama temennya tapi gapapa, nah terus gua ketemu tuh sama Noya dan Ayon yang duduk tepat di belakangku, padahal gua cuma ngobrol bentaran sama si Noya tapi dia jadi sering ngechat gua." Ucap Marvel
"Noya? Maksudmu Noya Isaac Cakra?" Tanya Renata
"Iya, Nenek kenal Noya?" Tanya balik Marvel
"Nenek gak mungkin gak kenal salah satu rivalnya kakekmu, apa lagi Noya adalah rival termuda kakekmu." Jelas Renata
"Berarti Noya lebih muda dari Elestial?" Tanya Dirgan
"Iya, Noya lebih muda 1 tahun dari pada Elestial, tapi Noya bersikapnya kepada Elestial lebih seperti seorang kakak, itu sebabnya terkadang beberapa orang keliru dengan umur mereka." Jelas Renata
"Walaupun kak Elestial terlihat risih dengan sikap Noya, tapi sebenernya dia suka di perlakuin seperti itu." Respon Marvel
Steven yang mendengar ucapan Marvel pun mengerutkan keningnya
"Kau kenal dengan Elestial?" Tanya Steven
"Mungkin, jujur aku tidak terlalu ingat dengan hal itu, tapi ayah baptisku berkata kalau Elestial pernah menyelamatkanku." Ucap Marvel bohong
Mendengar jawaban Marvel yang lainnya pun bingung mau merespon seperti apa, Renata merasa kalau cucu kesayangannya itu berbohong sedari tadi tetapi ia tidak mungkin menuduh cucunya yang tidak tidak
"Marvel, omong omong kakek dan nenek dapet laporan dari sekolah kamu kalau kamu ngebolos 5 hari berturut-turut, kamu gak takut apa beasiswa punyamu di cabut." Ucap Steven
"Padahal dulu kamu berusaha keras biar dapet beasiswa di sekolah itu, kamu kenapa ngebolos hmm?" Tanya Renata
Marvel tetap diam selama beberapa menit hingga ia akhirnya berbicara. "Tidak ada alasan khusus sih, lagipula aku tidak ingat apa alasan diriku ingin mendapatkan beasiswa itu, aku tidak khawatir dengan bayaran sekolah yang mahal itu, daddy juga gak mungkin semiskin itu kan buat nyekolahin aku di sana."
"Kalau daddy mu bangkrut nanti biar kakek yang biayain sekolah kamu." Steven berbicara dengan senyum lebar terpasang di wajahnya
"𝘒𝘰𝘬 𝘯𝘨𝘰𝘮𝘰𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘺𝘢𝘬 𝘯𝘨𝘦𝘥𝘰𝘢𝘪𝘯 𝘺𝘢." Bisik Dirgan dan Malik dalam hati
"Emangnya orang yang punya backingan Ratu Inggris segampang itu bangkrut?" Celetuk Marvel
"Eh iya juga ya." Respon Steven
Dirgan dan Malik yang mendengar ucapan Marvel pun mengerjapkan matanya bingung, mereka berdua baru tahu jika backingan Blane adalah Ratu Inggris
"Kok kamu tahu Vel." Ucap Renata
Marvel tersenyum sambil menatap neneknya. "Aneh gak sih jika Ratu Inggris tidak menjadi Backingan dari keluarga Pendragon yang notabene adalah keturunan dari Arthur Pendragon." Ucapnya
.
.
.
.
.
(Mungkin sejak bagian ini, penulisannya sedikit berbeda :v-S. Ayon)
Hari Senin selalu menjadi hari yang paling dibenci oleh sebagian besar siswa, termasuk Marvel. Ia berencana kabur menuju perusahaannya untuk menghindari sekolah. Namun Malik, kakaknya Marvel, mengetahui niatnya dan langsung menyeretnya berangkat ke sekolah.
Sementara itu, Steven dan Renata sudah pulang pada kemarin sore. Renata sempat berfikir untuk tinggal bersama cucunya, tetapi ia harus menemani Steven ke luar negeri di hari Seninnya.
Marvel tiba di kelas, ia langsung berpura-pura sakit. Teman sekelasnya, Henry, meminta Marvel pergi ke UKS. Dalam hati, Marvel tersenyum senang. "Akhirnya, Gua bebas dari upacara," gumamnya.
Namun, kebahagiaan Marvel tidak berlangsung lama. Cory, orang yang paling ia benci, juga berpura-pura sakit dan bergabung dengan Marvel di UKS. Keberuntungan tidak berpihak padanya hari itu.
Cory menatap Marvel dengan curiga. "Lu ngikutin gua, ya?"
Marvel menggelengkan kepala sambil merotasikan matanya. "Gua cuma males ikut upacara, apalagi mataharinya terik banget. Gua tidak segabut itu untuk mengikuti elo."
Marvel merebahkan tubuhnya di ranjang UKS dan memainkan ponselnya.
Cory tersenyum sinis. "Alah, lu pengen lama-lama bareng gue, kan?"
Marvel mengabaikan Cory dan terus bermain game. "Bacot ah." Gumamnya
Setelah percakapan singkat, keheningan menyelimuti ruangan UKS. Cory memunggungi Marvel dan terlelap, sementara Marvel terus memainkan ponselnya hingga mengantuk. Ia menaruh ponselnya di balik bantal dan memejamkan mata.
Bel sekolah berbunyi, menandai akhir jam istirahat. Cory bangun dan pergi tanpa membangunkan Marvel. Di luar UKS, Cory bertemu Nevin dan mereka saling melemparkan tatapan sinis selama beberapa detik sebelum berlalu.
Nevin masuk UKS dengan membawa roti sandwich buatannya. Ia mengusap rambut Marvel pelan sebelum menyentuh pipinya yang lembut. Marvel tidur nyenyak, membuat Nevin tersenyum.
Nevin mengguncang pelan Marvel. "Vel, waktunya bangun. Kamu harus makan sebelum waktu istirahat selesai."
Marvel membuka matanya perlahan. Ia terkejut melihat wajah Nevin begitu dekat. "Tampan," katanya tanpa sadar, suaranya lembut.
Nevin terkekeh pelan, senyumnya memancar. "Kamu benar-benar lucu, Vel," katanya sambil menawarkan roti sandwich. "Makan dulu, baru kita ke kelas."
Setelah menikmati sandwich dan mengobrol singkat, Marvel dan Nevin memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing. Saat dalam perjalanan, Marvel dipanggil oleh siswi yang tidak dikenalnya.
"Marvel, tunggu!" seru siswi itu sambil berlari mendekat.
Marvel menoleh dengan penasaran. "Ada apa?"
"Kepala sekolah memanggil kamu ke ruangannya sekarang," jawab siswi itu.
"Terima kasih karena sudah memberitahuku," ucap Marvel sambil menepuk pundak siswi itu. Ia segera menuju ruang kepala sekolah di lantai satu.
Saat Marvel memasuki ruang kepala sekolah, ia melihat Kepala Sekolah dan ayahnya, Blane, sudah menunggu. Marvel pun duduk di sebelah ayahnya dengan sopan.
"Son, Daddy dengar kamu pusing. Mau periksakan ke rumah sakit tidak?" tanya Blane, mengusap rambut Marvel dengan ekspresi cemas.
"Dad, ga usah lebay, deh. Aku cuma telat tidur," jawab Marvel, merotasikan matanya.
"Kan namanya juga khawatir," tambah Blane.
Kepala sekolah berdehem pelan, menarik perhatian Marvel dan Blane. Mereka menatap Kepala Sekolah dengan polos.
Blane bertanya, "Kenapa kamu memanggil aku, Lala?"
Kepala sekolah terlihat kesal bahkan muncul perempatan imajiner di dahinya.
"Pfft... Ups, maaf. Aku tidak bermaksud menertawakanmu," Marvel menahan tawa.
"Huft... Jangan panggil aku Lala, Blane. Namaku Maulana," kata Maulana serius, ia mengabaikan Marvel yang menertawakannya.
Blane menjawab, "Haha, padahal dulu kamu tidak marah dipanggil begitu."
Maulana melanjutkan, "Itu dulu, dan saat ini kamu memanggilku seperti itu di depan muridku."
Marvel memotong pembicaraan. "Maaf, Pak. Kenapa kamu memanggil aku?"
Maulana memandang Marvel dan Blane bergantian. "Ohya, Marvel. Apa kamu mau beasiswamu dicabut?"
Blane mengerutkan kening. "Kenapa? Apakah Marvel melakukan kesalahan?"
"Aku mendapat laporan Marvel membolos lebih dari tiga hari berturut-turut," jawab Maulana.
Marvel tenang. "Aku tidak masalah beasiswaku dicabut, Pak."
Blane bertanya, "Kenapa kamu membolos sekolah, son?"
"Aku hanya memiliki beberapa urusan, Dad," jawab Marvel.
Maulana berbicara, "Baiklah, aku akan memberikan beasiswamu kepada orang lain."
Marvel bertanya, "Jika aku sering tidak masuk tanpa keterangan, apakah aku akan dikeluarkan?"
Maulana menjawab, "Tergantung alasanmu."
Blane penasaran. "Memangnya kamu sibuk karena apa?"
"Rahasia," jawab Marvel.
Maulana tersenyum. "Kamu boleh membolos, asalkan nilai-nilaimu tidak menurun."
"Tentu." Respon Marvel dengan senyum kecil
Setelah percakapan selesai, Blane dan Marvel meninggalkan ruangan Maulana.
Blane mengusap rambut Marvel dengan penuh kasih sayang. "Apapun yang kamu lakukan, Daddy akan selalu mendukungmu, son."
Marvel menikmati sentuhan ayahnya, mataanya terlihat bahagia. "Terima kasih, Dad," katanya pelan.
Blane mengecup rambut Marvel. "Daddy harus kembali ke perusahaan. Belajarlah yang rajin, ya. Sampai jumpa, Marvel."
Marvel memandang kepergian ayahnya dengan senyum. "Sampai jumpa juga, Daddy."
Marvel memasuki kelasnya dengan terburu-buru. "Permisi, Bu. Maaf saya telat. Saya baru dari ruang kepala sekolah," katanya sopan.
Ibu Guru menyambutnya dengan senyum. "Tidak masalah, Marvel. Kepala sekolah sudah memberitahu saya. Silakan duduk."
"Baik, Bu," jawab Marvel sambil menundukkan kepala dan berjalan ke tempat duduknya.
Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Bel pulang berbunyi keras, memecahkan kesunyian kelas. Bagi para siswa, suara itu terdengar sangat indah.
Pak Guru, yang terkenal killer, mendesah pelan. "Baiklah, murid-murid. Pelajaran kita sampai sini saja. PR dari halaman 21-27, pilihan ganda sampai perbaikan."
Dia tersenyum masam sebelum melanjutkan, "Saya pamit undur diri. Sampai jumpa besok, Kamis."
Tanpa menunggu respon, Pak Guru pergi meninggalkan murid-muridnya.
"Yes, pulang!" seru salah satu siswi.
"Kenapa harus ada PR, sih?" celetuk salah satu siswa.
"Tau tuh." Respon teman sebelahnya.
Marvel yang sedari tadi tertidur pulas tiba-tiba terbangun dengan keringat bercucuran. "Dad!" serunya dengan nada panik.
Semua orang yang berada di kelas menoleh, menatapnya dengan khawatir dan penasaran.
Ivan bertanya "Kau tidak apa-apa, Marvel?"
Marvel menoleh kearah Ivan sambil memegang rambutnya yang agak basah karena keringat. "I'm fine, aku hanya bermimpi buruk."
"Kau pasti tidak membaca do'a sebelum tidur, makanya kau bermimpi buruk." Ucap Henry sambil tersenyum khawatir.
Marvel tersenyum masam. "Aku lupa berdo'a tadi."
"Yasudah, kemasi buku bukumu Marvel, sudah waktunya pulang." ucap Ivan yang entah sejak kapan sudah di dekat pintu keluar.
Mendengar hal itu murid-murid yang lain langsung berhamburan keluar.
"Mau ku bantu?" tanya Henry yang tetap setia menunggu Marvel mengemasi barangnya.
"Tidak perlu, aku hampir selesai." Marvel memasukkan kotak pensilnya kedalam tas lalu menutup tasnya.
"yaudah, ayok!" seru Henry.
Marvel keluar kelas bersama Henry, lalu berpisah di depan pintu keluar karena Ivan sudah menunggu Henry di gerbang.
Marvel segera menghubungi ayahnya, Blane.
"Ada apa, Son?" jawab Blane.
"Daddy masih di perusahaan kan? Belum pulang?" tanya Marvel khawatir.
"Belum, Marvel. Mau Daddy jemput?" tanya Blane.
"Gausah, aku ke sana sekarang. Tolong jangan pulang dulu, Daddy," kata Marvel terburu-buru.
"Ada apa, Son?" tanya Blane penasaran.
"Nanti aku jelaskan, Daddy. Tolong turuti saja," kata Marvel.
"Baiklah," jawab Blane.
"Sampai jumpa, Dad," kata Marvel.
"Sampai jumpa juga, Son," jawab Blane sebelum panggilan terputus.
Setelah tiba di kantor ayahnya, Marvel bergegas menuju ruangan Blane dengan wajah merah, seperti baru saja menangis.
Blane, yang baru keluar dari kamar mandi, langsung disambut Marvel. "Kamu kenapa, hmm?" tanyanya khawatir.
"Hiks... Aku mimpi Daddy kecelakaan pas pulang dari sini," kata Marvel terburu-buru. "Makanya aku langsung hubungi Daddy biar tidak pulang dulu."
Blane menatap wajah Marvel dengan kasih sayang, menghapus air mata yang mengalir. "Terima kasih sudah mencegah Daddy, Son. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi."
Marvel bertanya, "Maksud Daddy apa? Apakah mimpiku bisa jadi kenyataan?"
Blane tersenyum. "Ayo duduk, Marvel. Daddy akan menceritakan sesuatu padamu."
Marvel menuruti sang ayah dan ia langsung duduk di sofa, diikuti Blane.
Setelah mengantarkan ayahnya pulang dengan selamat, Marvel kembali ke rumah dengan mengemudi santai. Begitu tiba, ia terkejut melihat Malik bersama teman-teman barunya dari geng Great Glory.
"Marvel, kamu baru pulang? Dari mana?" tanya Malik.
"Aku habis dari rumah Daddy," jawab Marvel. "Lagipula, mengapa mereka ada disini?"
Marvel menatap salah satu dari teman barunya Malik dengan tatapan sinis
Malik tersenyum. "Mereka sekarang teman-teman baruku. Enak diajak ngobrol, jadi kita temenan aja."
Marvel menghela nafas, lalu berjalan ke lantai atas. "Noir sudah dikasih makan?" Tanyanya tanpa menatap lawan bicara
"Udah, tenang aja," jawab Malik.
Saat di tangga, Marvel bertemu Dirgan, tapi ia terlalu malas untuk menyapanya.
Dirgan menatap heran Marvel. "Ada apa dengan Marvel?" tanyanya.
Malik menjawab, "Mungkin karena Cory ada di sini."
Damian penasaran. "Ada apa dengan Cory?"
Azkiel menyela, "Dulu Marvel suka sama Cory, tapi Cory malah menyia-nyiakan dan mengatainya."
Damian bertanya pada Cory, "Kenapa lu nyia-nyiain Marvel? Dia kelihatan baik."
Cory menggelengkan kepala. "Kalian tidak perlu tahu. Ini urusan pribadi."
Malik diam, tidak ingin memperburuk situasi. Ia tahu Cory keras kepala.
Karena tidak ingin pertengkaran berlanjut, Dirgan menyarankan, "Yuk, kita main kartu aja!"
Semua setuju dan bermain selama dua puluh menit. Suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Mereka menoleh, penasaran.
Marvel turun dengan langkah keras, mengenakan jeans hitam dan handuk di bahu. Dia bertelanjang dada, membawa keranjang pakaian kotor. Bekas luka besar terlihat jelas dari dada kiri hingga perut kanan, badannya juga sudah tidak sekurus waktu bangun dari koma.
Teman-teman Malik terkejut melihat luka tersebut, Cory juga sama terkejutnya seperti yang lain walaupun ia kembali berpura-pura tidak peduli.
Malik bertanya heran, "Marvel, kenapa tidak pakai baju?"
Marvel menjawab datar, "Bajuku semua kotor, aku lupa mencucinya"
Dirgan penasaran, "Bukannya kamu punya banyak kemeja dan hoodie?"
"Dah ku bakar, yakali gua pake kemeja norak kayak gitu." Marvel bergidik ngeri mengingat pakaian yang dimiliki oleh Marvel asli.
"Lagian hoodie yang waktu itu ku beli gak sengaja ku bakar." Lanjut Marvel sambil mengingat hoodie yang ia bakar itu penuh dengan darah.
Marvel masuk ke dapur, mencuci pakaian dan menggantungnya. Lalu, dia keluar dengan membawa camilan favoritnya.
"Apa kalian mainkan?" tanya Marvel sambil duduk di sebelah Malik.
"Main poker," jawab Damian. "Mau bergabung?"
Marvel berpikir sejenak. "Bagaimana kalau main Uno?"
Ajul menolak saran itu. "Aku tidak mengerti cara mainnya," kata Ajul.
Azkiel menambahkan, "Aku juga tidak mengerti."
Marvel tersenyum. "Kalau begitu, main Blackjack saja. Kita pasang taruhan untuk keseruannya."
Cory terkejut. "Kamu ingin mengajak kami berjudi?"
Tanpa disadari, kartu-kartu mereka telah berpindah ke tangan Marvel.
"Terserah, aku tidak memaksa," kata Marvel dengan senyum misterius.
𝐓𝐨𝐤 𝐭𝐨𝐤 𝐭𝐨𝐤...
"Buka pintunya!" perintah Marvel.
Sebelum Malik bergerak, pintu sudah terbuka. Jerry memunculkan kepalanya.
"Les?" kata Jerry.
Cory mengerutkan keningnya, tidak nyaman dengan kedatangan Jerry.
"Bawa baju pesananku, kan?" Marvel bertanya.
"Iya, ini," jawab Jerry, menyerahkan beberapa totebag. "Kamu kenal Cory?"
Marvel menerima totebag sambil menatap Jerry. "Seharusnya aku yang bertanya."
Jerry tersenyum. "Cory ponakanku, Vel."
Marvel terkejut. "Bentar, orang nyebelin kayak Cory ponakan kamu? Demi apa?"
𝐁𝐫𝐚𝐤...
Cory mengebrak meja. "Vel, kok kamu kenal omku?"
Marvel menatap Cory. "Jerry adalah ATM berjalan saya, atau lebih tepatnya, Babu."
Jerry bersikap dramatis. "Teganya kamu menganggap bestie anda sendiri sebagai babu!"
"Bestie, bestie! Apakah bestie mau disuruh-suruh seperti babu?" ucap Marvel.
"Lah iya yah," respon Jerry dengan polos. "Tapi lebih mending disebut ATM berjalan!"
"Tapi kalau kamu di sebut seperti itu nanti dikira aku sugar baby mu," ucap Marvel dengan nada tidak terima.
"Iya sih," gumam Jerry.
Marvel menatap Jerry dengan malas. "Udah, pulang sana. Aku ingin pakai baju."
Jerry tersinggung. "Kamu usir aku?"
Marvel menjawab datar. "Napa?! Gak terima?"
"Gak kok hehe," detik berikutnya Jerry sudah tidak ada di hadapannya Marvel.
Marvel menghela nafas lelah dan memutuskan untuk berganti pakaian. Setelah selesai, ia turun ke bawah untuk memasak mie. Namun, sebelum ia masuk dapur, pintu rumah terbuka dan Nevin, kekasihnya, masuk dengan berlari.
Nevin memeluk Marvel. "Ayank, kamu lapar?"
Marvel tersenyum. "Belum, kenapa?"
"Aku pikir kamu sudah makan, makanya aku hanya membawa martabak," Nevin menjelaskan sambil menunjukkan kantong plastik berisi tiga box martabak.
Marvel berbinar melihat martabak. "Kamu tahu aku lagi pengen martabak."
Nevin tersenyum. "Tentu saja, aku selalu tahu apa yang kamu inginkan. Omong-omong, ada kepiting di dapur kamu?"
Marvel penasaran. "Ada King Crab, kenapa?"
"Aku punya resep baru dan ingin mencobanya. Boleh aku coba?" Nevin bertanya dengan senyum kekanak-kanakan.
Wajah Marvel langsung sumringah. "Tentu saja, ayo ke dapur sekarang! Aku sudah lama tidak makan masakan kamu."
Nevin langsung membawa Marvel ke dapur, tanpa memperdulikan Malik dan yang lain.
Dirgan yang ingin mengikuti Marvel dan Nevin ke dapur langsung dihalangi oleh Malik. "Jangan ganggu mereka, kamu tahu bagaimana reaksi mereka jika ada yang mengganggu waktu mereka berduaan."
Dirgan tersenyum masam. "Aku jadi ingat dulu pernah ditendang Marvel sampai masuk got karena mengganggu mereka."
Damian penasaran. "Emang Marvel se-barbar itu?"
Dirgan dan Malik mengangguk. "Lebih dari barbar," kata Dirgan.
Damian tidak percaya. "Aku masih tidak percaya Marvel barbar, mukanya terlihat soft spoken banget."
Malik dan Dirgan saling menatap dengan wajah tertekan. Dirgan mendekatkan kepalanya ke Malik dan berbisik, "Bagaimana cara kita memberitahunya?"
Wajah Dirgan terlihat sangat tertekan. Malik menggumam, "Aku juga tidak tahu," dengan ekspresi serupa.
Di Rumah Sakit, Revan duduk di kursinya, memeriksa data pasien seperti biasa. Di sofa yang tersedia, seorang remaja laki-laki dengan rambut hitam legam dan mata merah darah duduk membaca berkas. Kulitnya pucat membuatnya terlihat misterius.
Remaja itu menatap heran berkas kesehatan Marvel. "Rev, Marvel pasien kamu?"
Revan mengangguk. "Memangnya kenapa?"
Remaja itu bertanya, "Dia masih hidup?"
Revan menatap tajam. "Apa maksudmu?!"
Remaja itu menghela nafas. "Marvel seharusnya sudah mati. Aku melihat namanya tercatat sebelum kejadian itu. Jika prediksi aku tidak salah, Marvel sekarang adalah orang lain."
Revan terdiam, memikirkan hal yang sama. Jika benar, siapa yang menggantikan Marvel?
Remaja itu beranjak pergi. "Sampai jumpa di rumah, Revan."
Revan segera menghubungi salah satu kakaknya, ingin menanyakan sesuatu.
𝐓𝐛𝐜...
𝟑𝟗𝟎𝟐 𝐖𝐨𝐫𝐝𝐬
Jangan Lupa Vote sama Comment ges, buat ngetik cerita sebegini banyaknya gak segampang itu 🗿-S. Ayon
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top