Pada akhirnya, aku membaca buku tentang sihir itu di kamar--yang diberikan Bell untukku. Aku hanya melihat sihir-sihir yang menurutku cukup menarik untuk dibaca.
Ada satu bab yang membuatku penasaran untuk membacanya, di sini tertulis Rare Magic.
Setelah kubaca-baca, pemilik Rare Magic hanya satu--berbeda dengan sihir yang umum (seperti sihir laki-laki yang waktu itu), pemiliknya bisa lebih dari satu. Jadi, jangan heran ketika ada peri yang sihirnya sama.
Ada sepuluh sihir yang termasuk ke dalam Rare Magic, salah satunya adalah Magic of Control--yang dimiliki oleh Pemimpin Bersh World, ratu kami.
Rare Magic yang lain juga membuatku tertarik, tapi karena tidak tahu siapa saja pemiliknya, aku langsung mengurungkan niat itu.
"ASTAGA, BELL! APA YANG TERJADI?!" seru Zer tiba-tiba dari lantai bawah.
Ingin tahu apa yang terjadi, aku langsung keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Tak lama, aku menemukan mereka yang sedang ada di dapur.
Dapur tampak berantakan, tepung berhamburan dimana-mana, banyak telur yang berpecahan, dan penampilan Bell yang sangat jauh berbeda dari yang sebelumnya.
Aku langsung bergidik ngeri saat mata kosong Bell melihat ke arahku. Dia terlihat tidak peduli apa yang sudah dirinya lakukan dan mengabaikan Zer yang terus mengoceh daritadi.
"Ada apa dengan, Bell?" tanyaku langsung mencairkan suasana.
Zer memijat pelipisnya, seolah dia pusing dengan keadaan ini. "Aku tidak tahu. Dari kemarin dia bertingkah aneh, apa yang harus kita lakukan, ya?"
"Hm...." Aku menopang dagu sambil berpura-pura menutup mata (agar aku terlihat sedang berpikir). Setelah berpura-pura seperti itu, aku langsung menjawab, "Oh, aku tahu! Bell mungkin marah karena kau tidak memberinya gaji!"
"Omong kosong," balas Zer menatapku datar. "Waktu gajian 'kan masih lama."
"Mungkin dia marah karena kau bilang masakannya tidak enak."
"Kalau kau berbicara yang tidak penting, aku akan mengusirmu." Tatapan Zer langsung berubah tajam. "Jangan berbicara lagi."
"Baiklah, aku akan menutup mulutku."
Zer menoleh ke arah Bell dengan wajah cemas. "Bell, kalau kau ada masalah, kau bisa bercerita denganku."
Bell membuang wajah, enggan menatap lawan bicaranya. "Aku baik-baik saja, Zer."
"Sejak kemarin kau bertingkah aneh, apa hanya karena toko kue kita sangat sepi dan kau langsung kesal hanya karena itu?!"
Niatku untuk berbicara (karena aku ingin menjahilinya) seketika langsung menghilang saat pertama kali melihat Zer marah.
"Aku tahu, aku sangat tahu apa yang kulakukan, Zer." Bell tiba-tiba menangis tanpa sebab. "Tapi percayalah, ini bukan diriku."
"Apa maksudmu?"
"Aku--" Bell langsung menjeda ucapannya--seperti tertahan oleh sesuatu. Tak lama, tatapannya kembali kosong. "Apa urusanmu?"
"Bell? Kenapa kau--"
"Aku mau ke kamar, jangan mengangguku," potong Bell langsung meninggalkan kami di dapur yang sangat berantakan ini akibat ulahnya.
"Hei, Yurryl." Aku langsung menoleh saat Zer tiba-tiba memanggilku. "Apa kau merasa Bell sedang dikendalikan?"
Dikendalikan?
Satu kata itu langsung membuatku mengerti apa yang sudah terjadi, untuk itulah aku langsung pergi ke kamar agar aku bisa membaca buku itu lebih lanjut--tapi hal itu langsung dihentikan karena Zer menarik tanganku.
"Kau bantu aku membersihkan dapur," ucapnya menatapku dengan horor. "Kau tidak boleh kabur."
"HUH?! KENAPA HARUS AKU?!"
***
Aku melangkah ke tempat ini lagi, dimana aku akan mengembalikan buku yang aku pinjam kepada laki-laki waktu itu yang belum kuketahui namanya.
Aku duduk di meja bagian saat kami pertama kali bertemu. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan laki-laki itu yang ternyata belum datang.
Aku menghembuskan napas lelah, aku tadi berhasil kabur dari Zer--karena Bell melakukan hal yang sama di dapurnya kemarin dan tidak bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan.
Sebenarnya aku sangat keberatan untuk membantu Zer membersihkan dapurnya, untuk itulah aku langsung kabur ke sini--sekalian mengembalikan buku yang aku pinjam.
"Terima kasih sudah menunggu." Laki-laki itu tiba-tiba muncul di hadapanku. "Mana bukunya?"
"Ini." Aku langsung menunjuk buku itu di meja (karena bukunya sudah aku letakan di sana). "Ambil sendiri."
Dia langsung membaca buku itu dan tidak lupa memakai kacamatanya.
"Hei," panggilku agar dia segera menoleh--tapi sepertinya dia sama sekali tidak mendengarku. "Hei!"
"Apa?" balasnya tanpa melihat ke arahku.
"Siapa ... namamu?"
"Eh, kita belum berkenalan, ya?" Akhirnya dia berhenti membaca buku, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Namaku, Aru. Kalau kau?"
Aku membalas uluran tangannya. "Yurryl."
"Oh, salam kenal, ya." Setelah mengucapkannya, dia langsung kembali ke membaca buku.
Tiba-tiba, perhatianku teralih saat gadis berkacamata memasuki perpustakaan ini. Bukan karena penampilannya, tapi dia benar-benar mirip dengan seseorang yang pernah kujumpai.
Kupertajam penglihatanku, dan aku yakin kalau dia adalah peri yang sedang menyamar.
Karena jarak aku duduk dan dia yang sedang memilih buku tidak terlalu jauh, kuputuskan untuk menghampirinya.
"Hei!" Aku menepuk pundaknya, itu membuatnya otomatis terkejut. "Kau peri yang menendang bola ke arahku, 'kan?"
"A-a-apa maksudmu? Aku tidak mengenalmu!" Entah kenapa, dia menjawabku dengan gugup. "Bisa biarkan aku sendiri? Aku mau membaca buku."
"Aku tidak mengancammu, aku hanya bertanya." Aku memutar bola dengan malas.
"Ya-yah, apapun itu, a-aku belum pernah bertemu denganmu!"
Aku menatapnya dengan kesal, lalu aku langsung melepaskan kacamata yang dia pegang. Ternyata dugaanku benar, dia adalah peri yang menendang bola ke arahku. Itu tampak jelas karena warna rambut dan wajahnya sama.
"Dan ternyata aku benar!" Aku meninggikan suara agar dia tahu kalau penyamarannya sudah terungkap. "Kukira kau gadis tomboy, tapi ternyata hanya gadis kutu buku."
"Hei, ada apa ini?" Tanpa kutebak, Aru menghampiri kami. "Eh? Kau pemilik Element of Honesty, 'kan?"
Huh? Pemilik Element Virtue yang lain?
"Ya, itu aku," jawab gadis itu terlihat lesu. "Dan penyamaranku terbongkar karena pacarmu ini!"
"Huh? Aku?" Aku menatapnya jengkel, karena yang dimaksud dengan 'pacar' itu bukanlah fakta. "Kami tidak berpacaran!"
"Uhm, Honesty, kenapa kau menyamar?" tanya Aru yang entah kenapa tidak mempersinggung tentang 'pacar' tadi.
Gadis itu langsung menghela napas, lalu duduk di kursi terdekat. "Kau tahu aku ini peri yang seperti apa, 'kan?"
Hanya Aru yang mengangguk, sementara aku di sini sama sekali tidak paham apa yang mereka bicarakan.
"Aku tidak mau sifat asliku dilihat banyak peri," jawabnya dengan wajah yang tiba-tiba murung.
"Sifat asli?" Aru menopang dagu sambil melihat gadis itu lekat-lekat. "Seperti yang aku lihat sekarang?"
"Kau benar." Gadis itu menghela napas lagi. "Sifatku sangat berkebalikan. Di depan banyak peri, aku terlihat tomboy dan aktif, tapi sebenarnya aku hanya gadis kutu buku yang suka ketenangan. Bertolak belakang, ya?"
Sekarang aku mulai sedikit mengerti apa yang mereka bicarakan. Kalau soal penyamaran sifat, aku juga sedang melakukannya. Seperti yang kalian lihat, aku berusaha untuk 'pura-pura baik' di hadapan semua peri.
"Kurasa ... itu tidak apa-apa." Aru menjawab dengan tersenyum, dan itu pertama kalinya aku melihatnya begitu. "Asalkan kau tahu siapa dirimu yang sebenarnya, itu tidak akan menjadi masalah."
"Begitu, ya?" Tak lama, gadis itu juga ikut tersenyum. "Kurasa perkataanmu ada benarnya juga. Terima kasih, Aru."
Eh? Dia mengenal Aru?
"Tidak masalah, Honesty."
Gadis itu tertawa. "Kau bisa memanggil dengan nama asliku."
"Tidak, Honesty. Kalau memanggil nama aslimu, aku merasa tidak sopan."
"Yah, itu terserah padamu, sih." Gadis itu langsung merebut kacamatanya dari genggaman tanganku, lalu dia memakainya. "Kalian berdua, pertahankanlah hubungan kalian. Aku mau baca dulu. Dadah!" Setelah mengucapkan kalimat yang menurutku aneh itu, dia langsung melesat untuk mencari buku.
"Aku tidak tahu kenapa dia menganggap kita sedang berpacaran. Gadis yang aneh."
"Kalau menurutmu, bagaimana?" tanya Aru menatapku.
"Bagaimana apanya?" Aku langsung kebingungan dengan pertanyaannya, tapi karena dia tidak membalas apapun, aku langsung melanjutkan, "Ngomong-ngomong, siapa nama gadis itu?"
"Namanya, Flora."
Baiklah akan kuingat nama sasaranku.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Urusan kita sudah selesai, 'kan?"
Aru tidak membalas apapun, dia hanya menatapku dalam diam. Karena sikapnya yang aneh itu, aku langsung meninggalkannya.
"Kapan-kapan, kau mau datang ke sini lagi, tidak?"
Suaranya terdengar dari kejauhan sebelum aku menyentuh pintu utama perpustakaan. Aku tidak menjawab apapun, karena aku tahu kalau aku tidak bisa datang ke sini setiap hari karena tujuanku hanya mencari pemilik Element Virtue satu-persatu dan akan mengambil energinya saat mereka Virtue Up.
Mungkin kami akan jarang bertemu.
***
Aku membuka pintu rumah Bell dan Zer secara perlahan. Aku hanya memastikan kalau laki-laki itu tidak sedang berada di sini.
"Oh, kau sudah pulang, Yurryl?" tanyanya membuatku terlonjak kaget karena dia memperlihatkan dirinya saat aku membuka pintu.
"O-oh, halo, Zer!" Aku berusaha menyapanya dengan ramah--berharap dia lupa tentang aku yang meninggalkannya sendirian membersihkan dapur karena ulah Bell. "Kau mau kemana?"
"Mencari Bell," jawabnya singkat.
"Huh? Memangnya Bell kemana?" Aku mencoba untuk berbasa-basi dengannya.
"Untuk itulah aku mencarinya." Zer menatapku datar. "Kau jaga rumah, ya. Jangan bukakan pintu kalau bukan peri yang dikenal. Tunggu sampai aku pulang, mengerti?"
"Iya, mengerti." Aku menjawab dengan malas.
Setelah percakapan singkat kami, Zer langsung terbang entah menuju ke arah mana. Yah, setidaknya dia tidak memintaku untuk membantu mencari Bell.
***
Di saat aku sedang santai-santainya di sofa, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Itu tidak membuatku terkejut, karena sang pemilik rumahlah yang datang.
"Kau berhasil bertemu dengan Bell?" tanyaku mengubah posisi tidurku menjadi duduk.
"Tidak," jawabnya dengan nada kecewa, lalu menutup pintu dengan keras.
Aku langsung menutup mulutku, berusaha untuk tidak tertawa melihat perbuatan laki-laki ini yang berujung sia-sia. "Jadi, kau menghabiskan waktu berhargamu, ya?"
"Kalau kau mau mengejekku, lebih baik kau keluar saja." Zer menatapku jengkel. "Aku hanya ingin mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan Bell. Dia benar-benar ... terlihat berbeda."
Fakta yang satu itu juga tidaklah salah. Biar kuberitahu, sikap Bell sekarang sudah keterlaluan daripada sikapku di Bersh World. Ditambah dengan tatapan kosongnya, dia terlihat seperti tidak ada tujuan dalam hidupnya.
Pintu kembali terbuka, membuatku dan Zer terkejut karena peri yang sedang dibicarakan sudah datang tanpa wajah bersalah.
Seperti yang kubilang, perbuatan Zer hanya berujung sia-sia.
"Bell! Kemana saja kau?!" Zer meninggikan suaranya, sepertinya dia sedang marah.
Bell yang sedaritadi menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya, hanya bisa menunduk. "Maaf."
Sebentar, aku mulai tidak mengerti. Dia meminta maaf dengan wajah yang tidak bersalah? Sungguh? Oh, maafkan aku. Aku juga ikut kesal melihatnya.
"Bell, biar kuperingatkan padamu. Kalau kau membuat ulah lagi, aku terpaksa harus mengusirmu!"
"Iya, maaf."
"Sebentar, kau belum menjawab pertanyaanku." Tatapan Zer berubah tajam, membuatku bergidik ngeri saat melihatnya sedang marah. "Kau tadi kemana?"
"Huh?" Bell menegakkan kepalanya, tatapan kosongnya itu entah kenapa tiba-tiba menghilang. "Eh? Ke-kenapa, Zer?"
"Bell, jangan mengalihkan topik. Cepat jawab!"
"A-aku tidak tahu maksudmu, emang apa yang kulakukan?"
Zer mengacak-ngacak rambutnya, terlihat frustasi. "BELL! SUDAH CUKUP! SEKARANG KAU KE KAMAR! SEBAIKNYA KAU TETAP DI SINI! AWAS KALAU KAU KELUAR RUMAH LAGI!"
Bell yang memperhatikan sikap Zer itu hanya bisa terdiam, lalu dia langsung ke lantai atas menuju kamarnya.
Aku melihat ke arah Zer, dia mengelus-elus pelipisnya dengan wajah yang masih kesal. Tidak ingin terjadi apapun, aku lebih memilih diam dan langsung meninggalkannya dan menuju ke kamar.
***
Esoknya, aku memutuskan untuk pergi, tapi sebelum itu aku harus memastikan kalau Bell tidak membuat ulah lagi dan Zer akan memintaku untuk membantunya membereskan apa yang Bell telah lakukan.
Namun, untunglah hal itu tidak terjadi. Keadaan di dapur masih baik-baik saja dan anehnya aku tidak menemukan keberadaan Zer di sini.
Tidak ada yang bisa kulakukan, akhirnya aku memilih untuk mencari pemilik Element Virtue yang lainnya--meskipun baru dua peri yang kukenal.
Aku terbang entah mau kemana. Perhatianku teralih saat kulihat sebuah rumah yang dikelilingi banyak peri. Itu membuatku penasaran, lalu kuputuskan untuk mendarat di sana.
Aku tidak bisa melihat apapun setelah aku mendarat. Peri yang berkumpul di sini juga tidak sedikit dan rata-rata dari mereka ada yang lebih tinggi dariku, membuatku tidak ada kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Oh, kau gadis yang kemarin, ya?"
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, langsung kutolehkan kepalaku ke arahnya, ternyata dia gadis pemilik Element of Honesty, Flora.
"Kenapa?" tanyaku menatapnya heran.
"Kita belum berkenalan tahu," balasnya dengan tatapan datar, lalu mengulurkan tangan. "Flora. Kau?"
Aku membalas uluran tangannya. "Yurryl."
"Oh, kau pasti ingin tahu apa yang terjadi di sini, 'kan?" Flora bertanya seakan dia membaca pikiranku.
"Ya, emang kenapa?"
"Apa kau penasaran siapa yang membunuhnya?"
Pertanyaan itu langsung membuatku bingung. Setelah kusadari, ternyata pertanyaan gadis ini tidaklah jelas.
"Hei, sudah kubilang kalau aku tidak tahu apa yang terjadi." Aku membalasnya dnegan wajah datar.
"Oh, benar juga, ya," jawab Flora tanpa wajah bersalah. "Biar kujelaskan, kakaknya Mary kini dinyatakan terbunuh oleh seseorang tadi malam."
"Mary? Siapa?" tanyaku sama sekali tidak mengenal peri yang memiliki nama itu.
"Adik dari sang kakak yang terbunuh." Jawaban Flora yang satu itu tidak membuatku puas. "Nah, tapi para penyelidik belum tahu siapa yang membunuh kakak si Mary ini. Bagaimana kalau kita membantunya?"
"Membantu siapa?"
"Membantu para penyelidik sekaligus Mary."
Aku tiba-tiba merasa tidak semangat setelah mendengar kata 'membantu'. "Emang apa yang bisa kita bantu?"
"Kita akan bantu cari siapa pembunuhnya."
***
-Revisi-
31 - 3 - 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top