(END) On The Night Like This

Dio menapakkan kaki di atas jajaran conblock. Nampak beberapa mobil dan motor yang berjajar rapi. Terakhir kali ia mengunjungi tempat ini adalah ketika hari kelulusan, sekitar dua tahun lalu. Kepulangannya ke Indonesia selain untuk merebut posisi penting dalam perusahaan keluarga adalah untuk menemui beberapa orang yang berpengaruh dalam hidupnya. Ada Mama dan mendiang Ditha Anjani Cokroatmojo. Kurang lebih dua tahun menempuh pendidikan di United State, ia mendengar kabar bahwa Narendra Harsa Cokroatmojo terpaksa mendekam di RSJ karena ODGJ.

Sempat merasa iba, Dio lebih menganggap kemalangan Rendra sebagai kesempatan emas. Ia bisa hidup damai tanpa hal-hal aneh yang Rendra perbuat. Beberapa orang yang dikenalnya sebagai bagian dari anggota BEM kabinet Supernova menyapa. Dio dengan senang hati berbincang-bincang sejenak, membahas kenangan mereka semasa mengurus BEM dan beberapa dosen yang telah pensiun lebih dulu. Saat mengalihkan pandangan meski sekilas, ia menemukan gadis itu di sana. Tengah berjalan bersama beberapa gadis, tawa mereka terdengar samar. Namun, lewat tawa itu Dio meyakini jikalau sang pengusik mimpi dalam keadaan baik-baik saja dan bahagia.

Begitu tahu Caca menerima bunga dan surat pemberian darinya secara sukarela. Hari-hari yang Dio lewati di US terasa jauh lebih menyenangkan. Lewat skype, Daniel juga memberitahu kalau gadis itu sempat berlari tanpa arah sambil menangis lalu bertemu dengannya. Dio tentu saja marah karena Daniel merusak hari spesial Caca. Tujuannya menitip surat, hanya untuk menyampaikan hal yang tak sempat disampaikan, bukan untuk merusak hari. Sempat ingin menghubungi gadis itu via telepon, tetapi urung dilakukan.

Dio membiarkan hari yang Daniel sebut sebagai kesempatan terlewat begitu saja. Tak ada alasan khusus, ia hanya tak ingin memanfaatkan perasaan Caca. Ia pun tidak begitu yakin kalau apa yang dikatakan Daniel mengenai jejak kepalsuan dalam hubungan Caca dan Gilang adalah sebuah kebenaran. Kalaupun memang gadis itu ditakdirkan untuknya, mereka pasti dipertemukan kembali dalam sebuah momen yang lebih baik. Tak ada paksaan atau situasi menguntungkan yang sahabatnya katakan.

"Wuih, Dio Anggara Cokroatmojo! Sohib gue yang paling cupu setanah air!"

Sapaan kurang ajar itu datang dari Jimmy Prakoso.

"Lu lebih cupu empat kali lipat dari dia dodol!" sambung Daniel yang berjalan bersampingan dengan Jimmy.

Tingkat kekonyolan dua kawan sontoloyonya masihlah sama. Jimmy langsung merangkul Dio tanpa permisi.

"Apa kabar nih? Omong-omong lo makin ganteng sih, Yo."

Dio menepis rangkulan laki-laki yang mengenakan kacamata hitam tersebut. "Kalau ganteng kayaknya udah sejak lahir. Kabar gue baik, lo sendiri gimana?"

"Gue akhirnya punya pacar dong," jawab Jimmy seraya menyugar rambut.

"Ayo masuk, masa ngobrol di parkiran? Gue yakin Dio kangen berat sama mantan terindahnya," sambar Daniel.

"Enggak ada mantan terindah di kamus gue. Adanya kenangan terindah." Dio menyengir lebar.

"Anjir! Dio dua tahun di US langsung lancar ngalus!" Daniel memukul-mukul bahu Dio diiringi tawa renyah.

Mereka memasuki gedung GWW, tepat diselenggarakannya reuni akbar seluruh angkatan Institut Pertanian Indonesia. Mungkin terhitung terlalu dini bagi angkatan mereka untuk reuni, tapi tak mengapa. Toh, tak ada larangan angkatan mana yang boleh atau dilarang hadir.

***

Caca melihat laki-laki itu bercengkerama dengan mantan anggota BEM Supernova di luar gedung tadi. Tampak bersinar bak satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ia memperhatikan detail laki-laki itu secara sembunyi-sembunyi. Potongan rambut, warna kemeja, jas, celana cino, dan jam tangan. Dio Anggara Cokroatmojo nyaris sempurna. Satu-satunya kecacatan yang laki-laki itu miliki hanyalah nama belakang. Kalau saja Dio lahir tanpa nama belakang itu, sekarang mereka mungkin akan menautkan jemari ketika memasuki area GWW. Ingin sekali menyapa, tapi mereka bukan kawan lama. Mereka justru punya ikatan simpul kuat yang dipaksakan putus. Meski berhasil terpisah, bekas simpulnya tetap masih tersisa karena yang terputus adalah bagian lain.

Takut terlalu larut, Caca meninggalkan teman-teman semasa tinggal di indekos dan menghampiri meja prasmanan. Ada berbagai macam kudapan. Ia tertarik mengambil salah satu cupcake cokelat yang menggiurkan. Tersisa satu potong. Hampir saja teraih, tapi ada tangan lain yang menghalangi. Akhirnya ia beralih mengambil macaron, ada tangan lain juga yang menghalangi. Sontak Caca mengangkat kepala seraya menggerutu dalam hati.

"Mau yang mana lagi, Ca?"

"Enggak jadi, buat Kak Daniel aja."

"Ini sih memang buat saya." Daniel menyengir lebar. Sebelah tangannya mengangkat piring yang terisi dua kudapan tadi. "Abang yang di belakang tuh yang ngambilin buat kamu."

Caca mengernyit, lantas berbalik.

"Kamu mau yang mana?"

Setelah menawarkan pilihan kudapan, Jimmy memainkan kedua alis. Kesempatan semacam ini dulu gagal ia dan Daniel miliki. Belum lama mengetahui teman sekamarnya yang mengencani ketua asrama putri angkatan ke-46. Dio mendadak kelihatan kacau bak pulau diserang angin puting beliung. Jimmy tak pernah tahu alasan sesungguhnya, tapi teman sekamarnya itu menjelaskan jikalau mereka berakhir karena berbeda prinsip.

Bah, alasan macam apa itu? Bukankah pasangan kita juga sesama manusia biasa yang sudah pasti punya pemikiran yang berbeda atau bahkan bertolak belakang? pikir Jimmy saat itu.

Caca menyunggingkan senyum. Ia ingat laki-laki yang menggantungkan kacamata hitam di kemeja itu adalah kakak komdis yang juga pernah meledeknya di hari MPKMB. Teman sekamar Dio. Ia tak pernah melupakan kejadian tertinggalnya KTM dan jam malam asrama. Malam yang memicu kedekatannya dengan sang presiden mahasiswa angkatan ke-45.

"Terima kasih sebelumnya. Kayaknya saya udah kenyang banget."

"Kok ngambek sih sayang?" goda Jimmy.

"Enggak usah cari perkara, Jim."

Dio sulit menahan diri saat melihat dua kawan sontoloyonya menggoda Caca. Bukan, bukan karena ia cemburu, tapi lebih kepada khawatir akan kenyamanan gadis itu.

"Akhirnya, jagoannya datang. Cabut, Jim!" ajak Daniel yang kini memainkan kedua alis.

"Baiklah, Bapak Dio Anggara Cokroatmojo, waktu dan tempat kami persilakan." Jimmy membungkuk seratus delapan puluh derajat sebelum kabur menyusul Daniel.

Atmosfer kecanggungan langsung menyeruak sebab yang tersisa hanya mereka berdua. Degup jantung seakan menghentikan kebisingan dalam gedung. Sementara rasa yang sama seolah memaku kaki mereka untuk tak bergerak seinci pun.

"Kamu ...." Mereka mengucapkannya secara kompak.

"Kamu aja dulu." Lagi-lagi mereka mengatakannya secara bersamaan.

Caca tidak tahu wajahnya sekarang seperti apa, tapi ia berusaha menarik senyum. "Apa kabar, Kak?"

"Baik, kamu sendiri?"

"Seperti yang Kak Dio lihat."

Dio terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. "Terlihat cantik seperti biasanya."

Pengakuan itu mengundang tawa kecil Caca. "Barusan ngerdus?"

"Barusan aku jujur."

Tawa gadis itu menulari Dio. Kapan terakhir kali mereka bisa tertawa bersama? Seketika ia merasa beban hidupnya berkurang separuh. Ini gila, tapi Dio malah mengulurkan sebelah tangan bersama senyum lebar.

"Nama saya Dio."

Dahi Caca berkerut dalam, maka dengan agak ragu ia menjabat tangan yang dulu sering mengisi kekosongan jemarinya. "Oxafia, panggil aja Caca." Tak lama Caca mengurai tawa lagi.

"Ca, aku pengin ngelakuin ini dulu, tapi enggak kesampaian."

"Oh, ya? Kalau gitu nice to meet you, Kak." Laki-laki itu masih menjabat tangannya, sedangkan Caca sendiri enggan menarik.

"Nice to meet you too, Ca."

Dio melepas jabat tangan mereka. Ia meraih piring kecil yang tertata di meja prasmanan. "Aku ambilin ya, Ca?"

Tak lama mereka sibuk memilih kudapan sambil bercanda. Kebekuan pasca berakhirnya hubungan mereka berhasil mencair. Beberapa pasang mata menatap penuh kecurigaan. Sebab aura keakraban mantan ketua asrama putri angkatan ke-46 dan presiden mahasiswa angkatan ke-45 terasa berbeda. Aura keakraban dua orang itu seakan menebar kelopak mawar tak kasat mata ke seluruh penjuru ruangan.

"Kak," panggil Caca. "I wanna tell you something. Ini tentang tiga tahun lalu."

"Mau keluar enggak?"

"Yuk."

***

Kap mobil Dio adalah tempat yang mereka pilih untuk bersandar. Rembulan mengintip malu-malu dibalik awan. Caca mengambil sepotong cupcake, menggigitnya separuh. Kalau boleh jujur, halaman GWW, suasana malam, cupcake, dan Dio merupakan kolaborasi terbaik baginya. Bisakah waktu membeku sebentar saja?

"Dua tahun enggak ketemu, kamu enggak banyak berubah, Ca."

Caca menoleh, lalu menghela napas pendek. "Memangnya aku Power Ranger?"

Sontak Dio mengulas senyum tipis. Ia menyeka krim di sudut bibir gadis itu dengan ibu jari. "Contohnya yang satu ini."

Detik itu juga Caca menahan napas. Apa yang Dio lakukan tak sampai memakan waktu satu menit. Namun, ia berani meyakini bahwa jejaknya akan membekas semalaman atau mungkin hingga berhari-hari.

"Kamu mau ngomongin apa, Ca?"

Caca meletakkan piring kertas yang telah kosong di samping heels-nya. Ia bersumpah akan membuangnya nanti. Ada banyak hal yang harus mereka luruskan. Ia memandang laki-laki yang fokus menatap landscape di depan sana.

"Kakak enggak bikin kesalahan apa pun. Karena Kak Dio enggak terlibat, bahkan enggak tahu sama sekali. Selama ini aku salah sudah bersikap enggak adil." Caca berpikir sesaat, lalu melanjutkan, "Apa yang Kak Fella sampaikan di mimpiku benar. Kita punya cerita masing-masing."

"Kemarin ya kemarin, sekarang aku bersyukur karena kamu masih sudi ngomong sama aku."

Ucapan laki-laki itu membuat Caca tersentil. "Kak Dio-"

"Perbuatan Ditha atau Papa memang enggak patut dibenarkan, Ca. Aku juga enggak menyalahkan sikap kamu kemarin-kemarin. Karena kalau kamu masih menerimaku dengan tangan terbuka, aku malah menjadi orang yang enggak tahu diri."

Caca akhirnya ikut membawa fokus pandangan pada landscape di depan mereka. Ia menghela napas panjang. "Please, berhenti punya pikiran kayak gitu, Kak. Aku dengar Aksel tersiksa di RSKO sewaktu ngobrol sama Kak Daniel di hari kelulusan. Mungkin itu yang dinamakan ganjaran setimpal."

"Rendra juga masuk RSJ karena ODGJ," sambung Dio.

"Kemarin-kemarin pun aku lupa kalau karma itu ada dan aku salah karena melimpahkan kesalahan ke kamu. Aku bikin kamu menerima imbas yang harusnya enggak kamu terima."

"Aku senang lihat kamu baik-baik aja, itu sudah lebih dari cukup."

Pandangan mereka kini bersirobok. Apa yang Dio katakan barusan bukan sekadar bualan, ungkapan tersebut benar adanya. Ia menyadari itu usai membeberkan rahasia yang berkaitan dengan Ditha dan Fella. Atas segala keegoisan, tawa gadis itu adalah segalanya. Dio tak ingin merenggut tawa itu lebih lama.

"Dan karena hal itu aku mau-"

"Ca, listen to me. Kamu enggak perlu minta maaf atas kesalahan yang enggak kamu lakukan."

"Kak Dio, please. Berhenti merasa bersalah karena kamu memang enggak salah."

Mereka terdiam cukup lama hingga bulir bening lolos dari sepasang mata Caca. Tak butuh pikir panjang bagi Dio untuk menyekanya dengan ibu jari.

"Ca, aku boleh jujur tentang sesuatu nggak?"

"Tentang?"

"Aku masih sayang sama kamu."

Caca kehilangan banyak kata. Laki-laki itu masihlah orang yang sama. Ya, Dio Anggara Cokroatmojo masih menjadi bunga tidur dan pemacu degup jantungnya.

"Aku cuma mau jujur, bukan bermaksud memaksa kamu kembali," lanjut Dio.

"Aku enggak ngerti." Caca menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menarik napas panjang. "Kenapa Kak Dio jujur, tapi enggak bermaksud ke sana?"

"Kata pepatah segala macam kejujuran enggak akan bikin kita menyesal. Aku enggak mau menjadi orang yang menyesal karena enggak jujur soal hal tadi."

Lagi-lagi Caca bungkam.

"Kamu tahu kenapa aku benci nama belakangku dan Papa?" tanya Dio.

Caca menggeleng cepat. "Kamu enggak pernah ngasih jawabannya sewaktu aku tanya."

"Karena dibalik kemasyhuran Atmojo Group banyak hal-hal yang melanggar norma-norma, Ca."

"Norma-norma, maksudnya?"

"Kamu enggak harus mengerti, Ca. Tapi tujuan aku merebut posisi pion utama Atmojo Group adalah demi mengubah itu semua, meski cuma sedikit atau bahkan nol koma nol satu persen."

Dahi gadis itu semakin berkerut dalam, sedangkan Dio memilih mengukir senyum lebar.

"Karena dengan begitu, aku bisa merasa pantas berjalan di sisi kamu. Suatu hari nanti," lanjut Dio.

"Tunggu-"

Caca mengangkat satu tangannya yang langsung ditangkap laki-laki itu. Alih-alih mengembalikannya ke pangkuan, laki-laki itu malah menautkan jemari mereka.

"Aku ngasih tahu tujuan tadi bukan untuk meminta kamu menunggu."

"Terus?" Caca bicara dengan gigi rapat, matanya terbuka lebar-lebar.

"Cuma biar kamu tahu kalau ada yang niat ngajak balikan."

================ END =================

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top