29. Monokrom
"Eh, dompet lo jatuh!" Dio berseru usai menjatuhkan dompetnya sendiri.
Konyol memang. Ia sendiri tidak mengerti kenapa melakukan hal sekonyol itu supaya bisa menyapa seorang gadis. Seumur hidup, baru kali ini Dio melakukan hal di luar nalar tanpa proses otak. Gadis yang ia temui saat registrasi mahasiswa baru itu yang membuatnya melakukan hal semacam menjatuhkan dompet sendiri dan berpura-pura menemukannya.
Kebodohan yang Dio punya pun nampaknya meningkat sekian persen. Oxafia Djenara Nindyar, ia bahkan hafal cara gadis itu mengeja namanya yang unik. Semacam plesetan dari nama universitas terkenal di Inggris, Oxford. Dio tidak tahu nama panggilannya, mungkin Oxafia atau Nindya. Ia memanggil gadis itu Nindya dalam benak.
Nindya yang hampir tiba di pintu gerbang asrama berbalik. "Iya?"
Ada sedikit keuntungan juga mengangkut sisa barang yang Dio tinggal di asrama putra. Secara tidak langsung ia punya kesempatan ajaib seperti saat ini. Bertemu dengan Nindya yang notabenenya adalah mahasiswa baru.
Masa TPM atau Tingkat Pengenalan Mahasiswa telah terlewati. Oleh karena itu Dio beserta teman seangkatan memindahkan barang-barang dari asrama menuju indekos baru. Di mana tidak ada lagi peraturan jam malam yang mirip anak SD. Sebab area asrama ditutup setiap pukul sembilan malam. Selain itu Dio merupakan salah satu mahasiswa yang rajin membersihkan WC asrama. Karena jam pulangnya selalu lewat dari jam malam asrama.
"Dompet lo," kata Dio sembari menyodorkan dompetnya sendiri.
Usai menarik napas panjang, ia mencoba menahan tawa sekuat mungkin. Mau bagaimana lagi? Dio tidak menyiapkan banyak rencana begitu melihat Nindya lewat.
Nindya mengambil dompet itu dan mengamatinya. "Hmm ... ini bukan punya gue." Dia mendongak.
"Oh, gue kira punya lo."
Sandiwara babak satu dimulai. Di detik yang sama Dio menimbang-nimbang apakah kemampuannya setara dengan Brad Pitt?
"Sebentar," ujat Nindya.
Nindya menoleh. Gerakan sepele itu saja sanggup membuatnya terpana. Silakan ejek Dio yang terlalu dangdut siang ini.
"Dahlia, ini punya lo?" Kali ini Nindya bertanya pada perempuan yang berjalan mendahuluinya.
"Bukan, itu mah kayaknya dompet cowok," kata Dahlia tanpa rasa curiga sama sekali.
Jimmy seharusnya tahu kalau ternyata Dio mahir bersandiwara tanpa perlu masuk UKM teater.
Nindya menyerahkan kembali dompet tersebut seraya berkata, "Kasih satpam aja."
Rasa aneh itu muncul lagi hanya karena tangannya bersentuhan dengan Nindya. Ada jeda hening yang ia gunakan untuk mengamati raut wajah gadis itu. Sedari kecil Dio menderita astigmatisme yang mengharuskannya mengenakan kacamata untuk bisa melihat lebih jelas. Ya, Nindya jelas punya sepasang mata yang menurutnya cantik.
"Hati-hati." Dio mengambil dompetnya lagi.
"Iya." Gadis itu mengulas senyum, lalu beranjak menggandeng tangan temannya yang bernama Dahlia.
Singkatnya momen itu sulit terlupakan, apalagi tiap Dio memandangi dompetnya seperti sekarang. Suara pengunjung warteg kembali memenuhi gendang telinga, lamunannya pun runtuh total.
"Apa gue bilang, mending lu bayarin dulu, Dan. Si Dio belakangan ini suka melamun tiap mau bayar apa-apa. Heran gue, ada apa sebenarnya dengan sang dompet?" tanya Jimmy sebelum menyuap potongan tongkol cabai hijau terakhir.
Daniel melirik Dio sekilas lantas mengeluarkan dompetnya. "Bukan apa-apa, Jim. Gue tadi jaga-jaga aja takut kena tipu muslihat lo." Ia menyabut selembar uang berwarna biru.
"Kampret lo!" seru Jimmy seraya mengangkat siku, siap-siap memiting Daniel.
Dio menahan tangan Daniel yang mengulurkan uang pada pelayan warteg. "Hari ini jatah gue yang bayar."
"Ya emang, Jono. Lo tadi ditagih duit melamun aja kayak kehilangan separuh nyawa, gue jadi sok dermawan 'kan." Daniel tersenyum lebar, lalu menepuk-nepuk sebelah bahu Dio cukup keras.
"Minggir."
Dio menepis tangan Daniel. Ia harus meninggalkan dua teman sontoloyonya sebelum terdengar ejekan-ejekan tentang mantan terindah lagi.
"Yo, masa ini ditinggal!"
Teriakan Jimmy membuatnya berbalik.
"Ini hati lo ketinggalan!" Jimmy menunjuk ati ampela di piring Daniel tanpa merasa berdosa.
"Wah bener, sakit jiwa lu! Temen lagi galau juga!" Daniel terbahak-bahak sampai matanya menghilang.
Dio menghela napas. Andai membunuh itu dilegalkan, ia ingin menusuk jantung dua kawan sontoloyonya sekarang.
***
GWW, 2018.
Selamat atas kelulusan Jimmy Prakoso, S.Si., Daniel Adhitama, S.Si, dan Dio Anggara Cokroatmojo, S.Si. Dari Trio Pujaan Hati Dedek (Jimmy, Daniel, dan Dio)
Dio memotret karangan bunga paling besar yang Jimmy pesan tanpa bisa menahan gelengan frustrasi. Di antara mereka bertiga, Jimmy punya selera humor paling bagus. Oleh karena itu, ide karangan bunga absurd tersebut lahir dari gagasan seorang Jimmy Prakoso. Sekarang kedua temannya sedang berfoto dengan gaya yang menurut Dio tidak begitu wajar.
Papa dan Mama secara sukarela hadir sejak pagi. Khusus hari ini Dio yakin akting mereka maksimal. Ia tentu menghargai itu. Kehadiran Herdian dan Deasy adalah segalanya. Sekitar satu bulan lalu ia menemukan fakta dari Silvi, ternyata dia adalah si Nomor Satu--tangan kanan Papa. Omong-omong sejak kecil Dio hanya mengenal dua dari tiga tangan kanan Papa. Fakta tersebut luar biasa mengejutkan.
Hidup Dio penuh kamuflase, termasuk hubungannya dan Oxafia Djenara Nindyar. Mereka sempat berniat melegalkannya seperti pasangan normal. Jikalau tugas mereka sebagai ketua BEM dan ketua asrama putri selesai. Ya, sangat disayangkan fakta dari ujung benang depresi Ditha membuat Dio batal melakukannya. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari masa lalu. Semua orang memilikinya. Hanya saja setiap masa lalu memang butuh waktu untuk sebuah penerimaan.
Dio berhenti membidik karangan bunga pesanan Jimmy. Nyatanya begitu, hari ini ia wisuda dan lebih banyak memotret objek lain daripada diri sendiri. Di antara lalu lalang orang-orang di halaman gedung, ia menemukan gadis itu lewat lensa kamera.
Sang pemilik nama yang enggan sirna dalam benak, sekaligus sumber rasa bernama candu.
Caca berjalan anggun dalam balutan dress batik dan rambut yang sengaja dibuat ikal gantung tergerai indah. Gadis itu berhenti mengecat rambut sejak menjabat sebagai ketua asrama putri. Caca membiarkan warnanya tetap hitam legam. Ada sebuket rangkaian cokelat dalam dekapan diiringi senyum yang masih sama seperti ribuan hari yang lalu.
Masih bikin gue mati rasa sama perempuan lain, gumam Dio dalam hati.
Dio menyingkirkan kamera, mengamati Caca dengan cara yang tidak pernah berubah. Lekat. Dari radius sekian meter. Caca memberikan bunga tersebut pada Gilang, teman satu angkatannya. Sedikit yang ia tahu, mereka sudah menjalin hubungan setahun belakangan ini. Tentu bukan masalah besar, ia dan gadis itu sudah berakhir dua tahun yang lalu.
Masalahnya hanya Dio yang terkadang malas melihat laki-laki lain menggenggam tangan Caca.
Setelah menjelaskan kronologi antara Ditha dan Fella. Keesokan harinya Dio menemukan sebuah kardus asing di ruang tamu. Begitu membukanya, ia berhasil menarik satu sudut bibir. Kardus itu berisi barang-barang yang pernah ia berikan pada Caca. Lengkap, tanpa ada satu pun yang tertinggal bahkan tiga tangkai mawar yang telah mengering. Dio tidak lagi memaksa menemui gadis itu setelah masalah tugas Akuntansi Biaya. Sekadar menyapa saat berpapasan di koridor kampus pun tidak.
Caca mulai menganggapnya sebagai orang paling asing dan Dio mengikuti arus. Gadis itu berhasil menjalani hidup dengan riang gembira, sedangkan ia kembali menggeluti hidupnya yang monokrom. Kuliah, membuat aplikasi, dan ikut mengontrol Atmojo Group. Setelah meraih gelar dan IP cumlaude hari ini, gadis itu tak pernah benar-benar luput dalam setiap irama detak jantung.
Ya, itu berlebihan, tapi pada faktanya memang begitu.
"Nih."
Dio menoleh dan menemukan Daniel tersenyum mengejek. "Apa?"
"Bungalah, masa petasan, Yo." Daniel mengangkat setangkai mawar itu. "Jangan salah paham, ini dari gue sama Jimmy."
"Yoi, gue sama Daniel 'kan sayang sama lu, Yo," sambung Jimmy.
Rangkulan Jimmy lebih mirip cekikikan, membuat siku Dio menekan perutnya. "Lepas, Jim. Gue geli lama-lama."
"Halah, enggak usah jaim, Yo. Gue tahu banget ini lo lagi butuh rangkulan," kata Jimmy lagi.
"Jangan dilepas sampai dia mau terima mawar dari kita, Jim!" tukas Daniel.
"Lo berdua jangan kayak orang sinting!" Dio memutar balik Jimmy, memitingnya.
"Lepaskan Jimmy dan terima saja mawar ini, Kisanak!" seru Daniel sembari memiting leher Dio dari belakang.
Biar bagaimanapun, mereka berdua belum pernah gagal membuat Dio berpikir bahwa arti kata teman sejati nyata adanya. Ya, meski dengan berbagai tingkah laku mereka yang tak luput dari kata sinting.
***
"Jadi lusa lo berangkat ke US?" tanya Daniel usai menyebutkan pesanan pada pelayan.
Mereka mengadakan janji di sebuah cafe atas ajakan Jimmy Prakoso. Hampir satu jam mereka berdua duduk di sini. Daniel bahkan memesan minum untuk yang ke tiga kalinya. Jika sepuluh menit lagi manusia sialan itu tidak kunjung menunjukkan batang hidung, mereka berencana mengirimkan Pizza Hut Delivery yang terkontaminasi arsenik ke rumah Jimmy.
"Iya, Bokap minta gue lanjut pendidikan di sana. Gue nurut bukan karena gue sudah jadi anak yang penurut, tapi—"
Daniel menyeringai sebelum berkata, "Iya gue paham. Terus dia udah tahu?"
Seseorang yang Daniel sebut dia tentu bukan Jimmy Prakoso. Tiba-tiba seringaian Daniel menularinya. "Bukan urusan gue lagi dan bukan urusan dia juga."
Daniel menautkan jemari di atas meja. Raut wajahnya berubah serius. "Jadi gimana soal obrolan kita di zaman brontosaurus tentang mantan terindah?"
Dio menatap gantungan tas yang pernah Caca berikan. Barang yang menemaninya meraih beberapa daftar pencapaian. "Lo benar tentang istilah mantan terindah, tapi gue tetap enggak akan menyebut dia dengan sebutan itu."
"Seenggaknya suatu hari nanti lo masih punya kesempatan buat ngajakin balikan. Susah kalau udah beda dimensi."
"Jir, ternyata lu berdua di sini!" seru Jimmy yang langsung mendudukkan diri di samping Dio.
Sebelah alis Daniel terangkat. "Cabut, Yo."
Daniel berencana mengunjungi Aksel di RSKO, itulah sebabnya dia sedikit terburu-buru. Dio beranjak mengikuti sahabatnya, meninggalkan gantungan tas berinisal C dengan sengaja di atas meja.
"Ya elah! Gini doang aja lu berdua ngambek!" seru Jimmy.
"Ngomong sama angin!" jawab Dio dan Daniel serempak.
"Yo, separuh jiwa lo tertinggal nih!" Jimmy mengangkat gantungan kunci berinisial C. "Lo pasti bakal kedinginan di US kalau enggak bawa ini! Woi, Yo! Kuping lo bermasalah juga selain jiwa nih?" sembur Jimmy lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top