22. Nothing Last Forever
Sesampainya di parkiran gedung pencakar langit dengan lambang Atmojo Group, Dio membanting pintu mobilnya. Langkahnya terkesan terburu-buru tanpa berniat membalas beberapa orang yang menyapa selama perjalanan. Persetan dengan tata krama yang dijunjung tinggi kakek buyutnya, ia sudah kelewat ingin merobohkan gedung ini begitu menginjakkan kaki.
Nyawa kedua atau video seks mantan ketua OSIS SMA Puspanegara? Pilihan pertama jelas hanya pengecoh. Tidak ada pilihan di sana, Aksel membuat dua pilihan itu untuk membuat Ditha berpikir bahwa pilihan kedua adalah yang terbaik. Pada dasarnya, opsi kedua memang menjadi perangkap yang memakan dua umpan sekaligus. Begitulah cara logikanya membaca jebakan terselubung dari cerita Ariel selama di cafe.
Hal yang masih menjadi pertanyaan besar adalah apa hubungan Rendra atau Aksel dengan mantan ketua OSIS SMA Puspanegara? Soal masalah Ditha tidak perlu dipertanyakan, Rendra sudah pasti punya niatan untuk membuat Ditha terjerat hukum. Karena di mata polisi Dithalah yang menjadi dalang utama atas korban bernama Fella, jika kasus ini berhasil masuk ke meja hijau. Sepupunya yang satu itu memang sedekat nadi dengan setan, anak dari Haris Cokroatmojo. Kakak tunggal Herdian Cokroatmojo.
"Bapak ada di dalam?" tanya Dio kepada seorang wanita yang notabenenya sekretaris sang ayah.
Wanita tersebut memandangnya gamang. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Namun, lewat raut wajah yang mewarisi separuh Deasy dan dominan Herdian sudah menjadi tanda pengenal yang kuat. Mana ada yang berani masuk secara serampangan selain dirinya?
"Masuk saja, Mas."
Dio menyentak pintu ruangan tersebut tanpa berniat mengulas senyum dan sapa. Sekali lagi, persetan dengan tata krama.
"Tumben kamu ke sini," ujar papanya dengan wajah datar. Pria itu menutup berkas yang sedang ditekuni, kemudian menyerahkannya pada seseorang yang Dio kenal sebagai Si Nomor Dua-tangan kanan Herdian.
"Papa menutupi masalah Ditha dari saya dan Mama!" seru Dio usai menutup pintu secara kasar.
"Papa hanya menutupi lubang yang bocor, Nak. Jangan mengorek masalah yang sudah terkubur rapat-rapat, percuma, buang-buang waktu. Ingat, hari Selasa minggu depan. Rendra akan jadi kandidat terkuat dalam silsilah keluarga tanpa kehadiran kamu."
Dio menggebrak meja kerja papanya. "Perang saudara ini harusnya berhenti di Papa dan Om Haris!" Ia menatap tajam pria yang pernah menjadi panutannya, yang pernah ia anggap sebagai pahlawan. "Kenapa saya dan Rendra harus melanjutkannya?"
Papa berdiri berkacak pinggang, kemudian mengembuskan napas keras. "Perceraian saya dengan Mamamu terjadi karena rekayasa keparatnya! Pertama, mamamu. Kedua, Ditha. Kamu masih mau mempertahankan ego? Ini bukan lagi tentang Papa yang memaksamu supaya menjadi nomor satu di manapun." Papa menunjuk pelipisnya sendiri. "Sekarang, gunakan otakmu, telaah mana skala prioritas yang sesungguhnya."
***
Caca memoleskan liptint di bibir sembari mengingat pertemuan tadi siang dengan salah satu Kakak tingkat yang tidak pernah ia duga akan ada di makam Fella. Ada yang mengganjal dari penuturan Daniel meski masuk akal, entah terletak di mana. Ketika matanya terpejam, sebuah reka adegan mengerikan terputar ulang. Ia menemukan Fella gantung diri dengan tali tambang yang diikat pada ventilasi kamar mandi dalam kamarnya. Tangan Caca seketika bergetar hebat, keringat dingin meluncur deras.
Caca tak pernah menyukai film bergenre horor atau misteri. Film itu tujuannya menghibur dan dua genre tadi sama sekali tak menghibur. Sayang sekali, ia justru punya pengalaman melihat orang yang mati gantung diri dengan mata telanjang. Bukan drama atau rekayasa, kematian Fella nyata. Kepada siapa Caca harus bertanya alasan sang kakak melakukan itu? Sungguh, ia sangat ingin tahu.
"Cie dandan, mau ketemu siapa sih?"
Pemilik suara itu memaksa kelopak matanya terbuka. Bayangan mengerikan tadi pun lenyap. Pantulan cermin menampilkan sosok laki-laki yang ia tunggu. Dio Anggara dengan lengan kemeja digulung separuh, serta kacamata yang membingkai wajah tegasnya tidak pernah membuat Caca jemu. Selalu ada kejutan dibalik lautan hitam pekat yang kerap menatapnya lembut itu.
"Kalau datang tuh ucap salam. Hai, selamat malam princess ..., hari ini mau naik kuda putih atau Mercedez Benz?" sahutnya seraya menyisir rambut dengan jari, sementara Dio bersandar pada pintu kamar.
Rutinitas yang tidak bisa mereka lakukan di area kampus membuat intensitas pertemuan mereka lebih banyak di hari libur. Terutama sisa-sisa libur semester yang hanya tinggal menghitung jari.
"Jadi, mau naik awan kinton atau karpet Aladin nih?"
"Awan kinton aja deh, kecepatannya lebih dari cahaya 'kan?"
Tawa mereka mengudara. Caca bisa memastikan Dio versi semacam itu hanya ada ketika mereka sedang berdua.
"Lama banget kamu. Aku ngobrol sama Ayah dari haus sampai kembung. Kamunya enggak turun-turun."
Caca tertawa kecil. Setelah menyambar tas tangan, ia menghampiri Dio. "Kenapa enggak ngabarin kalau udah di bawah?"
"Udah lama ngeles lagi."
Raut wajah Dio berubah sedikit kesal. Namun, detik berikutnya ia mengecup singkat pelipis gadisnya. Setidaknya itu cara bagi Dio untuk menyingkirkan penat dalam benak setelah bertemu Papa. Ia tidak memberikan jeda waktu yang lama ketika berhasil mendapatkan banyak informasi. Total dalam sehari ini sudah tiga tempat yang ia datangi. Ariel, salah satu kantor pusat Atmojo Group, dan rumah Caca. Gadis itu menjadi tujuannya di tengah carut marut benang kusut yang bergumul. Sebab Caca adalah tempat pulang, rumah kedua.
"Pengin makan martabak telur nih." Caca berujar kala mereka memasuki mobil. "Eh, tumben Kak Dio bawa mobil."
"Iya, pingin bawa aja. Mau Martabak Borneo atau Martabak Aa Manggarai?" Dio mulai menyalakan mesin. Belum lima menit mobil yang ia kendarai mulai meninggalkan halaman rumah Caca.
"Martabak Aa Manggarai aja gimana? Dibungkus terus makan di balkon rumah."
"Terus ngapain kita ke luar kalau makan di rumah?"
Caca menggumam panjang. "Jalan-jalan, macet-macetan, buang-buang waktu." Pandangan mereka mengait sesaat, lalu senyum gadis itu melebar.
"Sebenarnya, buang—"
"Waktu tanpa ada manfaatnya itu bukan prinsip aku, tapi karena kamu yang minta ya udah," sela Caca.
Dio tertawa kecil. "Alasannya kamu ubah."
Caca memutar bola mata seraya menempelkan siku ke kaca. Ia bertopang dagu, memasang raut wajah bosan. "Kalau aku telaah dan jabarkan, maksudnya Kak Dio tuh memang ke sana. Cuma aku deskripsikan sesederhana itu, akui aja sih ...."
"You're win."
"Gitu dong. Sekali-kali tuh menangin aku dari sanggahan Kakak."
Dua alis Dio terangkat. "Jadi selama ini aku belum memenangkan kamu?"
Caca menahan senyum, percakapan mereka sering kali penuh kode absurd semacam ini. "Nah ini, aku udah cukup mahir jadi penerjemah maksud Kak Dio."
"Ya, terus?"
"Nabrak," jawabnya asal. Salah satu kegemaran Caca adalah menguji fungsi otak kanan dan kiri pacarnya.
***
"Kak Dio, percaya enggak sama kata selamanya?" tanya Caca.
Piring lebar yang berisi potongan-potongan martabak telah kosong. Gelas panjang berisi jus jeruk pun tandas. Terlihat jajaran atap-atap rumah, gedung pencakar langit, dan lampu jalanan yang membentuk bulatan-bulatan kecil. Tidak ada yang spesial, kecuali waktu yang mereka punya. Seharusnya pemandangan itu biasa-biasa saja, karena sekian puluh persen alasannya adalah Oxafia Djenara Nindyar. Balkon ini posisinya dibuat menyatu antara kamar Caca dan mendiang sang Kakak. Lumayan luas dengan lantai marmer putih, serta dihias barisan pot-pot tanaman kaktus di pembatasnya.
"Enggak."
"Berarti Kak Dio enggak punya kata selamanya untuk kita?"
Dio mengamati sejenak wajah Caca yang mirip boneka. "Kenapa kamu tanya itu?"
Caca mengangkat bahunya. "I love you, that simple words to describe how much I really wanna close to you." Ia menghirup napas dalam-dalam, pandangannya mengarah pada langit yang membentang. "How many times that I wanna spend with you."
Lautan hitam pekat dalam bola mata Oxafia Djenara Nindyar bertumbuk dengan miliknya. Sepasang mata itu menjadi salah satu favorit Dio dari sekian banyak daya tarik yang gadis itu punya. Senyap mengisi waktu yang bergulir, menemani embusan angin. Ia ingin menceritakan tentang Ariel dan Fella, tetapi detik ini rasanya kurang cocok. Gadis itu menanyakan apa tadi?
Selamanya, benak Dio mengulang kata sakral itu.
Omong-omong, ia bahkan belum lulus kuliah dan punya penghasilan tetap. Apakah ia sudah pantas menjanjikan kata selamanya? Ketidakbecusannya mencari benang merah depresi Ditha saja termasuk daftar fakta yang memalukan. Dio belum juga mendapat video si mantan ketua OSIS SMA Puspanegara. Belum lagi latar belakang keluarganya.
"I can't promise that things won't be broken, Ca," ucap Dio pada akhirnya.
Gadis itu menjatuhkan tatapannya pada lantai ketika kalimat tersebut menyusup perlahan ke relung hati. Pada dasarnya ia tidak begitu menyukai kata selamanya atau abadi, terkesan seperti sebuah bualan belaka. Akan tetapi, entah kenapa ia ingin mendengar Dio mengucapkan kata sakral itu. Sesuai fakta, tidak ada yang abadi di dunia ini. Kehidupan selalu berotasi, bergerak, berubah.
Caca yang bungkam membuat Dio khawatir. Ia menarik dagu gadis itu pelan supaya mereka kembali menatap satu sama lain. "But I will never leave. I will never leave," bisiknya keras.
Dua sudut bibir tipis Caca tertarik diiringi anggukan ringan. Setelah itu tidak ada percakapan lagi yang mengalir. Karena Dio membuat bibir mereka bersentuhan. Sekarang kepalanya terasa ringan, segala masalah yang sempat bersemayam seolah terempas untuk sejenak. Di lain sisi Caca tahu, rasa yang mereka miliki memang sebanding. Ciuman yang menimbulkan tegangan sekian ribu volt itu selalu menghanyutkan. Hingga suara yang berasal dari kaca jendela menghentikan semuanya.
"Kayak ada yang lempar batu, Kak." Caca memperhatikan jendela kamar mendiang sang Kakak. "Aku cek dulu ya."
Caca menggeser jendela kamar lalu menyibak tirai, sementara Dio mengekori. Mereka melintasi kamar dengan nuansa white-purple, jangan lupakan poster Justin Bieber selebar satu meter yang masih menghiasi kamar Caca. Dio menggeleng pelan ketika pertama kali menemukan poster tersebut. Perempuan dan obsesi mereka terhadap sang idola, mengerikannya setara kecelakaan beruntun. Tak lama, mereka berjalan menghampiri kamar sebelah.
Begitu pintu terbuka lebar, gadis itu menggerutu, "Kebiasaan deh ... Bibi lupa nyalain lampu kamar mandinya. Udah tahu lampu ini enggak boleh mati."
Dahi Dio berkerut. "Kenapa Rosario digantung di depan pintu kamar mandi, Ca?"
Sesuatu yang sangat tidak wajar menurutnya. Benda-benda semacam itu harusnya ada di ruang ibadah atau di rak gantung samping tempat tidur.
"Enggak ada alasan khusus sih, Kak." Gadis itu tersenyum dengan pandangan kosong.
"Dulu Kak Felisha sakit parah?"
Dio tahu nama itu sesusah membaca papan yang tergantung di depan meja belajar. Mereka jarang membahas tentang Felisha, Caca pun lebih sering menyebut Kakak bukan nama bila bercerita tentang keluarganya. Dio pun tidak bercerita panjang lebar tentang Ditha atau pencariannya kemarin-kemarin.
"Bukan, Kak Fella kecelakaan, sempat dirawat beberapa hari terus enggak terselamatkan," jawab Caca diiringi sorot mata dan senyum yang ganjil.
Fella? Tunggu ... ada berapa banyak perempuan bernama Fella di dunia ini? Hurufnya mungkin berbeda dengan yang ditulis Ditha dalam diary.
"Kak Fella ...." Lidah Dio terasa kaku saat mengucapkan nama itu. Kenapa ... jantungnya menggila? "Pernah jadi ketua OSIS?"
Caca tertawa kecil. "Pernah. Kak Fella itu panutan aku, dia punya bakat di banyak hal. Dulu kami sekolah di SMA Puspanegara."
"Angkatan ke enam belas?" Dio menahan napas saat menanyakan itu. Ia berharap Caca menjawab angka lain. Terserah ke berapa pun.
Dua alis Caca terangkat. "Bener banget! Kakak pernah ikut organisasi sekolah terus ketemu Kak Fella ya?"
Dio menggeleng cepat, memaksakan sebuah senyum yang entah sekarang terlihat seperti senyum atau bukan. Sesuatu menohok ulu hatinya telak. Ia kembali menatap pintu kamar mandi yang ditempel secarik ayat dan Rosario menggantung. Sekian detik, ia mengarahkan pandangannya pada ventilasi. Kalau menurut analisa, di sanalah tali penyambut kematian diikat.
"Oh ..., Kak Fella meninggal bukan ..., karena gantung diri?"
Mata gadis itu membulat sempurna, tetapi secepat kilat berubah. Caca bahkan berani menyuguhkan tawa kecil. Namun, kegetiran yang tersembunyi tetap terbaca jelas. "Memangnya cerita horor, Kak? Udah yuk keluar."
Logikanya langsung menyimpulkan banyak hal. Menyatukan potongan-potongan secuil fakta menjadi sebuah rantai. Ada milyaran orang di dunia ini, kenapa nama Fella dan fakta itu harus dimiliki mendiang kakak perempuan Caca? Bagaimana ia harus bersikap besok? Berpura-pura tidak tahu dan melupakan niat untuk memohon maaf kepada keluarga Fella? Bagaimana dengan perasaan Caca? Hubungan mereka? Kenapa sekarang penyesalan seolah tengah menusuk-nusuk kepalanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top