15. Jam Malam

Beberapa mahasiswa yang lewat di samping bahu mereka hanya menggelengkan kepala atau mengabaikan. Pemandangan semacam ini biasa terjadi di beberapa jam malam, tiap kali BEM mengadakan rapat besar atau esok paginya. Gadis yang mengenakan kemeja kotak merah muda itu masih setia bersandar pada dinding. Dia bersedekap dan sedikit memiringkan kepala. Sikapnya seolah-olah meremehkan ban kapten di lengan kiri Dio.

"Harusnya bisa dong rapat diadakan lebih awal atau diadakan dua kali tatap muka, supaya Junior yang masih di asrama enggak pulang lewat dari jam malam," kata Caca dengan lantang.

"Waktunya sudah dibuat se-efisien mungkin. Rapat enggak akan bubar sebelum ada keputusan bersama. Semua orang tahu itu," sahut Dio dengan nada tenangnya.

"E-Fi-Si-En." Caca mengangguk lamat-lamat saat melirik jam di pergelangan tangan. "Oke, saya mengerti. Sepuluh menit lagi bisa tolong bubarkan mahasiswi asrama lebih awal?"

"Keputusan mereka bergabung bersama BEM memang memiliki resiko dan tanggungjawab tersendiri. Silakan ajukan surat pengunduran diri melalui wakil saya kalau memang tidak sanggup memenuhi tanggung jawab."

Caca menyipitkan mata, dua sudut bibirnya tertarik sempurna. "Tunggu, mengundurkan diri? Kedengaran enggak adil sih. Bagaimana kalau Anda wujudkan saja permohonan saya tadi? Saya sedang menjalankan tugas sebaik mungkin."

"Dunia ini memang diwarnai rasa tidak adil dari orang-orang yang banyak mengeluh. Saya tahu itu, kita sama-sama sedang menjalankan tugas dengan baik." Dio tersenyum tipis tanpa beralih dari gadis itu.

"Sebagai pemimpin yang baik, menaati peraturan adalah bagian dari manajemen. Dunia ini tidak berjalan bersama orang-orang yang melanggar peraturan."

Dio menarik napas sebelum mengangguk lamat-lamat. "Iya, Anda benar. Maka dari itu saya tidak memberikan perbedaan, baik untuk anggota yang tinggal di asrama maupun tidak."

Caca memutar bola matanya, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mencebikkan bibir. "Kak Dio sibuk terus. Aku kangen ditelepon sebelum tidur," gerutunya lirih.

Akting presiden mahasiswa dan ketua asrama putri yang sering adu mulut ditunda sementara. Sekarang mereka adalah Dio dan Caca yang menjalin hubungan sejak dua bulan lalu. Koridor di depan laboraturium departemen kimia jarang dilewati mahasiswa, apalagi ketika sudah malam begini. Bagi penghuni kampus, mereka mungkin lebih terlihat seperti minyak dan air yang sulit menyatu.

"Nanti aku telepon, janji," sahut Dio sebelum tersenyum tipis.

"Pasti aku udah ketiduran kalau nanti."

Caca menarik napas panjang seraya mengikis jarak mereka. Ia merapikan kerah kemeja dan memperbaiki posisi papan nama Dio yang agak miring. Selain benar-benar ingin protes saat menghampiri laki-laki itu, terselip juga keinginan bicara empat mata sekian menit. Sebab sepasang mata hitam pekat itu selalu membawa rasa nyaman. Caca tahu, ia tidak bisa menuntut lebih. Kalaupun bisa, laki-laki itu pasti menganggapnya pengganggu. Lagi pula, jabatan yang Dio emban jauh lebih berat sekian puluh persen, meski notabenenya mereka sama-sama pemimpin.

Setelah ini pasti Dio mengabulkan apa yang Caca minta. Gadis itu menghela napas sebelum menutupi langkah lunglainya. Masih banyak yang harus mereka urus selain organisasi. Ada tugas, kuis, dan istirahat cukup untuk memulai hari esok. Sesuai kesepakatan bersama, merangkai masa depan adalah prioritas.

Dio menarik lengan Caca yang hendak pergi. "Senyum dong."

Kelihatan memaksa, tapi Dio butuh itu sebelum kembali ke ruang rapat BEM. Kini mereka berhadapan, sengaja membiarkan waktu terlewat begitu saja. Di antara remangnya lampu koridor dan suara jangkrik, dua sudut bibir Caca tertarik perlahan.

"Semangat ya." Gadis itu berjinjit, menepuk pelan sebelah pipinya.

"Makasih, kamu hati-hati."

Caca mengangguk lalu menjauhi laki-laki yang detik ini sebenarnya ingin ia peluk. Belum tiga langkah, ia berbalik karena Dio memanggilnya.

"Love you, Ca."

Demi segala kebodohan yang pernah Dio lakukan, kalimat itu bukan sekadar bualan semata. Persetan dengan umur mereka yang masih dini untuk mengartikan kata itu. Dio pernah merasakan cinta seorang ibu yang tidak ingin anaknya jatuh sakit meski singkat. Maka ia pun mengartikannya sesederhana itu.

Senyum Caca mengembang lagi dengan mudah. "Love you more."

Sembari melangkah mundur gadis itu membuat gagang telepon dengan jari, menempelkannya ke telinga. Dio berani mengakui kalau ada yang dapat mengembalikan kebugaran selain minuman isotonik, vitamin, dan tidur. Oxafia Djenara Nindyar, doping terbaiknya.

***

"Gimana?" bisik Daniel sesudah Dio menduduki kursi rapat.

Suara riuh dalam ruangan seketika menghilang. Beberapa mahasiswa yang sempat berdebat di meja paling ujung kembali menghadap ke depan. Mayoritas anggota adalah mahasiswa tingkat dua dan tiga. Itulah kenaparapat lebih banyak diadakan malam hari.

"Suruh pulang sekarang aja."

Daniel menjentikkan jarinya di atas meja. "Tuh 'kan, gue bilang juga apa, mending jam delapan tadi yang cewek suruh pulang aja duluan."

"Mereka juga anggota. Enggak harus ada perbedaan jauh." Dio melepas kacamatanya, sejenak memijat batang hidung.

"Ribet cekcok sama ketua asramanya, Yo," keluh Daniel.

"Dia juga punya tugas makannya kayak gitu."

"Gue baru tahu tuh, dia kalau lagi adu argumen sama lo, kita yang manajemen BEM sampai nahan urat leher."

Dio malah tersenyum miring sebelum berujar, "Udah enggak usah dibahas."

Pada akhirnya Daniel pun menghela napas sebelum menutup mulut rapat-rapat. Seperti yang Dio katakan tadi, Caca juga memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap ketertiban penghuni asrama putri. Gadis itu juga pasti memahami betul tugas dan tanggung jawabnya sebagai ketua BEM. Kabinet Supernova di bawah kepemimpinannya dan Daniel harus membawa perubahan yang lebih baik lagi, entah melalui program baru atau hasil adopsi dari kabinet sebelumnya.

Dio mengedarkan pandangan, lalu berdeham. "Bagi mahasiswi yang tinggal di asrama silakan pulang lebih dulu, yang lain tetap di sini sebelum ada keputusan final."

Beberapa perempuan yang notabenenya adalah mahasiswi asrama pun keluar ruangan setelah berpamitan. Rapat berlanjut hingga dua puluh menit kemudian, diakhiri kesepakatan penentuan lokasi program Urban Farming.

"Yo, gue jangan dipindah ke divisi humas kek. Malas banget," keluh Jimmy saat mereka berjalan bersama melewati koridor.

"Kan kemarin udah ketuk palu, Jim."

"Tapi 'kan elo Presma. Ketua dari segala ketua mahasiswa di kampus, Yo."

"Ajukan pengunduran diri aja ke Daniel nanti gue ACC."

"Ancaman basi banget, lo enggak beda jauh sama si Ginanjar." Jimmy menyebut nama ketua BEM kabinet Nitrogen yang terkenal dengan ancaman silakan angkat kaki.

"Itu saran, Jim." Pandangan Dio teralih pada layar ponsel dalam genggaman.

Nindya :
Kalau udah pulang jangan lupa makan ya.. kamu blm makan sore. Good night :)

Dio segera membalas, ia sudah melewatkan banyak pesan dari gadis itu sejak siang.

Mau otw pulang.

Alih-alih menuju parkiran, Dio duduk di salah satu kursi panjang milik gedung FEM. Ia mengabaikan Jimmy yang mengangkat sebelah alis.

"Lo enggak langsung pulang?"

"Duluan aja," sahut Dio seraya memasukkan ponsel ke saku kemeja, lalu menenggak sebotol mineral.

Setelah Jimmy pergi, ia merogoh saku kemeja, mengeluarkan ponsel. Bukan ingin merahasiakan hal sesepele ini, hanya saja menurutnya ini lebih baik. Lagi pula mengenalkan gebetan atau pacar bukan tradisi adat 'kan? Tanpa menunggu balasan pesan tadi, Dio men-dial nomor itu. Baru dering pertama panggilannya sudah tersambung.

"Kamu belum tidur?"

"Mau jawaban yang jujur atau masuk akal?"

Dio tertawa, sedangkan bulan nampak menyembul malu-malu. "Dua-duanya lah."

"Kebetulan lagi nunggu kamu." Begitu kata suara manis yang kerap memenuhi gendang telinganya. "Kok nggak di kos aja teleponnya?"

"Kelamaan."

"Cie ... kangen ya?"

"Kamu kali."

"Susah banget sih mengakui. Eh, kamu belum makan dari sore, enggak beli makan dulu aja?"

"Nih aku lagi makan." Dio melirik arloji, gadis itu pasti sedang menggantung kaki di dinding. Satu kebiasaan yang pernah gadis itu ceritakan.

"Makan apa?"

"Makan perhatian kamu udah kenyang."

Tawa yang mirip denting piano itu menyapa indra pendengarannya. "Belajar dari Mamang-mamang ya?"

"Bukan, sama Daniel."

"Ih, pantesan!"

Dio mengambil sebuah agenda dari tas, membukanya. Terdapat sederet alamat yang sebenarnya sudah ia hafal baik-baik. Ini juga alasan kenapa ia tidak menelepon gadis itu sesampainya di indekos.

"Aku udah tahu alamat baru Mama. Kamu mau nemenin ke sana enggak?"

"Kayaknya itu enggak perlu ditanya deh. Memang di mana, Kak?"

"Keluarga barunya tinggal di Bali." Entah kenapa lidahnya terasa kelu menyebut kata keluarga baru. "Libur semester ini rencananya mau ke sana."

"Bantu aku izin ke Ayah, ya?"

"Iya, hari Minggu aku mau ke rumah." Dio melirik arloji di pergelangan tangan. "Kamu tidur sana."

"Kamu mau pulang ya? Hati-hati di jalan kalau gitu ... good night, Sayang."

"Cie ... panggil sayang." Terdengar lagi tawa manis di ujung telepon. "Good night too."

Dio merenung sejenak usai memasukkan ponsel ke saku kemeja. Biar bagaimanapun, ibunya harus tahu tentang Ditha. Entah wanita itu masih ingin menganggapnya atau tidak, itu bukan masalah. Dio sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ada istilah tentang darah lebih kental dari air. Hubungan yang tak terbantahkan dan tak dapat diputus dengan cara apa pun. Baik ia maupun Ditha adalah darah daging dari wanita itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top