11. Lobster Sarindu

Mentari beranjak ke peraduan. Jingga nampak begitu mengagumkan. Caca tersenyum pada langit yang belum tentu membalas. Taksi yang ditumpangi terjebak macet, tapi perjalanannya cukup menyenangkan. Supir memutar salah satu saluran radio yang menghibur. Bermodalkan nekad dan alamat dari kakak tingkat, ia pergi sendiri mencari rumah Dio tanpa mengajak teman-teman sekamar.

Taksinya berhenti di depan sebuah gerbang menjulang tinggi. Alih-alih turun bergegas masuk, Caca memperhatikan sejenak rumah megah bernuansa klasik. Tiang-tiang bulat dan patung rajawali menjadi pemandangan terasnya. Terdapat air mancur di tengah-tengah serta lanskap labirin mini pada sisi kanan-kiri halaman.

Caca membuka pintu mobil dan bertanya, "Pak benar ini alamatnya ya?"

"Benar, Mbak." Sang supir menunjuk papan alamat yang terpajang di ujung pintu gerbang.

Usai melirik argo taksi yang lumayan menguras uang saku. Caca mengulurkan lembaran lima puluh ribu, lalu membuka pintu mobil. "Terima kasih ya, Pak."

Caca mengembuskan napas pelan, jarinya menyisir rambut. Ia tahu Dio pasti berasal dari kalangan orang berada, menilik merk dan spesifikasi laptop yang laki-laki itu punya. Hanya saja Caca tak menduga kalau Dio Anggara benar-benar kalangan anak konglomerat. Ia berjinjit supaya bisa menekan bel. Tak lama seorang satpam muncul dari pintu gerbang kecil.

"Permisi, Pak. Ini benar rumah Kak Dio Anggara?"

"Iya betul." Satpam tersebut memperhatikannya detail dari ujung kaki sampai kepala.

Merasa dicurigai berlebihan, Caca menunjukkan kartu mahasiswa dari dompet. "Saya temannya Kak Dio."

"Sebentar ya, Mbak."

Satpam tersebut kembali masuk. Sesudah menunggu sekian menit, pagar yang menjulang tinggi terbuka lebar secara otomatis. Ia menahan mulutnya tetap rapat meski kagum. Gadis itu pikir satpam membukakan gerbang untuknya, ternyata mobil sang tuan rumah hendak meninggalkan istana.

"Mbak sebaiknya kembali besok saja. Sudah malam, Mas Dio butuh istirahat," ucap satpam ketika mobil tadi menjauhi gerbang.

Caca paham itu merupakan pengusiran secara halus. Biar bagaimanapun, ia memaksa senyumnya terulas, meski kekecewaan sulit meluntur dari wajah. Ia meremas tali tas demi mengurangi kesal bercampur lelah.

"Makasih ya, Pak." Bibirnya sedikit bergetar saat mengucapkan itu.

Ingin mencoba menelepon Dio, tetapi getir memenuhi benak dan Caca batal melakukannya. Ia berniat datang demi mengucapkan belasungkawa serta dukungan moril. Namun, nampaknya niat baik Caca belum bisa terwujud. Gadis itu pasti dianggap orang yang tidak memiliki koneksi dengan penghuni rumah.

Sambil mengutak-atik ponsel, Caca berbalik. Setidaknya ia harus menunggu taksi online di tempat yang aman. Mentari lenyap, menyisakan hamparan langit biru malam. Semoga saja pesanan taksinya segera tiba, ia ingin pulang ke rumah. Asrama kampus terlalu jauh dari sini.

"Kamu cari siapa, Cantik?"

Fokusnya beralih. Caca memindai wanita yang tersenyum ramah di hadapannya sejenak. Ia melirik cepat mobil yang berhenti sekitar dua meter dari mereka. Mobil itu merupakan mobil yang baru saja keluar melewatinya.

"Kamu cari siapa, Cantik?"

Caca membalas senyum yang tak kalah ramah. "Saya teman Kak Dio Anggara, Tante." Ia menoleh ke arah gerbang yang tertutup rapat. "Tapi Kak Dio mungkin butuh istirahat, jadi saya mau pulang."

Wanita bersanggul rapi dan dress floral melekat di tubuh tersebut mengusap sebelah bahunya. "Yuk, masuk. Satpam di rumah memang diamanatkan menjaga keamanan. Maaf ya, kalau sikapnya kurang berkenan."

Caca mengangguk. Usahanya tidak sia-sia. Wanita yang tengah merangkulnya sekarang pasti salah satu penghuni rumah. Entah itu Tante atau kakak perempuan Dio. "Iya, saya paham, Tante." Semoga saja panggilannya cocok.

"Siapa nama kamu, Cantik?"

"Caca, Tante."

Mobil tadi bergerak mundur. Supir membukakan pintu tepat di langkah ketiga mereka. Hal itu membuktikan uang memang mampu mengubah segalanya seringan kapas. Wanita yang Caca panggil Tante memintanya memasuki mobil terlebih dahulu. Mereka duduk bersampingan.

"Caca? Lucu sih nama kamu kayak camilan kesukaan Sabrina."

Di mana saja, Caca selalu mudah akrab dengan siapa pun. "Hehe ... itu nama panggilan sih Tante. Soalnya lidah orang-orang suka keseleo kalau panggil nama asli aku."

Tawa kecil wanita itu mengudara. "Sesusah apa memang nama asli kamu?"

"Oxafia Djenara Nindyar, Tante. Tadinya kakakku suka panggil Oca, tapi jadi keterusan sampai Caca."

Begitu mobil melewati labirin mini yang sempat Caca pandangi. Ia mulai menimbang-menimbang jika wanita ramah itu adalah ibu dari Dio Anggara. Jarak dari gerbang sampai ke teras rumah dikikis lewat obrolan yang mengalir.

"Oh, kirain namanya Cantik jadi dipanggil Caca. Kamu dari rumah, Nak?"

"Enggak, Tan. Aku dari kampus."

"Jauh banget dong. Makasih ya, udah datang."

Silviana mengusap bahu Caca pelan sembari tersenyum. Ia tidak mencurigai sama sekali gadis yang sempat berdiri di depan gerbang. Begitu memutuskan turun dari mobil dan menghampiri, Silviana yakin kalau gadis itu benar teman putranya.

"Caca, udah makan malam?"

"Belum, Tante." Gadis itu menjawab malu-malu. Jemarinya bergerak menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Oh iya, Kak Dio ... baik-baik aja kan, Tante?"

Seraya menarik kedua sudut bibir, Silvi memikirkan sesuatu yang bisa gadis polos tersebut lakukan. Firasatnya sekarang berkata jika Caca bukanlah bagian dari teman-teman organisasi yang tadi bertandang. Gadis itu menyandang status spesial. Sorot mata Caca seolah menyelipkan rasa percaya. Gadis itu pasti bisa merekatkan hubungannya dan sang putra.

***

"Ca, Tante boleh minta tolong?"

Wanita itu bertanya, sedangkan pelangi menghiasi bibir. Meja makan super besar di hadapan mereka menyuguhkan berbagai macam lauk seafood. Ada beberapa menu yang ia sukai dan langsung menimbulkan efek keroncongan. Sejujurnya ia ingin langsung menemui Dio, tetapi wanita itu terlebih dulu menggiringnya kemari. Tentu sebagai tamu yang baik, Caca wajib menjaga sikap santunnya. Untuk ukuran ruang makan, satu kata mewah sudah cukup menggambarkan keadaan di sini. Caca sempat menjelajahi sekitar lewat lirikan diam-diam, lalu ia mengembalikan perhatian pada wanita yang tengah menata lauk di piring.

"Minta tolong apa, Tante?"

"Dio di depan kolam renang, kamu bisa lewat pintu sana." Wanita itu menunjuk sebuah pintu di belakang punggung Caca. "Ajak Dio makan ya? Dia belum makan lagi dari siang, Tante khawatir."

Senyum Caca merekah. Permintaan semacam itu mustahil ia tolak.

"Tante siapkan dulu ya."

"Aku bantu ya, Tante." Caca lantas membantu Silvi meletakkan beberapa makanan pada dua piring.

"Dio suka banget seafood, makanya setiap pulang Tante buatkan." Senyum kecil lagi-lagi tersemat dari wanita yang sangat anggun itu. "Anaknya susah diajak ngobrol panjang dari dulu. Tante tahu mungkin dia masih menyesuaikan diri."

Keterkejutan Caca membuncah saat Tante Silvi menyentuh lengannya. Sendu menggelayuti bola mata wanita berumur sekitar tiga puluh lima tahun itu.

"Dio yang paling terpuruk atas kepergian Ditha. Tante selalu sulit mendekati mereka. Dio yang jarang di rumah dan Ditha yang jarang ke luar kamar. Intensitas kita bertemu tetap sebanding, apalagi intensitas mengobrol. Kamu ... bisa mengingatkan Dio kan? Dia masih punya orang-orang yang benar-benar peduli."

Caca belum tahu pasti masalah apa yang ada dibalik arti kalimat-kalimat Tante Silvi. Namun, ia tetap mengangguk, menyalurkan keyakinan penuh lewat genggaman.

"Beruntung banget Kak Dio punya Mama yang pengertian seperti Tante."

"Saya ibu sambungnya."

Gerakan Caca menata piring di atas nampan tiba-tiba terhenti. Ibu sambung? Ternyata wujud ibu tiri kejam memang hanya ada di sinetron saja. Tante Silvi justru lolos kriteria sebuah umpama kalau kasih ibu sepanjang masa. Sempat bingung ingin melanjutkan pembicaraan, ia memilih pamit menemui Dio. Rasanya Caca tidak cukup pantas menyinggung hal sensitif itu.

***

"Selamat malam, Tuan. Menu malam ini kami menyediakan lobster sarindu, diguyur saus rindu. Dan udang bakar anisau, anti risau. Dibakar dengan arang yang dapat menghalau risau."

Dio mengangkat sebelah alis, merasa sangat familier dengan suara itu. Saat menoleh ia mendapati gadis yang ujung rambutnya dicat warna pink. Lengkungan pelangi menghiasi bibir Caca. Gadis itu memamerkan nampan di tangan. Sepinya lagi-lagi terusik. Namun, sulit ditepis, Dio menyukai pengusik yang satu ini.

"Caca?"

Telunjuk Caca bergoyang ke kanan dan kiri. "Bukan, panggil saya chef Oxafia Djedar membahana." Gadis itu meletakkan dua piring di samping laptop Dio lalu duduk menekuk kaki. "Kok diam aja sih?"

"Ya terus?"

Sempat membuang napas dramatis, Caca menggerakkan kedua tangan di udara. Kemudian kepalanya mengikuti gerakan tangan. "Senyum, ketawa atau apa gitu. Ekspresi-ekspresi yang wajar tampil kalau terkejut karena suprise!"

Meski terdengar sangat memaksa, Dio tertawa kecil. "Malas."

"Nah gitu dong ... kan manis, ganteng cetar membahana, Kak. Bikin jantung itu terasa terbang menuju rasi bintang paling narsis." Caca membuat gerakan pesawat terbang ke langit.

Hal yang bertentangan prinsipnya hanya mampu digoyahkan Oxafia Djenara Nindyar. Dio ingat akan itu. "Kamu ke sini sama siapa?"

"Sendiri dong naik taksi." Caca melirik laptop yang layarnya menggelap. Tanpa meminta persetujuan pemilik, ia menutup laptop tersebut. "How about your day, Kak Dio?" Caca memelankan suara, menatap lembut laki-laki itu.

"Good." Suara Dio ikut terdengar lirih. "And how about your day, Oxafia?"

Caca sengaja menggumam cukup lama, kepalanya miring ke kanan. "Gimana kalau kabar harinya Kak Dio juga jadi kabarku?" Dua alisnya terangkat.

"Terima kasih sudah datang." Dio tersenyum tipis sekilas dan kolam renang lagi-lagi menjadi titik fokus.

Mereka duduk bersila tepat di pinggir kolam renang. Bertemankan pencahayaan lampu bergaya abad ke-20 yang berjajar di taman. Caca seolah mudah membaca jelas apa yang sedang laki-laki itu rasakan lewat kekosongan nyata pada sorot mata Dio. Caca akhirnya membawa laptop dan piring-piring ke belakang mereka. Kemudian menggeser duduknya lebih dekat lagi dengan Dio. Ia sungguh mengenal rasa kehilangan itu. Mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian yang pernah membuatnya kurang tidur selama satu bulan. Di mana ia secara langsung menemukan Fella mengakhiri hidup dengan cara mengerikan.

Kenangan tersebut belum juga menenggelamkan, tapi matanya mulai memanas. Tidak, Caca datang ke sini untuk menguatkan Dio. Bukan terlihat cengeng seperti ini. Sesegera mungkin ia menghapus bulir hangat yang menggenangi pelupuk mata. Caca menarik pelan sebelah tangan Dio ke pangkuan dan laki-laki itu tersentak. Kemudian Caca mengeluarkan Rosario yang tersimpan di tas, memakaikan benda tersebut pada tangan Dio.

"This pain will never ends, but life must go on. Kak Dio makan ya," katanya lirih.

"There's no pain, Ca. Cuma ... aneh. Rasanya aneh dan enggak tahu namanya apa." Dio tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya menjatuhkan tatapan pada Rosario yang Caca pakaikan di pergelangan tangan.

"I know what your mean, Kak."

Lantas Dio menyelami lautan hitam pekat milik Oxafia Djenara Nindyar. Teduhnya tatapan gadis itu menyatukan segala keretakan tidak jelas di dalam sana, mengembalikannya menjadi kepingan utuh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top