Bab 1 - Reality
Pagi itu adalah pagi yang cerah. Jalanan mulai dipenuhi oleh manusia-manusia yang menuju ke tempat mereka beraktifitas. Tak sedikit dari manusia-manusia itu yang memakai pakaian seragam. Iya, itu adalah seragam sekolah. Salah satu dari manusia-manusia yang mengenakan seragam sekolah itu berjalan melintasi jalan utama Tokyo agar dapat sampai ke sekolahnya sambil membaca buku dengan judul "MATHEMATICS" besar sebagai sampulnya.
Angin semilir bertiup, membalikkan beberapa halaman buku yang gadis itu pegang. Surai hitam sebahunya menari kecil mengikuti iringan angin yang berhembus. Ia pun menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinganya dan terus berjalan sampai ada yang memanggilnya dari belakang.
"Yume!"
Gadis itu sama sekali tidak membalikkan badannya ataupun berhenti. Ia terus saja berjalan tanpa menghiraukan panggilan yang ditujukan kepadanya. Iris cokelat kemerahannya tetap terpaku pada buku teks yang dipegangnya. Orang yang tadi memanggilnya pun akhirnya memegang bahu gadis yang bernama Yume ini.
"Kenapa kau tidak jawab panggilanku? Dasar menyebalkan!" kata seorang gadis berkucir satu yang diikat dengan pita biru muda. Pipinya digembungkannya menandakan bahwa dia sedang sebal.
"Iya, iya. Terserah kau saja, Mizuna," kata Yume tidak peduli.
"Hm? Buku apa yang kau baca?" tanya Mizuna melihat Yume yang membaca buku itu dengan sangat serius.
"Matematika," jawab Yume singkat dan langsung membuat Mizuna berteriak kecil.
"Ja... Jangan bilang.... Bahwa hari ini kita ada ujian matematika.." kata Mizuna dengan tangan gemetar menunjuk buku Matematika yang dipegang Yume, ngeri.
"Iya. Kita ada ujian hari ini. Kemarin siang kita telah diberitahukan dan jangan berisik. Aku ingin belajar," kata Yume yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Mizuna yang sedang frustasi tingkat tinggi.
"YYYYUUUUUUMMMMMEEEEE." teriak suara Bariton dari sebelah kiri Yume dan Mizuna. Yume yang mendengar namanya terpanggil pun hanya bisa menghela nafas dan lanjut membaca buku yang dipegangnya itu.
"Yume. Kau harus mengajariku. Aku tidak mengerti tentang bahan yang akan diujikan hari ini. Bantu aku, Yume!!" kata pemilik suara Bariton itu kepada Yume yang berjalan sambil mencoba menghafal beberapa rumus.
"Kahize! Kau tidak belajar kan? Kau tidak belajar kan?!!" tanya Mizuna mencari teman apabila dia gagal dalam ujiannya kali ini.
"Kau tidak belajar Mizuna? Baguslah. Aku tadi pagi mencoba belajar tetapi aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kubaca," kata pemilik suara Bariton yang bernama Kahize, menghela nafasnya.
"Pagi semuanya," sapa seorang gadis bersurai cokelat tua dari sebelah kiri Yume. Yume pun melirik gadis itu sebentar dan balik menyapanya.
"Pagi, Inari."
"Inari! Kau tidak belajar juga, 'kan? 'Kan?" desak Mizuna.
"Hehehe. Sayang sekali. Saya sudah mempersiapkan diri untuk ujian ini malam tadi," kata Inari sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan membentuk tanda peace.
Mizuna dan Kahize langsung memasang ekspresi seperti habis tersambar petir. Pengkhianatan yang mereka rasakan ini terasa berat di hati duo malas itu. Yume hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat tingkah Mizuna dan Kahize yang tak lain dan tak bukan adalah teman masa kecilnya. Kemudian,sebuah suara pun tertangkap oleh indera pendengaran Yume yang langsung membuat suasana hatinya jatuh.
"Hmph. Lama sekali kau, Yume." Yume hanya berdecih dan berjalan melewati pria yang menyapanya.
"Pagi, Hinote," sapa Inari.
"Pagi juga, Inari," kata pria berkacamata yang bernama Hinote itu. "Jadi, apakah kau sudah siap menerima kekalahanmu, Yume?"
"Hmph. Seolah-olah aku pernah kalah darimu," kata Yume.
"Urgh. Waktu itu beda nilai kita hanya 1 poin," kata Hinote menolak disindir oleh Yume.
"Tetap saja. Aku lebih superior satu poin darimu," kata Yume sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Hinote.... Bantu kami nanti...." pinta Kahize yang telah patah semangat.
"Kau adalah harapan terakhir kami, Note-kun," kata Mizuna dengan mata bersinar penuh harap.
"Hah.... Kenapa kalian tidak belajar kemarin malam? Atau bukankah kalian bisa minta tolong padaku atau pada Yume untuk mengajari kalian kemarin malam?" kata Hinote, menggosok tengkuknya.
"Um.... Kemarin malam saya membaca manga," jawab Mizuna.
"Aku.... Menyelasaikan game-ku kemarin malam," jawab Kahize yang langsung membuat Yume, Hinote dan Inari menghela nafas mereka dan berjalan meninggalkan kedua orang malas itu dibelakang.
Mereka terus berjalan sambil berceloteh kecil dan tanpa mereka sadari, mereka telah sampai di depan gerbang yang dipenuhi oleh murid berseragam sama dengan Yume dan yang lain. Baru saja Yume menapakkan kakinya di depan gerbang, berpuluh-puluh pasang mata langsung terfokus ke arahnya. Beberapa memberikan tatapan kagum dan hormat dan hanya minoritas orang yang menatap mereka seperti ini. Sebagian besar dari mereka memberikan melainkan tatapan dingin, takut dan tidak bersahabat. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik dan mengumpat dari belakang mereka.
Kelima orang yang masuk ini sama sekali tidak menghiraukan pandangan yang menjadi sarapan sehari-hari nereka. Tatapan-tatapan tak menyenangkan itu tidak memperlambat langkah mereka. Beberapa dari murid itu dengan sengaja menabrakkan pundak mereka ke pundak Yume sehingga buku yang dipeluknya jatuh bertebaran di lantai. Yume hanya menghela nafas bosan dan kembali memungut buku-bukunya dibantu oleh Inari. Mizuna hanya memelototi punggung perempuan yang sengaja menabrak pundak Yume yang sekarang berceloteh riang. Yume yang menyadari gelagat Mizuna pun angkat bicara.
"Jangan coba-coba melakukan hal yang ada di pikiranmu itu, Mizuna. Biarkan saja."
"Tapi..." Mizuna ingin membantah dan Yume pun berdiri dan menatap Mizuna.
"Ini masalahku. Jangan ikut campur," kata Yume dingin dan berjalan mendahului keempat temannya yang hanya bisa menunduk dan mengepalkan tangan.
***
Sekolah yang dipilih Yume adalah sekolah lokal yang cukup terkenal, namun tindakan pembullyan tentunya tidak pernah luput di mana pun. Dan korban tahun itu adalah Yume. Alasan kenapa dia dibully itu sangat sepele. Hanya karena Yume tidak sengaja menumpahkan cat ke lukisan seorang murid yang notabene-nya adalah anak kepala sekolah dan pemimpin gang anak berandalan di sana, Yume dibully habis-habisan sampai sekarang. Dan orang yang takut akan gerombolan itu hanya bisa menjauhinya walaupun tak sedikit dari mereka yang berharap bahwa Yume bisa menghajar gerombolan itu.
Langkah Yume berkumandang di koridor kelas yang ramai dengan perbincangan-perbincangan kecil. Yume tidak peduli. Ia terus berjalan, mengabaikan tatapan takut dari beberapa orang dan akhirnya sampai di depan pintu kelasnya.
Yume pun menghembuskan nafasnya sebelum menggeser pintu dengan palang bertuliskan 1-C di atasnya. Pintu yang terbuka menarik perhatian beberapa siswa, beberapa menyapa dan beberapa bahkan tidak menoleh. Yume duduk di dekat jendela barisan paling belakang karena ia tidak suka berada di tengah keramaian. Baru saja Yume mengistirahatkan bokongnya, seorang gadis mendatangi meja Yume.
"Ohayou, Kinoshita-san," panggil seorang gadis berwajah manis dengan rambut hitam sebahu yang disisir rapi. Bibirnya yang dipoles dengan lip gloss merah muda mengkilat, mengulas sebuah senyuman yang sama sekali tidak dipaksakan. Merasa nama keluarganya dipanggil, Yume pun menoleh.
"Ah. Ohayou, Nakatomi-san. Ada yang bisa saya bantu?" Yume balas menyapa walaupun tetap tanpa ekspresi. Gadis yang merangkap sebagai ketua kelas itu pun tersenyun lebar dan langsubg membalik-balikkan kertas buku yang dipegangnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, Nakatomi Hanae pun menyodorkan buku itu ke hadapan Yume.
"Bagaimana cara mengerjakan soal ini?"
Kegiatan tanya jawab seperti ini bukanlah hal yang baru ditemuinya. Kegiatan ini rutin dijalaninya setiap sebelum ulangan. Yume yang memiliki otak bervolume besar itu pun menjawab dan menjelaskan soal itu dengan mudah. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka, menampilkan sosok Mizuna yang kehabisan nafas, diikuti dengan Kahize yang depresi, Hinote yang membenarkan letak kacamatanya dan Inari yang tersenyum ramah. Yume pun melirik ke teman-temannya sebentar dan melanjutkan penjelasannya.
Mizuna meletakkan tasnya di meja yang terletak cukup depan dan kemudian duduk di bangku yang masih kosong di depan Yume.
"Ohayou, Yasuda-san," sapa Hanae.
"Ohayou, Hanae-chan. Bisa aku bicara dengan Yume sebentar?" kata Mizuna. Hanae pun tersenyum.
"Tentu. Aku juga sudah selesai bertanya. Terima kasih atas bantuanmu, Kinoshita-san." Yume pun hanya mengangguk dan akhirnya menatap Mizuna sambil bertopang dagu, menebak apa yang akan Mizuna katakan.
"Yume...."
"Kenapa kau tidak melawan mereka?" lanjut Yume memotong perkataan Mizuna "Aku tahu apa yang ingin kau katakan dan aku yakin kau juga tahu apa jawabanku," kata Yume bosan.
"Kau sudah minta maaf. Apa lagi yang mereka inginkan?" kata Mizuna tidak setuju temannya diperlakukan seperti itu.
"Sudahlah. Nanti mereka bosan sendiri."
Bel yang berdering kencang menghentikan komentar yang baru saja ingin meluncur dari bibir mungil Mizuna. Yume mengibaskan tangannya, meminta Mizuna kembali ke tenpat duduknya dan dituruti oleh teman baiknya itu dengan pipi menggembung tidak puas.
Celotehan baru berhenti ketika guru yang mengajar mereka masuk membawa setumpuk kertas ulangan yang langsung membuat sebagian besar siswa mendesah kecewa. Yume tidak peduli. Ia hanya bertopang dagu, menatap awan yang bergerak pelan dan damai dan berharap dalam hati bahwa awan itu adalah dirinya sendiri.
****
Yume telah lama menyelesaikan ujiannya ketika bel istirahat berdering. Beberapa siswa masih sibuk berkutik dengan soal yang diberikan dan beberapa sudah sangat pasrah dengan hasilnya yang sudah pasti tidak tuntas.
"Ayo, kumpulkan kertasnya," kata guru Matematika yang mengenakan kacamata emas bundar yang ketinggalan jaman dan kumis tebal yang disisir rapi. Semua siswa pun langsung berdiri dan berjalan ke depan kelas untuk mengumpulkan kertas ujian mereka. Sebagian besar murid langsung keluar untuk mengisi perut mereka di kantin ataupun melegakan diri mereka dengan ke toilet. Yume memilih untuk berdiam diri di kelas, begitu juga dengan Kahize, Mizuna, Inari dan Hinote. Mereka berkumpul mengitari meja Yume yang mereka rasa paling nyaman.
"Soalnya tidak sesulit yang aku pikirkan," kata Inari santai dengan senyuman khasnya. Mendengar perkataan Inari ini, Mizuna dan Kahize langsung mengistirahatkan kepala mereka di meja Yume, pasrah.
"Aku... Tidak mungkin naik kelas." Mizuna mulai merancau tidak jelas. Kepalanya penuh dengan rumus-rumus dan angka yang menolak untuk keluar dari pikirannya.
"Mungkin.... Ada baiknya aku menjadi shut-in." Shut-in adalah siswa yang menolak untuk datang ke sekolah ataupun keluar dari rumahnya. Yang lebih ekstrim adalah mereka sama sekali menolak makan dan tak mau keluar dari kamar mereka. Rata-rata seorang shut-in adalah gamers sejati. Dan profesi itu sangat cocok untuk Kahize.
"Hah...," Hinote pun menghela napas. "Bukankah itu salah kalian sendiri karena tidak mempersiapkan diri dengan baik?"
"Argghh! Belajar ataupun tidak sama sekali tak ada bedanya bagiku," kata Mizuna cemberut.
Yume yang kurang suka berkomentar pun hanya mengeluarkan sebuah buku dari tasnya dan membacanya dengan teliti. Mizuna yang sedang sangat sensitif pun langsung berkata
"Ulangan Lagi?!"
"Ya," jawab Yume singkat.
"Sejarah?" tanya Inari.
"Ya."
"Bukankah ulangannya masih minggu depan?" kata Kahize mencoba mengingat-ingat jadwal.
"Ya." Lagi-lagi jawaban singkat dari Yume membuat Mizuna menggembungkan pipinya dan merenggut buku itu dari pegangan Yume.
"Tidak akan kubiarkan kau belajar.." Mizuna berkata sambil memeluk erat buku tebal bersampul hijau tua itu.
Yume yang sudah terbiasa direnggut bukunya pun menghela nafas, mengeluarkan pensil dan selembar kertas. Ia pun menulis dengan cepat. Tulisannya kecil-kecil dan rapi. Mizuna pun kembali bertanya
"Apa itu?"
"Sejarah."
"Kau sudah menghafal semuanya?" Kahize terpekik kaget.
"Kurang lebih."
"Hei, Yume. Ada baiknya kau sekali-sekali mengistirahatkan otakmu itu. Terlalu banyak belajar dapat membuat otakmu overheat," kata Hinote sambil bertopang dagu dan menatap keluar jendela.
"Aku punya ide. Bagaimana nanti, sepulang sekolah kita belajar bersama?" usul Inari sambil menepuk kedua tangannya.
"Ho... Boleh juga saranmu, Inari. Snacknya apa?" kata Mizuna yang fokusnya bukan kepada pelajaran melainkan snack yang pasti disuguhkan kepada mereka. Kahize pun menjitak kepala Mizuna sampai ia meringus kecil.
"Pikiranmu makanan semua. Aku heran kenapa kau tidak gemuk," kata Kahize sambil berkacak pinggang.
"Karena metabolisme tubuhku lancar," jawab Mizuna dengan bangga yang membuat semua teman-temannya menggelengkan kepala.
"Bagaimana jika besok saja?" kata Yume.
"Ah... Aku baru ingat kalau hari ini adalah jadwal latihan Kendo-mu," kata Inari.
"Iya."
"Tentu. Tak masalah," jawab Inari singkat lengkap dengan senyumannya yang menenangkan.
"AHH!!!" Mizuna tiba-tiba berteriak dan berdiri, mengagetkan semua temannya di sini tak terkecuali Yume.
"Ck. Ada apa, Mizuna?" tanya Yume kesal sambil menggosok telinganya. Mizuna yang berdiri disebelah Yume pun tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi yang rapi dan cemerlang seperti sedang mengiklankan pasta gigi merek terbaru.
"Hehehehe. Aku baru ingat," kata Mizuna.
"Ingat apa?" tanya Inari penasaran.
"Jangan berkata setengah-setengah, Mizuna," kata Hinote.
"Setuju dengan Hinote," kata Kahize ikut-ikutan.
"Iya iya. Sabar sedikit kenapa sih?" kata Mizuna kembali duduk. Perhatian semua teman-temannya terfokus ke Mizuna yang masih mempertahankan senyuman cemerlangnya.
"Tadi pagi aku bermimpi kalo kita ke dunia fantasi." Mizuna berkata begitu dengan polosnya. Senyumnya tetap terpatri indah di wajah inosennya. Semangat Yume dan Hinote langsung turun dan semangat Kahize langsung naik.
"Benarkah?! Apa yang terjadi?" tanya Kahize bersemangat.
"Fantasi itu bodoh. Tidak nyata," komentar Yume yang langsung disetujui oleh Hinote dengan anggukan. Yume pun berdiri "Aku mau ke toilet."
Yume langsung beranjak pergi dan kemudian disusul oleh Inari. Langkah Yume panjang-panjang dan cepat, mempersulit Inari untuk menyamakan tempo langkah mereka. Inari pun angkat bicara
"Yume, jangan begitu."
"Bagaimana maksudmu? Aku hanya berkata apa adanya. Tak ada bukti konkrit bahwa dunia fantasi itu ada," Yume berkata dengan keras kepala.
"Itu hanya mimpi, Yume. Jangan menganggap itu terlalu serius."
"Aku tidak ingin diriku terlibat dalam sesuatu yang bernama FANTASI walaupun itu hanya sekadar mimpi," kata Yume menekankan kata Fantasi. Inari pun menghela nafas dan membiarkan Yume berjalan mendahuluinya sampai ia akhirnya menikung dan Yume hilang dari pandangannya.
***
Inilah waktu yang dotunggu-tunggu setiap murid di sekolah. Jam pulang sekolah. Baru saja bel berbunyi, beberapa murid sudah berhamburan keluar dari kelas mereka. Beberapa masih tinggal untuk bersih-bersih kelas. Yume juga beranjak berdiri dari tempat duduknya dan berjalan sambil menenteng tasnya. Teman-temannya mengikuti di belakangnya. Mizuna dan Kahize masih seru memperbincangkan mimpi Mizuna. Hinote sibuk mencatat sesuatu di notes kecilnya dan Inari hanya mengikuti dari belakang dengan senyumannya.
Tak terasa mereka sudah sampai di loker sepatu. Mereka pun langsung mengganti sepatu mereka dan berjalan keluar. Angin segar sore hari langsung menerpa wajah-wajah letih namun bersemangat mereka.
"Sampai jumpa besok, Yume," kata Inari.
"Ja(stripe) ne, Yume," kata Mizuna sambil melambai-lambaikan tangannya. Yume hanya mengangguuk dan segera berjalan lesu ke dojo di belakang sekolah.
Sesampainya di dojo, tak ada satu pun orang di sana, lebih tepat dikatakan bahwa belum ada yang datang. Yume tidak peduli. Dia segera melepaskan sepatunya dan meletakkan tas hitamnya di pojokan dan berganti pakaian. Ia segera memakai bōgu-nya dan mengambil Shinai yang tersusun rapi di ujung ruangan dekat tempat ganti. Yume segera memasang kuda-kuda dan mengayunkan Shinai-nya. Shinai yang memiliki berat 420 gram itu menebas udara kosong di depan Yume. Yume berlatih mengayunkan Shinai-nya berkali-kali dan sepuluh menit kemudian, anggota klub kendo lainnya mulai berdatangan. Seorang gadis berambut pendek berwajah oriental langsung berseri-seri melihat Yume yang sudah mulai latihan. Gadis itu segera melepaskan sepatunya dan melemparkannya ke sembarang tempat dan langsung merangkul Yume seraya tertawa.
"Datang terlalu cepat lagi, Yume-chan?" tanya gadis itu ramah. Bintik-bintik merah di pipinya ikut bergerak seraya dia tertawa.
"Se... Senpai.... tidak.... bisa.... bernapas," kata Yume megap-megap. Gadis berambut pendek itu pun langsung melepaskan rangkulannya dan meletakkan kedua tangannya di kepala
"Hehehe. Gomen, Yume."
Yume pun melepas Men yang ia kenakan dan mengapitnya di pinggulnya. Peluh mengalir pelan dari pelipisnya, turun ke pipinya yang mulai memerah dan akhirnya jatuh menetes ke lantai. Napasnya sudah tidak teratur tetapi tetap ringan. Iris hitamnya memandang senpainya yang masih berdiri di belakangnya dengan kedua tangan di belakang kepalanya yang tertumbut oleh rambut hitam pendek yang dicat pirang.
"Apakah kau sudah mulai lama?" Seorang pria seumuran Yume mendekatinya dengan setumpuk kertas di pelukannya.
"Tidak terlalu lama. Mungkin sekitar 10 menit," kata Yume seraya mengelap keringatnya. Perempuan berambut pirang pendek tadi kembali merangkul Yume dan mengacak-acak rambut hitam Yume yang basah oleh keringat.
"Baru saja 10 menit dan kau sudah banjir keringat? Kau berlatih keras, huh? Kouhaiku yang imut?" katanya
"Miyuki senpai...."
"Miyuki! Berhentilah mengganggu Yume." Seorang wanita anggun datang mendekati Yume dan Miyuki dan mengambil Yume dari rangkulan miyuki dan membenamkan kepala Yume ke dadanya yang berukuran diatas rata-rata.
"Umft."
"Hei! Kau memonopoli Yume! Kembalikan Yume-ku, Hanabi!" kata Miyuki berusaha menarik Yume dari pelukan menyesakkan dada Hanabi. Tangan Yume berusaha menggapai-gapai tangan pria yang memeluk setumpuk kertas itu sambil berbisik kecil.
"Reito.... Tolong... Aku...."
"Hanabi senpai, Miyuki senpai. Yume kehabisan nafas," kata Reito sambil menunjuk Yume yang mulai megap-megap dengan dagunya.
"Ara!" Hanabi pun langsung melepaskan pelukannya, membuat Yume langsung tersentak dan terhuyung jatuh ke lantai kayu di bawahnya. Yume pun meringis kecil sambil menggosok pinggangnya.
"Daijobu, Yume-chan?" tanya Hanabi sambil membungkuk kecil. Yume pun hanya mengangguk lemah dan kemudian tawa langsung meledak di dojo yang berukuran sedang itu.
Inilah tempat yang disukai Yume. Tempat dimana ada orang lain yang dengan senang hati menerimanya selain teman-teman masa kecilnya. Yume terus berharap dalam hatinya agar waktu membeku sekarang juga dan biarkan kebahagiaan itu terukir abadi di hatinya. Namun tidka semua yang dihapkan semua orang itu menjadi kenyataan....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top