Prolog

Baiklah ini bukti bahwasanya aku memang rada-rada stress ya. Bolak-balik masukin draf, ganti cast, ujung-ujungnya tetap balik ke sini. Karena ... aku menyadari karakter yang udah kubuat susah payah nggak bisa disesuaikan dengan SEBUAH FOTO. Pada akhirnya aku balik lagi ke dua biasku 💔

Aku hanya berniat menuntaskan yang belum tuntas.

Silakan, ini kolom komentar khusus hujat mania. Serius.

🌚

Elang Dirgantara; Tak pernah menanggapi apalagi sampai berapi-api.

Nuri Syahda Rayina; Tak pernah ditanggapi justru semakin menjadi-jadi.


================ *** ================

I wanna talk to you.

Begitulah tulisan yang tertera pada sticky note yang tertempel. Helikopter itu muncul setelah Nuri membuka jendela kamar. Ia mengenal tulisan tangan itu dan hanya ada satu orang yang akan menggunakan cara semacam ini. Ia bergegas menghampiri balkon kamar. Kedua tangannya memegang erat pembatas balkon kala menemukan sosok laki-laki dengan hoodie dan masker di bawah sana. Nuri langsung menetapkan bahwa laki-laki itu adalah orang yang sukses memporak-porandakan hatinya. Seseorang yang membuat malam tak lagi berhasil menyuguhkan kantuk membuai.

Laki-laki itu masih hidup, seperti yang Nuri yakini. Ia berjalan terburu-buru meraih cardigan rajut dan membuat kamuflase bantal guling yang ditutup selimut sebelum mencapai pintu kamar. Ia harus keluar rumah tanpa meninggalkan suara atau jejak. Laki-laki itu pasti menunggunya di gerbang belakang.

"Kak ...."

Bisikan keras itu membuat Elang berbalik. Kemudian ia terpaksa mendapati sesuatu yang tak pernah ingin dilihatnya lagi. Gadis itu berdiri mengeratkan cardigan rajut bersama wajah pucat dan pipi yang basah.

"Kamu ke mana aja?" Nuri bertanya di tengah isakan. "Aku ... khawatir ... takut ...," ujarnya terbata.

Elang melepas masker yang menutupi separuh wajah serta menarik tudung hoodie yang sejak tadi menutupi kepala. "Maaf." Hanya itu kata yang terucap lalu ia memangkas jarak di antara mereka.

"Ri, jangan nangis ...," bisik Elang usai menangkup wajah gadis itu.

"Aku takut ... aku takut nggak bisa ketemu Kakak lagi."

Nuri menundukkan kepala, menghindari tatapan Elang supaya dapat meredakan tangisnya. Ia ingin mengutarakan semua yang dirasakannya belakangan ini. Sungguh, Nuri sangat takut. Ia belum pernah merasa kalut dan takut seperti kemarin-kemarin.

Perlahan Elang menyeka air mata di pipi gadis itu dengan ibu jarinya. "Ri, aku harus pergi sekarang juga. Aku nggak bisa berada di Bandung lebih lama lagi."

Ya, Elang tidak akan membiarkan gadis itu dan Bunda terjebak dalam bahaya. Ia belum tahu apakah Kaki Selatan masih mencari keberadaannya atau menganggapnya sudah mati.

"Kamu mau ke mana lagi, Kak? Bunda pasti bisa bikin kamu aman di sini," pinta Nuri.

Elang menggeleng cepat. "Nggak akan bisa. Ini masalahku, Ri. Aku udah bikin repot semua orang, Bunda, kamu."

"Kamu ngomong apa sih? Aku dan Bunda peduli sama kamu, Kak." Nuri akhirnya mengangkat kepala, menatap laki-laki itu meski pandangannya memburam.

"Aku tahu." Elang memberi jeda untuk menarik napas panjang. "Ri, dengerin aku. Jangan pernah lagi nunggu hal yang nggak pasti, ngerti?" Sebelah tangannya menyentuh kepala Nuri. "Sekarang kamu tidur lagi, ya ... aku awasi kamu dari sini."

Nuri menggigit bibir kuat-kuat. "Nggak, aku nggak ngerti sama Kakak dan nggak ...." Kalimatnya terpotong karena sesak memenuhi rongga dada. Nuri memejamkan mata. "Aku tetap akan nunggu Kakak."

"Ri, I can't promise you," tutur Elang penuh penekanan. "Kamu ngerti 'kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top