8. The Lost Planet
Jika dunia tak pernah menyisakan waktu untukmu,
maka aku menyerahkannya secara cuma-cuma.
Bukan untuk menunggu, apalagi mengganggu.
Sebab waktu tak akan berhenti, kamu pun enggan menepi.
Jadi aku berlari di sisi, sampai kamu menyadari.
Nuri menutup diary setelah menuai goresan-goresan tentang Elang di sana. Isi diary Nuri bukan hanya tentang kesehariannya atau ungkapan hati. Isinya juga diwarnai berbagai macam kutipan dari buku yang dibacanya serta beberapa rumus kimia favoritnya. Teringat akan laundry pakaian Elang, ia memundurkan kursi belajarnya, lalu meringis. Plastik itu sudah berada di sana sejak kemarin, hari ini ia belum sempat membawanya ke tempat laundry apalagi mencucinya langsung. Hari ini pun jam latihan OSN ditambah dari segi durasi, benar-benar melelahkan.
Nuri berdecak saat mengingat permintaan Elang tadi pagi, nyatanya sore ini ia tak menemukan laki-laki itu di mana-mana. Tadinya Nuri sempat mengira Elang akan menghampirinya di depan gerbang sekolah atau mencegatnya di tengah jalan menuju ke rumah, karena betul-betul niat mengambil pakaiannya. Nyatanya tidak sama sekali, payah. Nuri terlanjur berharap terlalu tinggi sampai lupa menyediakan trampolin di bawah sana. Ia mengangkat kedua tangan untuk melakukan peregangan otot.
Ekor matanya melirik jam dinding kamar, pukul 18.05 tepat. Kemudian Nuri mengantongi dompet di atas meja, ia berniat membeli cemilan kalau nanti lemari es ternyata kosong. Sebab ritual belajarnya terasa kurang tanpa berbungkus-bungkus makanan ringan. Bersama cardigan yang sudah melekat di tubuh, ia bersenandung kecil, beranjak keluar kamar.
"Neng, ada sate kambing tuh di meja makan," ujar Mama yang duduk di sofa menghadap televisi.
"Tadi aku udah makan sehabis mandi. Mama tumben jam segini udah di rumah." Nuri memilih duduk sejenak di samping ibunya, mengurungkan niatnya ke dapur.
"Iyah pulang duluan, lagi capek, Neng." Tangan Mama terangkat mengusap rambutnya dari puncak kepala sampai ujung rambut. "Gimana sekolah hari ini?"
Nuri menggembungkan pipinya. "Deg-degan tahu, Ma. OSN serasa di depan mata."
"Jangan memaksakan diri, nanti kamu lieur terus sakit. Gimana?" Mama merangkulnya penuh kasih. "Rumah makan langsung nggak keurus."
"Parah banget! Mama bikin aku melambung di awal-awal, merasakan bahagianya jadi anak satu-satunya!" Nuri menoleh dengan bibir mengerucut. "Eh, nggak tahunya mau didorong dari ujung jurang."
Mama mencubit pipi Nuri. "Jangan cemberut, cantiknya hilang terus Kak Elang tambah cuek."
Seperti anak perempuan pada umumnya, Mama adalah tempat curahan hatinya yang pertama. Segala macam masalah yang mengganjal dalam benak pasti akan Nuri ceritakan pada wanita bersahaja itu, termasuk Elang. Tapi ia tidak serta-merta menceritakan secara gamblang untuk yang satu itu. Biarlah perasaan Nuri menjadi rahasianya sendiri, Mama cukup tahu kalau ia mengagumi laki-laki itu sebagai panutannya di ajang olimpiade.
"Kak Elang cuek udah bawaan dari lahir, Ma," jawabnya asal.
"Anak itu teh kayaknya sakit, Neng. Sering batuk kalau beli nasi, kayaknya langganan begadang juga. Wajahnya kurang sehat gitu." Mama kelihatan mengingat-ingat sesuatu sebelum melanjutkan, "Eh, tapi dia udah nggak pernah nongol di lapak Mama."
Nuri beralih menatap televisi yang sejujurnya tidak menarik baginya. "Iya, Kak Elang kayaknya sakit ...," gumamnya.
Ia belum berani menyimpulkan analisanya selama ini. Apa pun yang berubah dari Elang Dirgantara tak akan mengubah apa pun di matanya. Bagi Nuri, laki-laki itu tetaplah segala hal indah di alam semesta yang selalu ingin Nuri temui. Selain cinta pertama, Elang masih jadi idolanya. Nuri tidak pernah melupakan lekat juara olimpiade dalam diri Elang, entah kenapa pikiran dan hatinya selalu berkata begitu.
"Mau ke mana, Neng?" Mama bertanya saat Nuri beranjak dari sofa.
"Ngecek kulkas atuh, sejam lagi aku mulai marathon belajar kan," jawab Nuri. "Ma, kalau kulkas kosong, aku sekalian ke mini market ya?"
"Mama titip martabak di The Lost Planet," ujar Mama yang sudah kembali fokus pada sinteron kesayangannya.
Nuri menghentikan langkahnya dan berbalik. "Oke, ganti uangnya dua kali lipat ya??"
Serta-merta Mama menolehkan kepala dan Nuri memainkan alisnya. "Ai kamu teh dibesarkan, disekolahkan, masa sama Mama perhitungan, Neng??"
Nuri terkekeh pelan, menggoda sang ibu sudah jadi kegiatan rutinnya. "Kalau gitu bilang sama Papa, sepulang dari Jakarta bawain aku cogan."
"Cogan?" Dahi Mama mengernyit. "Jenis makanan apa tuh, Neng??"
Mendengar gurauan tak bermutu dari Mama, ia mengarahkan bola mata ke atas lalu meniup kasar poninya. Tawa Mama mengiringi entakkan langkahnya menuju dapur. Ia sebenarnya tak pernah memiliki setitik pun amarah pada sang ibu. Ketika merajuk atau kesal, sebenarnya semata-mata hanya akan bertahan semenit.
***
Jajaran botol jus, susu karton dan macam-macam sayur di rak paling bawah membuatnya menghela napas. Firasatnya benar, bungkus-bungkus jajanan mecin telah sirna. Menyeret kakinya ke mini market malam ini nampaknya terasa begitu berat. Nuri menimbang-nimbang sejenak, belajar sambil makan itu kebiasaannya sejak kecil. Pada akhirnya ia berdecak malas sebelum berjalan ke arah pintu utama.
Gerbang yang ditarik Nuri menimbulkan suara berderit, sudah terlalu tua mungkin. Gerbang ini belum pernah diganti sejak ia kecil, sekadar dicat ulang. Orang tuanya mungkin punya sejarah tersendiri sehingga tidak berminat mengganti gerbang tua ini. Langkah Nuri tertahan saat melihat mobil remote control berhenti tepat di depan kakinya. Bukan mobil itu yang seketika menyita seluruh perhatiannya, melainkan sticky note yang tertempel di atapnya. Ia melirik jalanan sekitar, namun tak berhasil menemukan eksistensi orang yang dicarinya.
"Ba-jigur! Ba-jigur!"
Nuri berdecak karena tukang bajigur yang lewat merusak suasana hatinya. Gadis itu menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga, lantas berjongkok. Beruntungnya Nuri mengenakan jeans selutut, sekalipun jungkir-balik segalanya akan baik-baik saja. Mobil tersebut melaju cepat usai Nuri mengambil sticky note yang tertempel.
Eat this to feel much better.
Ah, itu jelas tulisan Nuri. Lalu ada yang lebih menarik lagi dari mobil remote control tadi, tulisan yang ada di bawah tulisannya.
The Lost Planet 19.05
Wow, bolehkah Nuri merasa telah memenangkan banyak lotre malam ini? Ayolah, medali OSN memang belum bisa diraihnya, namun sang mantan peraih medali sepertinya masih bisa Nuri raih. Lantas Nuri menyugar rambut karena pernyataan yang baru saja tercetus dari otak narsisnya. Tanpa butuh tahu di mana si kotak pandora bersembunyi, Nuri merogoh ponsel di saku celana. Baiklah, Nuri masih memiliki empat puluh menit berharga sebelum meninggalkan sepatu kacanya di The Lost Planet.
"Dear kamera, coba beritahu siapa yang paling cantik di mata Elang?? Jawab!" Nuri bicara pada ponselnya sembari mendorong gerbang tua.
Gadis itu mendesah ketika sampai di depan pintu rumah. "Tentu saja, Yang Mulia Nuri Syahda Rayina," katanya penuh percaya diri, mengangguk-anggukan kepala. "Ma, punya sepatu kaca nggak??"
***
The Lost Planet merupakan salah satu tempat kongkow dekat area tempat tinggalnya. Mereka menyediakan dessert khas Bandung dan markobar KW sekian. Nuri sampai di tempat itu lima menit sebelum pukul 19.05. Tentunya ia menyempatkan diri mengganti sendal Hello Kitty dengan flatshoes, memakai lip gloss dan merapikan rambut yang sebenarnya tak perlu dirapikan.
Ya, setidaknya, barang kali jepitan rambut dapat mempermanis tampilannya. Kalau Nuri tak menemukan sticky note itu, mungkin ia pergi ke tempat ini cukup dengan tampilan seadanya. Sayangnya sederet tulisan yang hanya berisi nama tempat dan jam, tanpa ada basa-basi kata ajakan atau penawaran mengubah segalanya. Nuri mengedarkan pandangan, ia harus menemukan laki-laki itu sebelum masuk.
Kemudian di antara lalu lalang orang yang lewat, seseorang menarik lengannya.
"Eh, Masnya ini siapa ya? Jangan sok kenal, main tarik-tarik tangan sa-" Kalimat Nuri tertahan. Sebab laki-laki yang mengenakan topi hitam dan hoodie abu-abu itu adalah orang yang ia cari. Sepasang mata itu menatapnya datar, namun Nuri tetap menyunggingkan senyum madu.
"Kak Elang, jangan buru-buru dong. Aku udah bilang Mama kalau akan pulang sebelum jam dua belas, kok."
Elang tak menggubrisnya, laki-laki itu tetap menariknya masuk secara paksa. Ralat, kata paksa sepertinya kurang cocok di sini sebab Nuri rela-rela saja tanpa merasa terpaksa ditarik Elang. Kewarasannya makin dipertanyakan kalau sudah menyangkut nama Elang Dirgantara. Contohnya detik ini, lengkungan di bibir Nuri rasanya bisa bertahan sampai pagi hanya karena cowok itu menarik tangannya. Mereka sampai di meja paling pojok, tempat yang mungkin hanya akan dipilih orang-orang jika semua sudah terisi.
"Ya ampun, ini nggak instagramable!" seru Nuri dengan gelengan kepala. "Aku maunya di atas."
Beberapa kali berkunjung ke sini, Nuri tahu tempat yang cocok dan biasa jadi penghias feed Instagram pengunjung tetap adalah lantai atas.
"Duduk," ujar Elang yang sudah duduk lebih dulu.
Karena Elang kelihatan tidak bisa ditawar, Nuri memilih mengalah dan duduk di depan laki-laki itu
"Mana laundry saya?" tanya Elang.
"Ini nggak ada basa-basi, makan dulu atau pesan minum gitu?" Nuri bertanya bersama kerjapan mata.
"Mana laundry saya, Nuri?" Elang mengulang pertanyaan yang sama.
Nuri menghela napas sebelum meletakkan paper bag di atas meja. Seketika Elang menarik paper bag tersebut, mengaduk-aduk isinya. Di sela-sela waktu yang sempit itu Nuri mengangkat tangan, setidaknya pesanan sang ibu harus dibawa pulang. Sekalipun ia berkunjung ke tempat ini sekadar untuk menyerahkan pesanan Elang.
Tapi kenapa juga Elang memilih tempat ini?
"Satu jaket saya nggak ada." Laki-laki itu melayangkan tatapan mengintimidasi padanya.
Setelah berdeham Nuri tidak langsung menjawab, Elang pun memilih menutup mulut karena pelayan menghampiri meja mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top