6. Penghuni Tetap Diary

"Morning, Kak Elang."

Sempat tersentak, Elang tetap mengikat tali sepatunya tanpa berniat mendongak. Ia dan kedua temannya keluar dari apartemen Gian sekitar pukul setengah enam pagi. Motornya sampai saat ini masih harus dirawat di bengkel, Elang lagi-lagi menumpang motor Satria untuk sampai di depan jalan menuju kost-nya. Kemungkinan besok atau lusa, motornya baru bisa dibawa pulang. Elang berniat membeli sarapan terlebih dahulu sebelum melanjutkan tidur sampai sore nanti, namun rasa malas sudah lebih dulu menang.

"Morning, Kak Elang," sapa cewek itu lagi ketika Elang berdiri.

Senyum Nuri enggan meluntur meski Elang tetap bergeming. Cewek itu mengenakan seragam sekolah lengkap dengan ransel di punggung, serta goodie bag di satu tangan. Padahal Elang tidak pernah memberi respon lebih, akan tetapi Nuri tidak juga jera. Beberapa teman Wendy, Satria dan Gian yang berjenis kelamin perempuan sangat mudah dibuat bosan sampai jera olehnya. Elang menghela napas sebelum bergeser selangkah, tapi Nuri justru mengikutinya.

"Eits, nggak boleh kabur dulu sebelum balas sapa."

Elang kembali bergeser ke arah semula dan Nuri masih mengikuti.

"Sarapan bareng yuk, Kak," ujar Nuri. "Aku masak nasi goreng loh ... Aku tahu Kakak pasti lagi cari sarapan kan?" Kemudian senyum melebar.

Demi dua kotak makan nasi goreng, Nuri rela bangun jam empat pagi. Ia sempat mengunjungi kost Elang, namun sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tidak ada tanda-tanda Elang akan membukakan pintu setelah ia mengetuk lima kali. Lalu Nuri memutuskan untuk langsung berangkat ke sekolah dengan berat hati. Nasi gorengnya bisa dibagi bersama Momo dan Sana atau bisa Nuri berikan pada penjaga sekolah. Akan tetapi, kali ini Nuri kembali membenarkan teori tentang jodoh pasti bertemu. Buktinya ia bertemu dengan tambatan hatinya di tengah jalan. Dan satu lagi, tak ada hal baik yang sia-sia di dunia ini.

Laki-laki itu masih saja sedingin es campur kesukaan Nuri. Namun, diamnya Elang masih membuat Nuri ingin terus bertanya, hari ini Elang akan pergi ke mana? Apa makanan kesukaannya selain kepala ikan kakap? Apa warna kesukaannya selain hitam dan biru? Dan masih banyak lagi. Nuri ingin tahu, semuanya. Ia sempat kehilangan jejak Elang Dirgantara setelah mengantar wali kelasnya ke tempat peristirahatan terakhir, sewaktu masih duduk di bangku SMP.

Hari itu ternyata ayah dari Elang Dirgantara juga dimakamkan. Sayangnya, hari itu pun bukan waktu yang tepat untuk menyapa pujaan hatinya. Mereka tidak saling mengenal dalam artian teman, tetangga atau saudara. Meski Nuri tentu saja sangat mengenal idolanya sendiri.

Nuri rela ditinggal teman-teman dan gurunya sekedar untuk melihat Elang dari kejauhan cukup lama. Sampai ia melihat laki-laki itu sempat bertikai dengan ibunya sebelum pergi. Nuri ingin sekali mendatangi Elang, mengucapkan bela sungkawa, menghiburnya. Namun sayang, waktu tidak memberikan Nuri kesempatan. Sekarang, Nuri sudah berdiri di depan laki-laki yang sejak dulu namanya sudah menjadi penghuni tetap diary-nya. Jadi ia akan melakukan segala hal yang tak dapat dilakukannya kemarin-kemarin.

"Minggir," kata Elang.

Nuri buru-buru menutup kedua telinganya. "Apa? Aku nggak dengar, Kak."

Elang berdecak, dari sekian populasi cowok di dunia ini, cewek itu pasti buta. Tanpa perlu berkaca, Elang tahu dirinya bukan orang-orang yang mampu menarik perhatian. Kecuali perhatian polisi, kalau ia bertransaksi secara terang-terangan. Lantas ia melewati Nuri begitu saja saat cewek itu lengah.

"Ya ampun, aku ditinggal lagi!" Nuri mengejar langkah Elang. "Kak Elang kenapa sih nggak mau nungguin Nuri?? Padahal kan Nuri selalu nunggu Kak Elang!" Seketika ia menepuk-nepuk bibirnya yang lupa direm pagi ini.

Magenta sudah berhasil dihisap cahaya matahari. Nuri juga berhasil menyamakan langkah Elang. Sebelum melakukan hal ini, Nuri sudah menghitung resiko keterlambatan tiba di sekolah. Waktu Nuri masih cukup mengejar perjalanan, sekalipun ia mampir ke kost Elang. Bagaimanapun caranya, kotak berisi nasi goreng ini harus berhasil pindah ke tangan Elang.

"Angkot adanya di sana." Elang mengarahkan dagunya ke belakang.

"Masa sih? Duh, aku amnesia dadakan, Kak," jawab Nuri sembari menahan senyum.

Elang melirik Nuri sambil mengangkat sebelah alis. Karena ada motor yang lewat, mau tak mau Elang menarik ujung lengan seragam Nuri hingga posisi mereka berpindah.

"Kak Elang," panggil Nuri.

Elang menggumam, tidak tahu juga kenapa ia jadi menanggapi cewek itu.

"Makasih, udah melindungi aku dari motor yang lewat."

Bibir Nuri melengkungkan pelangi saat mata mereka bertemu pandang. Dunia Nuri mungkin sesederhana goresan crayon di buku gambar anak TK. Elang belum pernah melihat pelangi itu sirna di wajah Nuri. Ah, kenapa juga ia harus peduli dengan senyum Nuri? Elang mempercepat langkahnya.

"Kak Elang, kok buru-buru lagi sih? Kebelet pipis ya??" Langkah kaki Nuri jadi berubah setengah berlari. Panjang kakinya dan kaki Elang jelas berbeda.

"Berangkat sekolah sana."

"Itu mah nggak perlu disuruh nanti juga aku berangkat." Nuri menyodorkan goodie bag kecilnya. "Terima dulu sarapannya, Kak."

Tiba-tiba Elang menghentikan langkahnya. Bukan karena ia ingin menerima kotak makan dari Nuri, melainkan sosok wanita yang baru saja keluar dari area kost-nya. Wanita itu mengenakan blouse dan celana bahan senada. Rambutnya digelung rapih, kacamata pun bertengger di hidungnya. Tak ada kata yang terlontar, tak ada sapa yang terdengar. Sendu berpendar dalam bola mata wanita itu, namun tidak dengan Elang. Kalau menusuk orang bisa dilakukan lewat sebuah tatapan, begitulah definisi yang terpancar dari bola mata Elang.

Sial, wanita itu berhasil menemukan tempat tinggalnya lagi.

Elang tidak memberikan wanita itu kesempatan untuk bicara sama sekali. Ia berbalik dengan langkah dua kali lipat lebih cepat dari sebelumnya. Ribuan hari yang terlewat belum mampu meredakan gemuruh dalam benaknya tiap menatap wanita itu. Atas nama segala rasa kecewa, ia masih membenci wanita itu.

"Kak Elang mau ke mana? Kok nggak jadi pulang?" tanya Nuri yang masih juga mengejarnya.

Elang mengabaikan gadis itu, otaknya dipaksa bekerja keras mengingat sesuatu. Apa yang membuat Bunda sampai di sini? Ah, ini pasti karena keteledoran Elang memakai ATM semasa sekolahnya. Ya, beberapa bulan lalu Bunda menemukannya di kost lama juga setelah Elang tak sengaja menggunakan ATM itu. Rekening tersebut dibuat atas nama ayah, Bunda selalu rutin mengisinya dan ia sendiri belum punya niat mematahkan ATM pemberian sang ayah. Elang pasti sudah menggunakan ATM itu di mini market sekitar sini sehingga Bunda berhasil menemukan kembali jejaknya.

Nuri ikut memasuki angkutan umum yang Elang hentikan. Bukankah wanita dengan setelan blouse kantoran tadi adalah ibu Elang? Wajah mereka agak mirip. Dalam hitungan detik, otak Nuri langsung menyimpulkan bahwa Elang memiliki masalah rumit dengan ibunya. Terlihat jelas dari gelagat mereka berdua. Kemudian kejadian di pemakaman yang masih terekam jelas dalam ingatan Nuri juga memperkuat kesimpulannya. Selain kehilangan ayah dan punya masalah dengan sang ibu, apalagi yang membuat Elang banyak berubah? Nuri ingin tahu.

Nuri menyentuh pelan lengan cowok di depannya. "Kakak baik-baik aja kan?"

Elang beralih dari kaca besar di sampingnya, menatap cewek itu lekat-lekat. Sejak tadi mobil Bunda tak nampak dalam jangkauan pandangannya. "Berhenti mengikuti saya dan simpan rasa penasaran kamu."

Nuri menghela napas. "Ini angkot ke terminal, Kak."

"Saya mau ambil laundry sore ini," ujar Elang usai kembali menatap jalanan.

Omong-omong kenapa Elang jadi mendadak menanyakan laundry? Selama Nuri mengantar laundry, Elang kelihatan tidak peduli terhadap baju-bajunya. Bahkan Nuri menyimpan satu kaus Green Day milik Elang dan laki-laki itu tak pernah bertanya sama sekali. "Belum bisa, kan tiga hari, Kak."

"Saya nggak mau tahu, nanti sore saya tunggu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top