5. Nenek Lampir 365

Bir kaleng di samping kaki Elang adalah kaleng ketiga yang sudah tandas. Ya, lemari es di apartemen Gian sudah mirip gudang mini dari minuman itu. Jajaran bir kaleng merupakan isotonik terbaik katanya. Elang berniat mengambilnya lagi, namun kakinya malas melangkah. Lampu jalanan di sana seolah menjadi pemikat baginya. Gian meminta mereka bertiga untuk datang setengah jam lalu tanpa menyebutkan maksud saat menelepon. Kalau sudah seperti itu berarti ada kabar kalau barang yang dikirim dari luar negeri gagal lolos atau ada anggota yang tertangkap.

"Masuk, Lang, hobi banget lo angin-anginan. Kalau cuma ngerokok mah di dalam aja," kata Gian.

Elang mengangguk dan beranjak dari balkon, mengekori Gian menuju ruang tengah. "Cewek lo udah tidur?" Ia bertanya karena perempuan itu tidak ada di sekitar Gian.

Cowok itu terkekeh. "Udah. Wendy tadi datang tanpa kasih kabar. Ya, jadi gue ngurusin dia dulu."

"Iya, enggak apa-apa."

Gian dan Wendy, dua sejoli yang dapat diibaratkan sebagai Bonie dan Clyde versi Bandung. Awalnya Elang, Satria dan Gian berjalan sendiri-sendiri sebagai bagian dari Kaki Utara, posisi mereka pun tadinya 50% pengguna dan 50% pengedar. Namun semenjak Gian mengenal Wendy, dia mengajak Elang dan Satria membentuk komplotan kecil yang perlahan mengubah mereka menjadi 30% pengguna dan 70% pengedar.

Elang pernah mengalami sakau saat proses peralihan dari pemakaian ekstasi-psikotropika golongan I ke dumolid.

Jenis narkoba dibagi menjadi tiga, yakni narkotika, psikotropika dan obat-obatan terlarang dari zat adiktif. Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis. Kemudian psikotropika merupakan zat atau obat alamiah bukan narkotika. Keduanya terbagi menjadi tiga golongan. Peralihan yang terpaksa Elang lakukan berawal dari serbuk-serbuk dan pil kebahagiaan yang belum bisa beredar karena pengirimannya terhambat. Barangnya belum sampai ke tangan Serigala. Elang tidak keluar dari kost sama sekali, keringat dingin bercucuran sampai semua tubuhnya terasa ditusuk-tusuk.

Di saat itu bayang-bayang sang ayah dan ibu menghantui Elang. Katanya, orang yang paling kita benci dan cintai adalah orang yang paling melekat di dalam ingatan. Elang benci mengakuinya, namun itu benar. Elang seolah kembali ke masa di mana ia mengantar mendiang ayah ke rumah sakit, hari di mana ayah membujur kaku, lalu hari di mana ia memutuskan merusak diri sendiri.

Kemudian di saat yang bersamaan juga, ia merasa sang ibu seolah ada di depannya. Bayangan mereka muncul silih berganti dan denyutan nyeri di kepalanya menjadi semakin parah. Selama bertahan, yang Elang lakukan hanya terus membenturkan dahi ke dinding diiringi serentetan makian. Tidak peduli dahinya akan memar atau kepalanya bocor sekalipun.

Sampai di hari kedua Elang meminta bantuan Gian dan Satria lewat telepon, karena ia sudah merasa tidak sanggup. Kedua temannya itu membawanya ke apartemen Gian dan memanggil dokter langganannya. Sempat menjalani rawat jalan, namun Elang merasa belum mampu melewati itu. Pada akhirnya, sejenis obat penenang bernama dumolid menjadi peralihannya. Penderitaan Elang adalah penderitaan mereka juga, masalah Gian adalah masalah mereka juga, begitupun dengan kesusahan Satria. Ibaratnya, pertemanan di antara mereka memang sudah berlandaskan kata sehidup semati.

Biar bagaimanapun, serusak apa pun, sesuram apa pun Gian dan Satria. Bagi Elang mereka adalah wujud nyata dari arti kata teman.

"Mau ngomongin apaan sih, Yan?" tanya Rai setelah melihat Gian yang berjalan di samping Elang.

"Pemerintah udah mengecat ulang tembok," jawab Gian setelah ikut duduk di sofa.

Rai tertawa sambil mengusap hidung. "Lah terus apa hubungannya sama kita?"

Satria tiba-tiba memukul kepala Rai. "Kalau belum tahu mingkem aja!"

"Kita mau pilok ulang dari mana dulu?" Elang bertanya. "Tempat main anak-anak Taipan yang paling ramai?"

Gian menjentikkan jarinya. "Tempat nongkrong gue sama Wendy nggak usah dihitung. Coba gue lihat peta wilayah kita yang kemarin-kemarin, Lang."

Kemudian Elang merogoh saku jeans, ia membuka peta wilayah yang disimpannya dalam dompet. Elang sengaja tidak menyimpannya di memori ponsel demi keamanan. "Nih."

Coretan grafiti di dinding fasilitas umum mungkin terlihat sebagai coretan tanpa makna bagi orang awam. Namun bagi kalangan mereka, coretan tersebut adalah tanda perbatasan wilayah. Ketika pemerintah sudah melakukan pengecatan ulang, maka mereka juga akan melakukan pencoretan ulang. Bukan apa-apa, mereka bisa saling bertikai bahkan kehilangan lapak tanpa coretan grafiti itu.

Atas nama barang dan uang, mereka siap melakukan apa saja.

"Kita ganti formasi ya," kata Gian setelah melihat peta wilayah Bandung utara.

"Gue nggak mau pegang 365 lagi, Yan, tolong," kata Satria.

365 merupakan salah satu tempat karaoke besar yang terletak di perbatasan Bandung utara dan selatan. Tadinya, pemasaran mereka di diskotik--dan tempat-tempat lainnya kecuali hotel--dibagi tiga berdasarkan jadwal yang disepakati. Hadirnya Rai sebagai anggota baru kemungkinan akan mengubah banyak hal. Elang lebih banyak bergerak di jalanan dan diskotik, ia tidak pernah menyentuh tempat karaoke apalagi panti pijat, itu jatah Satria.

Khusus untuk transaksi di ballroom hotel dan diskotik ternama harus dilakukan dengan formasi lengkap. Karena anak-anak Pejabat dan Taipan mengadakan pesta di sana, dalam artian transaksi tersebut berjumlah besar. Selain mereka bertiga, ada Wendy yang bertugas menjadi penata rias. Mereka semua akan memakai jas dan pulpen di saku sebagai tanda pengenal komplotan kecil mereka. Di tempat-tempat lain terutama saat kegiatan mencoret tembok, barulah mereka memakai jaket yang menjadi tanda pengenal keanggotaan Kaki Utara. Hukum rimba masih berlaku di jalanan.

"Kenapa? Lo kan udah klop di 365." Elang menyahut, mendadak ia khawatir jika posisi Satria ditukar dengannya.

"Kalian ngomongin apaan? Gue nggak paham, asli." Rai mengambil peta dari tangan Gian, kertas itu lusuh karena lipatannya kecil. "Ini wilayah Kaki Utara ya?"

"Dari tadi kita memang ngomongin itu sama formasi kerja, Belegug!" sahut Satria sebelum mendengus keras.

Rai melirik Satria tajam. "Ari maneh teh kunaon Bang Sat?? Kalem lah."

"Kecilin suara lo, Wendy baru tidur," kata Gian yang menginterupsi perdebatan antara Rai dan Satria.

"Pokoknya gue nggak mau di situ, Yan. Nenek Lampir pemilik tempat itu tangannya hobi gerayangan tiap duduk di samping gue, paha gue dielus-elus! Kalau nggak ingat dia yang punya tempat aja udah gue tembak kali!" Satria bergidik.

"Kan lo playboy tingkat Dewa, Sat, harusnya lo menikmati." Elang menarik kedua sudut bibir disusul tawa Gian dan Rai.

"Mata lo sowek, yang ada gue trauma!" Satria beralih menatap Gian. "Yan, pokoknya gue nggak mau di situ!"

Gian menghela napas lalu menyandarkan punggungnya. "Gini, Sat, masalahnya lo itu yang paling ganteng di antara kita berempat. Ini gue ngomong jujur nih, bener nggak, Lang?"

Elang mengangguk menyetujui.

"Halah sampah!" Satria menuding wajah Elang. "Dia aja nih, tampangnya juga punya potensi memenangkan hati nenek lampir."

"Tapi kita satu lawan satu dulu di lapangan tembak, Sat, baru gue mau," sahut Elang santai.

"Malas gue main tembak-tembakan sama lo, mending lo nembak cewek aja biar sembuh, Lang! Kalau nggak Rai aja nih, dia bibit laki-laki berengsek terbaik." Satria menyandarkan punggungnya di sofa.

Merasa tidak terima dibilang berengsek, Rai menggebrak meja. "Mon maap ya Bang Sat. Lo berengsek, gue berengsek, kita semua berengsek, Man!" Lalu merentangkan tangannya dengan bangga.

"Cewek sekelas Nenek Lampir nggak suka yang dingin-dingin kayak es doger sejenis Elang Dirgantara, Sat. Nanti gigi dia ngilu," ujar Gian. "Dan Rai terlalu bocah untuk jadi berondong-berondongan. Udah pasti dia lebih jatuh hati sama lirikan maut lo."

Satria kembali bergidik sebelum berkata, "Dia bukan cewek, Yan! Kulitnya pada kisut kalau perlu gue ingatkan!"

Mendengar ketidakrelaan Satria di formasi lama, Elang merebut peta dari tangan Rai lalu memperhatikannya baik-baik. Titik fokusnya jatuh pada tempat karaoke yang mereka bicarakan. "Kalau gue lihat, tempat karaokenya hampir memasuki wilayah selatan. Gimana kalau kita barter aja sama anak Kaki Selatan?"

"Bisa, bisa." Gian menyetujui.

Kemudian mereka membicarakan dinding mana saja yang akan dicoret. Warna dasar yang mereka pakai untuk kode nama gangster dan arah mata angin tidak pernah berubah, yakni biru tua dan merah. Seperti biasa, daerah pertama dimulai dari area yang berbatasan dengan wilayah timur.

Uang dan barang memaksa otak mereka untuk mau bekerja sedikit saja. Di antara mereka berempat, hanya Rai yang masih memakai sabu, anak itu memang masih pemain baru. Sementara Elang, Gian, dan Satria sudah lebih dulu merasakan detik-detik di mana nyawa seperti mau dicabut dari raga. Mereka bertiga sudah sama-sama beralih ke dumolid.

Akan tetapi, memang begitu cara narkoba menjerat korbannya. Mereka saling menjerumuskan satu sama lain. Mereka saling menawarkan rasa bahagia dan kebebasan, lewat secawan racun mematikan yang katanya berasal dari sungai di surga. Mereka berpendapat bahwa itu adalah cara untuk membahagiakan diri, namun kenyataannya adalah sebaliknya.

"Omong-omong cewek yang di rumah makan itu adek kelas lo waktu dulu?" Satria bertanya.

"Bukan," jawab Elang yang kini merebahkan tubuhnya di sofa. Sebelah lengannya digunakan menutupi mata dan kening.

"Lah terus?"

Gian sudah masuk ke kamarnya, sedangkan Rai sudah lebih dulu memaksakan diri untuk pulang. Tersisa Elang dan Satria di ruang tamu bersama kulit kacang yang berserakan.

"Ya, nggak ada terusannya."

Satria berdecak karena jawaban Elang cukup menjengkelkan. "Maksud gue, selain doi anak pemilik rumah makan. Lo punya hubungan lain sama doi?"

"Nggak ada, yang gue tahu dia kurir laundry."

Tawa kecil lolos dari Satria. "Masa? Gue rasa dia orang yang berkecukupan untuk jadi kurir laundry. Paling itu cuma akal-akalan karena naksir setengah mati sama lo."

Elang tidak begitu peduli tentang motivasi Nuri menjadi kurir laundry selama privasinya terjaga. Sebab urusan laundry sudah satu paket dengan layanan kost, ia hanya mengikuti alur supaya tidak dicurigai. Selain itu kost-nya merupakan area bebas, pemiliknya hanya butuh sokongan uang perbulan tanpa peduli siapa yang menempati dan apa yang mereka lakukan di kost. Elang selalu berpindah-pindah tempat tinggal dalam hitungan bulan, tergantung dari kabar anggota yang tertangkap. Alasan lainnya, supaya dapat menghindari sang ibu.

"Gue nggak peduli. Lo diam, Sat, gue mau tidur," sahut Elang sebelum terlelap.

***

Terima kasih sudah mampir 💞💞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top