3. Kaki Utara

"Kak Elang!" panggil Nuri yang suaranya melengking.

Nuri berlari mengejar laki-laki yang memakai hoodie berwarna navy itu. Elang kelihatan berjalan santai, tetapi napas Nuri tersengal-sengal karena mengejarnya. Cewek itu benci pelajaran olahraga, terutama berlari. Hanya saja untuk yang satu ini, boleh dicoret pulpen merah. Ia rela sesak napas, bercucuran keringat, melewati halang rintang tukang batagor, dan rujak yang lewat demi mengejar Elang.

Elang mendengar teriakan itu, tetapi memutuskan tetap berjalan tanpa berniat menoleh, menunggu, apalagi berbalik. Ia tidak mengerti dengan Nuri. Mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Akan tetapi, cara cewek itu mengajak Elang bicara seolah menyiratkan mereka sudah lama kenal. Ya, mungkin spontanitas gadis itu bisa jadi pemicunya. Sayang, ia tidak dapat memberikan balasan seperti yang cewek itu harapkan.

Jika mengingat sang ibu, Elang jadi enggan berurusan dengan makhluk bernama perempuan.

"Ya ampun, Kak Elang, tega banget ... nggak mau nungguin masa."

Sembari menyamakan langkah, Nuri mengelap kacamatanya yang mendadak buram karena efek berlari. Setelah turun dari angkutan umum di depan gang, ia membeli makanan kesukaan Mama terlebih dahulu. Astaga, cowok itu sudah mirip robot berjalan. Jangankan menunggunya, menoleh saja enggan.

"Aku tadi beli cilok dulu buat Mama. Tukang cilok di depan gang tadi rasanya numero uno loh, Kak. Kalau Kak Elang sukanya makan apa? Aku nggak menemukan makanan favorit kakak di facebook sih."

Elang menulikan telinga. Selain itu, ia tidak tahu harus menyahut apa. Nuri bukan golongan orang-orang yang masuk ke radarnya.

"Tapi aku beberapa kali lihat Kak Elang minum susu beruang sebelum masuk arena pertarungan sewaktu dulu." Cewek itu menyebut ruang olimpiade sebagai arena pertarungan. Nuri menyisipkan tawa kecil sebelum melanjutkan, "Aku sempat mengira kalau itu jimatnya Kak Elang. Terus sempat aku ikuti juga, tapi beneran deh rasanya terlalu tawar. Aku lebih suka yang manis-manis gitu."

Seumur hidup, Elang baru tahu kalau ada yang mau repot-repot memperhatikannya sedetail itu. "Nuri," panggilnya agak ragu. Kemudian langkah kaki mereka terhenti secara bersamaan.

Nuri menoleh bersama senyum madunya. "Iya, Kak?"

"Kita nggak saling mengenal. Jadi berhenti--"

Kalimat Elang terpotong karena Nuri menjabat tangannya. "Kak Elang Dirgantara kan? Namaku Nuri Syahda Rayina, Kakak bisa panggil aku Nuri. Aku sekolah di SMA Rancamaya. Rumahku masih lima rumah lagi dari sini, pagarnya cat hijau. Aku suka banget es campur, tapi nggak suka kalau orang ikut campur urusanku." Caranya bicara sudah mirip rapper.

Siapa juga yang mau tahu? Elang menarik tangannya lalu meninggalkan cewek itu. "Berhenti mengikuti saya, Nuri."

"Kakak gimana sih, kita 'kan searah masa aku dibilang penguntit?" Nuri menyembunyikan senyumnya. Mau berapa kali Elang mengusirnya, mau sekesal apa pun cowok itu, Nuri akan tetap kembali.

Elang mengabaikan cewek itu. Hening tercipta di antara mereka, sebab mulut Nuri yang mirip knalpot bajaj berhenti berceloteh. Setidaknya untuk sekian menit, hingga mereka sampai di depan sebuah rumah yang pagarnya berwarna hijau.

"Kak Elang, makasih ya udah nganter aku pulang."

Sebelah alis Elang terangkat tinggi-tinggi. Rasanya ada yang salah dengan cewek itu, kemungkinan otaknya mengalami kerusakan parah. Ajaibnya meski Elang masih saja mengabaikan, Nuri tetap melambaikan tangan di depan pintu gerbang bersama senyum lima jari.

***

"Lo baik-baik aja?" tanya Gian.

Elang pikir yang mengetuk pintu secara tidak manusiawi adalah Nuri si kurir laundry. Namun, setelah pintu terkuak ia justru menemukan Gian, Satria, dan Rai. Elang menatap tiga laki-laki itu satu per satu lalu mengernyit.

"Masuk angin doang," jawabnya.

Seketika Satria mendorong mereka semua masuk dan menutup pintu. "Kata si kutu kupret, lo sekarat karena sakau. Makanya gue sama Gian ke sini!" Satria berbisik keras.

"Terus lo percaya?" tanya Elang.

Gian memindai Elang dari ujung kepala hingga kaki. "Wah, sialan." Laki-laki itu berkacak pinggang sambil mengumpat lalu memberi kode lewat mata pada Satria. "Hajar!"

Setelah mengangguk cepat, Satria memiting Rai yang berdiri di belakangnya dan Gian. Sementara Elang sudah jelas-jelas menangkap basah senyum jail Rai, tetapi mengabaikan.

Mereka punya perjanjian tidak tertulis. Jika ada yang mengalami sakau atau overdosis, sebisa mungkin mereka memberikan pertolongan pertama sebelum dilarikan ke rumah sakit. Selain bentuk solidaritas dan rasa setia kawan, pecandu akan sangat mudah terdeteksi di area rumah sakit. Hal semacam itu berbahaya untuk keamanan rahasia mereka. Tentu pecandu seumuran Rai yang masih belum mempunyai KTP akan lebih mudah bebas daripada mereka bertiga. Ada undang-undang perlindungan anak di belakang Rai.

"Arrgghh ... aku tidak akan menyerah pada kehidupan ini!" seru Rai yang berusaha berontak dari pitingan Satria, sayangnya Gian berhasil membekapnya dengan kaus kaki.

Sudah jadi rahasia umum kalau aroma kaus kaki Gian dapat menewaskan populasi Gajah di Way Kambas. Entah ada masalah apa dengan kaki Gian, padahal jedanya mengganti kaus kaki sangat normal. Lalu yang terjadi setelahnya, Rai memuntahkan isi perut di kamar mandi diiringi tawa teman-temannya.

"Jangan ketawa, Lang, entar lo mati lagi," sindir Rai setelah keluar dari kamar mandi. "Lo 'kan jarang banget ketawa, serius, gue khawatir nih." Ia menyeka sudut bibir dengan punggung tangan, lalu bergabung duduk di karpet.

"Ketawa doang nggak akan bikin dia mati, Rai. Kecuali kalau ada cewek yang berhasil bikin dia rela mati, tandanya kita udah dekat sama liang lahat," sahut Gian.

"Kita? Lo aja kali, Yan!" Satria melempar kacang ke arah Gian.

Rai mengusap dagu dramatis. "Bisa jadi sih, dia 'kan yang nggak pernah gesek tisu magic di antara kita." Kemudian Rai menatap Elang lekat-lekat. "Lo normal kan, Lang?"

Elang berdecak, menahan makian yang hendak terlontar. "Gue normal, tapi bukan maniak tisu magic."

Gian menepuk bahu Elang. "Lo bilang begitu karena belum mencoba." Suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan. "Cewek punya sesuatu yang lebih candu tiga kali lipat dari sabu-sabu sama kokain, hati-hati."

Mereka tengah duduk membentuk lingkaran kecil bersama berbungkus-bungkus kacang dan sprite yang dibawa Rai. Anak itu seperti sudah merencanakan semuanya dengan apik. Awalnya Rai menelepon Elang, katanya dia bosan karena semua teman-teman sekolahnya mulai kembali ke jalan yang lurus. Sementara dia masih ingin bersenang-senang dibanding mencari sekolah baru yang mau menerima siswa berlencana drop out.

"Jangan bilang selama ini lo gabung cuma buat menutupi orientasi seksual lo." Kini Satria melirik Elang sekilas lalu terbelalak. "Wah, Yan, kayaknya gue mau pindah ke grup kota sebelah."

Gian menyeringai karena ucapan terakhir Satria. "Langkahi dulu mayat Serigala Bandung, baru lo pindah grup kota sebelah."

Mendengar itu, Satria menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Bercanda elah."

Serigala adalah sebutan untuk kepala bandar yang tersebar di seluruh kota. Setiap Serigala memiliki Tangan Kanan dan Kiri yang membawahkan dua dari empat arah mata angin. Jadi, Elang, Gian, dan Satria adalah anggota Kaki Utara dari Serigala Bandung. Minggu ini mereka baru saja berhasil merekrut Rai sebagai anggota Kaki Utara.

Ada peraturan tidak tertulis di antara kawanan Serigala, mereka dilarang keras menjual barang yang melewati perbatasan wilayah. Pertikaian hingga baku tembak dan bakar-membakar dapat terjadi karena pelanggaran itu. Kemudian peraturan tidak tertulis lainnya, jika berniat keluar dari komplotan sama saja dengan siap mati. Ketika mereka tertangkap oleh polisi, mereka harus mengaku sebagai bandar.

Sedikit informasi dari mulut ke mulut, bandar di luar negeri menyelundupkan barang dagang mereka ke dalam handuk. Serbuk sabu-sabu dan kokain dibuat menempel pada setiap handuk dengan warna acak dan terdapat kode tertentu di bagian merk. Pengirimannya beberapa kali berhasil lolos dari pemeriksaan, tetapi kemungkinan akan ada strategi penyelundupan lain supaya tidak mudah terbaca. Selain itu, uang memang masih memenangkan segala pertaruhan di dunia ini. Mereka menjual sabu-sabu per 0.50 gram seharga satu juta rupiah, sementara kokain dihargai dua juta lima ratus ribu rupiah per 0.50 gram.

Jatah penjualan Elang dan Satria biasanya 15 gram sabu-sabu ditambah 2,5 gram kokain. Sedangkan Gian, jatah penjualannya mencapai 20 gram sabu-sabu dan 10 gram kokain. Pasaran terbesar mereka meliputi anak-anak Pejabat dan Taipan, relasi yang berasal dari lingkup pertemanan Gian maupun Wendy. Transaksi mereka kebanyakan dilakukan di diskotik, tempat karaoke, hotel, sampai panti pijat plus-plus.

"Selasa besok jadi 'kan, Yan, ke Anyer?" Rai bertanya pada Gian.

"Undur dulu, gue ada masalah sama Wendy," jawab Gian santai, tanpa peduli perubahan raut bocah berseragam putih-abu di sebelahnya.

Rai langsung membanting ponsel, ia menatap Gian sendu. "PHP lo! Gue udah beli banyak tisu magic tahu!"

Elang menggelengkan kepala melihat reaksi berlebihan dari Rai. "Isi otak lo tisu magic doang, Rai."

"Ya, wajar, Lang, gue 'kan punya Jani. Kalau gue jomlo kayak lo baru dah solo." Rai berdecak seraya kembali menatap Gian. "Lo ada masalah apa? Selesaiin aja sekarang! Gue bantu!"

Gian melirik Rai. "Bukan urusan lo ya bocah."

Jentikkan jari Satria mengalihkan perhatian mereka. "Cabut lah, gue lapar. Si Elang pasti cuma punya mie instan di sini."

"Sat, lo nggak punya niat bujuk si Gian apa??" tanya Rai pada Satria yang langsung dibalas kibasan tangan.

Lantas mereka beranjak menuju pintu, Satria yang memimpin jalan. Beberapa langkah di depan pintu, Elang memikirkan tempat makan yang akan mereka kunjungi. Secara otomatis, ia mengingat rumah makan yang paling dekat dari sini. Rumah makan Bu Ranti akan menjadi tempat makan terakhir yang Elang datangi jika bumi dan seisinya sudah hangus terbakar. Sejak bertemu Nuri, ia selalu membeli makan di tempat lain.

Alasannya sepele, Elang malas mendengar ocehan Nuri yang seramai pasar Tanah Abang menjelang Hari Raya.

Meski sebenarnya Elang belum pernah bertemu Nuri di sana. Hanya saja sekaleng susu beruang yang tak pernah absen ada di kantong plastik, menurutnya adalah tanda keberadaan cewek aneh itu. Iya, meski enggan menanggapi, Elang justru mengingat detail setiap ocehan Nuri yang mengetahui hal-hal sepele tentangnya. Sesepele susu beruang sebelum masuk ruang olimpiade.

"Eh, jangan makan di rumah makan Padang sana. Cari yang lain aja, jauh dikit," kata Elang.

"Ada yang dekat ngapain cari yang jauh? Aneh lo!" Satria menyahut.

"Yang punya bukan orang Padang, rasanya kurang enak," kata Elang lagi.

"Peduli kampret, Lang, mau yang masak orang Padang atau bukan intinya makan nasi Padang," celetuk Gian. "Lo masalah makan aja ribet kayak cewek."

Mereka bukan pemilih makanan atau tempat makan. Akan tetapi, demi menyelamatkan diri dari bahan ejekan, Elang tetap berusaha menyetir teman-temannya. "Gue cuma kasih saran. Lagi pula udah sore, paling juga udah habis."

"Jangan-jangan lo punya daftar utang ya, Lang? Makanya nggak mau ke sana," sambar Rai, bocah itu memainkan alis ketika Elang menatapnya tajam.

Gian berdecak. "Berapa sih utang lo? Bikin malu anggota Kaki Utara aja."

"Dua puluh lima juta," jawab Elang asal.

Tawa Gian pecah. "Bokis lo kurang cerdas, Ndro! Gue jadi semakin penasaran nih ada apa di sana."

Elang tak menanggapi tawa Gian, akhirnya ia mengalah saja mengikuti teman-temannya. Di tengah perjalanan ia melirik ponsel, waktu menunjukkan pukul empat sore tepat dan ini hari Rabu. Tanpa sadar, Elang teringat ocehan Nuri saat bertemu di bus.

Ah ya, hari Rabu gadis itu masih di sekolah karena latihan OSN!

Kalau begitu semua aman terkendali, Elang sudah terbebas dari bahan ejekan para pemuda tersesat ini. Langkah kakinya mendadak ringan, ia menarik napas lega ketika mereka telah mencapai pintu masuk rumah makan. Jajaran lauk yang menggiurkan di etalase besar, seketika mengundang selera makannya sampai ....

"Kak Elang!"

Ah, sial.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top