1. Kurir Laundry

Suara ketukan keras, membuat Elang mau tidak mau beranjak dari tempat tidur. Ia keluar dengan langkah teratur, melintasi ruang tamu dan dapur yang menyatu. Begitu sampai di depan pintu, ia menarik gagangnya sambil memijat pangkal hidung. Terik matahari menyilaukan langsung menerjang pandangan. Setelah menyipitkan mata demi menghalau silau. Elang menemukan seorang cewek berambut panjang sepunggung yang menenteng kotak makan susun berwarna merah. Senyumnya lebar dengan sorot mata secerah mentari pagi.


Cewek itu mendorong kacamata frame warna ungu yang bertengger di hidung. Senyum lebar masih menghiasi wajahnya. "Siang, Kak. Saya Nuri, anak Bu Ranti."

Nuri? Ternyata orang tua Elang bukan satu-satunya manusia di muka bumi yang menjadikan jenis burung sebagai nama anak. 

"Mau antar makan siang, Kakak," lanjut Nuri

Elang mengernyit. Ia merasa tidak pernah memesan makan sampai minta diantar ke kos. Apalagi berbasa-basi dengan orang-orang sekitar tempat tinggal. Elang mengenal Bu Ranti, pemilik rumah makan di seberang jalan sana. Perempuan paruh baya itu sangat ramah. Ia seringkali membeli makan siang di sana jika mi instan dua bungkus belum juga mengenyangkan.

"Saya nggak pesan makan apa-apa."

Masih dengan senyum di bibir, cewek itu kembali berujar, "Kata Ibu, saya diminta mengantar makan ke sini. Mungkin Kakak lupa kalau sudah pesan."

Ya, terserahlah. Apa pun itu supaya cewek ini segera enyah. Elang butuh melanjutkan tidurnya. "Terima kasih."

Elang menerima uluran kotak makan itu. Sekian puluh detik terlewat, Nuri masih saja setia berdiri di depan pintu bersama senyum lima jari.

"Apa lagi?" tanya Elang.

Mata Nuri bergerak gelisah ke kiri dan kanan. "Hmm ... kata Mama, saya diminta sekalian cuci piring di dapur Kakak."

Elang mengernyit lagi karena permintaan aneh itu. Untuk apa Bu Ranti repot-repot menyuruh anak gadisnya mencuci piring di sini? Kenapa juga cewek itu tidak menolak perintah ibunya yang aneh? Lagi pula, Elang bukan kakek-kakek berumur sekian abad yang butuh bantuan sesepele itu.

"Nggak ada piring yang harus dicuci. Kamu bisa pulang sekarang."

Nuri mengangguk. "Ya udah, saya pulang ya, Kak. Selamat makan siang."

Elang menutup pintu. Baru saja ia berbalik untuk meletakkan kotak makan, ketukan keras di pintu kembali terdengar. Ketika membuka pintu, cewek tadi ternyata masih berdiri di sana bersama senyum lima jari.

"Apa lagi?"

"Dahi Kakak memar, boleh saya obati?" Kali ini kedua alis Elang menukik tajam. Tatapannya siap membelah durian menjadi dua hingga lima potong. "Sekalian mau ambil laundry juga, tadi lupa."

Area kos yang Elang tinggali memberikan jasa laundry jika berkenan menambah biaya. Biasanya orang yang menjemput laundry ke tiap pintu adalah si wanita tua bermulut petasan. Malas menelaah terlalu jauh, Elang berkata, "Tunggu sebentar."

"Kak," panggil gadis itu.

Panggilan itu berhasil menghentikan langkah Elang. Ia pun berbalik. "Apa lagi?"

"Boleh masuk, nggak? Kaki saya pegal banget." Nuri meringis sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Duduk." Elang mengarahkan dagu ke karpet di ruang tamu sempitnya.

Setibanya di kamar, Elang meraih kantung plastik hitam besar yang kebetulan ada di kasur. Ia lantas memasukkan kaus, jeans, dan hoodie yang berserakan bak sampah. Matanya pun mengarah ke belakang pintu lalu ia mengambil secara asal beberapa jaket yang tergantung tidak keruan. Entah sejak kapan barang-barang itu digantung dan terakhir dicuci.

Keadaan kamar itu mirip seperti hidupnya. Berantakan.

"Nih." Elang menyerahkan kantung berisi pakaian kotor pada Nuri.

C

ewek yang mengenakan kacamata dengan frame berwarna ungu itu bergeming. Elang pun mengikuti arah pandang cewek itu. Fotonya bersama ayah sekian juta hari lalu saat mengenakan medali. Raut wajah Elang di sana tampak bahagia dan ayah merangkulnya penuh bangga. Hanya satu foto itu yang ia bawa ke mana pun, meski tujuan utamanya adalah sebagai bentuk kamuflase. Foto itu tetap berharga.


"Kamu lihat apa?"

Suara Elang yang sengaja mengeras membuat cewek itu menoleh. Senyuman yang terlihat begitu tulus menyapa, tetapi ia malas menyambut.

"Nggak ada, Kak." Nuri beranjak meraih plastik hitam itu dari tangannya. "Laundry-nya tiga hari lagi ya, Kak."

***

Orang itu terlambat lima menit, pikirnya.

Di sebuah gang sempit dengan pencahayaan yang minim, Elang mengembuskan asap rokok. Permukaan jalanan menjadi sedikit basah karena gerimis. Sesekali ia melirik sekitar lalu kembali menyelipkan batangan rokok di bibir. Orang-orang pasti akan berpikir dua kali untuk keluar rumah dengan kondisi jalanan dan udara semacam ini. Namun, tidak dengan Elang, cowok itu memiliki janji khusus.

Belum lama mengecek ponsel, orang yang ditunggu tiba. Elang membuang puntung rokok lalu menginjaknya. "Lo ke sini naik kura-kura?"

Rai tertawa. "Baru juga berapa menit, Bro."

Mereka mulai berjalan beriringan, menyusuri jalan yang dihiasi penerangan seadanya. Elang melirik Rai yang sekarang menyelipkan rokok di bibir. "Gue baru kali ini dapat pembeli, tapi kasbon." Ia lantas menyerahkan korek gas dari saku hoodie.

Rai berupaya menyalakan korek itu. "Mati nih, Bro." Alih-alih membuang, laki-laki itu memasukkannya ke saku jeans. "Kita kan teman lama, Lang. Masa lo nggak percaya?"

Usai berdeham, Elang menyerahkan korek gas kedua. "Bisnis itu nggak kenal teman, nggak kenal keluarga. Barang yang dibeli, ya dibayar. Kenapa lo nggak ikut gabung kalau gitu? Lo bisa dapat barang gratis."

Api muncul dari korek gas kedua. Rai menyesap rokok sambil berkata, "Gue belum berani."

Elang tertawa sinis. "Lo udah terjun bebas ke jurang, tapi masih bilang belum berani."

"Lo sendiri sampai kapan begini?"

Sampai kapan? Elang mengulang pertanyaan itu di kepala. Ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Maksud Rai, sampai kapan ia akan menjalani hidup seperti ini? Entahlah. Kenapa juga harus ada sampai kapan? Hidup Elang sudah terbiasa berjalan tanpa rencana masa depan dan semua aman-aman saja.

"Kenapa?" Akhirnya Elang bertanya setelah pikirannya berhenti berkelana.

Rai mengedikkan bahu. "Gue cuma mau memastikan tempat langganan kasbon gue langgeng."

"Sampai mati kalau gitu."

"Ide bagus tuh."

Kemudian mereka tertawa. Sesingkat itu transaksi yang biasa Elang lakukan di berbagai tempat. Sesepele kamuflase peminjaman korek. Jadi korek yang pertama Rai terima sejatinya berisi sabu-sabu. Cowok itu merupakan salah satu konsumen tetapnya. Kematian sang ayah adalah pemicu perubahan besar Elang. Dari sosok jenius dengan segudang prestasi menjadi sosok berkelakuan minus.

Tidak ada alasan khusus, Elang hanya merasa puas telah membuat ibunya malu dua tahun belakangan ini. Jenis pil kebahagiaan yang biasa ia konsumsi selalu sukses menghilangkan sejenak berbagai rasa tidak nyaman. Ia pun tak mempunyai alasan keluar dari dunia gelap itu.

Elang tidak peduli pada pendapat orang apalagi cemoohan, sindiran dan tatapan sinis untuk membuatnya bertahan hidup. Ini hidupnya, semua berjalan sesuai berapa bungkus rokok dan obat yang ia butuhkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top