9. Meraih Keabadian

Meraih Keabadian

Dalam Event Bulan Januari 2021 - Montase Aksara

Tema: A Brand New Life!


Umur adalah permasalahan bagi manusia yang menginginkan hidup abadi, manusia yang gila akan dikenang, juga manusia yang takut akan kematian. Ya, itu aku. Tahun berganti tahun, aku merasa dikejar sesuatu yang mereka sebut waktu. Aku merasa sesak, merasa baru saja kemarin merasakan air susu ibu dan belaian penuh semangat dari ayah agar aku tidak jatuh saat belajar berjalan. Semua begitu cepat berlalu, aku tidak menyangka sudah melewati masa balita, sekolah, kuliah, kerja, hingga terkena gangguan mental lalu memutuskan untuk tidak bekerja lagi sampai kelak kondisiku stabil.

Kulihat cermin di perjalanan pulang. Aku melihat diriku yang menghancurkan barang, banyak barang. Kulihat juga diriku yang mengamuk tanpa bisa terkendali. Aku melihat diriku yang melukai orang tuaku dan orang-orang terdekat. Mereka tidak salah, aku yang kelewat menyebalkan. Kulihat diriku mempermalukan dirinya di rumah sakit dan aku tidak bisa mengendalikannya. Banyak hal yang tidak bisa kukendalikan dan aku takut akan itu, termasuk kematian. Baik kematianku atau kematian orang-orang di sekitarku. Setelah semua kekhawatiran itu, aku harus tetap hidup.

Besok adalah pergantian tahun. Aku merasa baru kemarin mengucapkan "kamu sudah berjuang keras sampai tahun ini, semoga kamu bisa bertahan sampai tahun berganti kembali" kepada diriku sendiri tahun lalu. Dan kurasa aku tidak menjalankan tahun ini dengan baik, aku gagal. Semakin kupikirkan, semakin depresi dibuatnya. Semakin aku merasa waktu mencekikku. Di tengah umurku yang bertambah, kemampuanku menjalani hidup tidaklah bertambah. Aku ingin lebih kuat, lebih bijak, lebih bisa menahan diri, aku ingin bebas dari melukai dan dilukai orang lain, dan satu lagi, aku ingin bebas dari ketakutan akan kematian.

Aku mendengar suara aneh, seperti sebuah detik pada jam dinding. Beberapa orang berteriak menyuruhku menjauh dari tempatku. Seseorang berteriak bom waktu? Sekejap cahaya tak jauh dari tempatku bercermin menyebar cepat. Sakit, panas, aku merasa ....

***

Aku terbangun dikelilingi pepohonan. Kuangkat tubuhku, betapa terkejutnya kubisa melihat semua dari ketinggian. Entah kenapa, aku ada di atas tebing. Samar-samar kuingat peristiwa terakhir. Bom waktu. Cermin. Tahun baru. Ah, ya, aku mati terkena bom waktu di malam tahun baru ketika aku melihat cermin di salah satu pusat perbelanjaan. Kenapa aku di tempat ini? Kenapa juga aku merasa semakin besar dan berat?

Kulihat tanganku bersirip keras dengan sayap besar dan lebar di belakangku, mungkin tepatnya bagian pundak. Dan ada apa dengan kuku-kuku besar dan tajam ini? Satu lagi, perutku sebelumnya memang buncit, tapi perutku yang sekarang jauh lebih buncit dan sangat besar, tanpa baju. Makhluk apa aku ini? Naga?

Jawaban iya langsung kudapatkan begitu ada seekor naga besar dan menyeramkan yang datang ke arahku. Tentu saja awalnya aku lari tapi begitu kudengar naga itu bicara, "Hei, kenapa kamu lari? Aku ini ibumu." Aku langsung berhenti dan menatap dengan gemetar wajahnya.

"Apakah kamu bermimpi buruk?" tanyanya.

"Ti ... tidak."

Perlahan tubuhku berhenti gemetar seiring semakin lama aku melihat naga tersebut, semakin aku dibuat nyaman memandangnya. Entah kenapa pikiran dan tubuhku mengakuinya sebagai ibuku. Juga mengiakan kalau aku memang sedang bermimpi buruk. Namun, tetap saja aku penasaran karena bayangan tentang akhir tahun itu terlalu jelas dan aneh untuk dianggap mimpi.

"Bu, hari ini tanggal berapa?" Ini pertanyaan bodoh, tapi rasa penasaranku mengalahkan semuanya.

"Tanggal? Setahu ibu itu salah satu perhitungan manusia untuk menentukan waktu dan umur mereka ya?"

"Iya, Bu, yang itu," jawabku.

"Ibu tidak tahu, Nak. Ada apa memangnya?"

"Kalau begitu, ibu tahu kapan aku lahir?"

"Hmm, seingat ibu, kamu lahir ketika manusia merayakan awal tahun mereka. Kalau tidak salah banyak angka 2021 yang tersebar di berbagai tempat. Maaf ya, ibu lupa, sudah hampir seratus tahun yang lalu kamu lahir," jawab ibu.

Ah, jelas sudah. Tahun 2021, saat pergantian tahun. Itu sehari setelah aku mati, lalu terlahir kembali dalam wujud seekor naga. Dan ternyata aku sudah hidup hampir seratus tahun. Inikah kehidupan ketika kamu tidak perlu khawatir akan umurmu?

Kudengar, naga adalah makhluk yang kuat dan bijaksana. Dia tidak akan mudah marah untuk hal-hal yang tidak penting. Karena apa? Tubuhnya besar, keras, dan kuat, bisa beradaptasi di mana pun, tahan badai, dan segala macam cuaca ekstrem. Apa yang aku khawatirkan? Manusia? Mereka bukan lagi ancaman. Tidak perlu takut dibunuh manusia, tidak perlu khawatir ditipu, tidak perlu khawatir disakiti, karena mereka bukan tandinganku lagi.

Pekerjaan? Ah, aku tidak perlu lagi mengkhawatirkannya. Semua kebutuhan untuk perut bisa kudapatkan di alam lepas tanpa perlu melamar pekerjaan. Tanpa perlu menjadi hamba uang, tanpa perlu menjadi usang untuk diberi kasihan. Tanpa perlu menjadi lumat untuk mendapat hormat.

Aku hidup cukup damai bersama ibuku hingga kudengar kabar bahwa ayahku terbunuh di suatu tempat oleh makhluk kecil bernama manusia. Ah, sepertinya aku sudah lupa dari mana aku berasal. Ya, rahim seorang manusia. Namun, tidak kusangka manusia-manusia itu bisa membunuh naga. Terlebih lagi itu ayahku. Ayahku adalah naga api yang kuat. Dia penguasa dan pelindung benua. Tempatnya bersarang dipenuhi api yang meluap.

Ibuku adalah naga angin, sementara ayah naga api. Hal itu membuat kedua elemen itu menyatu dalam darahku. Aku bisa mengembuskan angin dan api, lalu menggabungkannya jadi satu menjadi badai api. Kematian ayah menciptakan gelora benci yang teramat besar. Kesedihan sudah tidak berlaku lagi dalam kepalaku.

Ibu yang merupakan naga terlembut yang pernah kukenal menghalangiku agar tidak mengamuk terhadap manusia.

"Kamu ingat apa yang ibu ajarkan kepadamu? Naga adalah makhluk yang bijaksana. Jangan terperangkap terhadap jebakan sekelompok manusia jahat. Masih ada manusia yang menghormati kita," ucapnya.

Namun, yang kulakukan justru merupakan hal paling terkutuk yang pernah ada. Aku mengamuk, mencakar ibuku dan membakarnya dengan embusan napas. Amarahku tak terhentikan. Aku melihatnya jatuh ke dasar tebing sementara aku terbang semakin jauh meninggalkannya.

Aku terbang cepat menuju tempat ayahku dibunuh. Sesampainya di sana kulihat masih berkumpul sekumpulan manusia pembunuh dengan perangkat lengkap. Tanpa pikir panjang kuembuskan serangan badai api ke arah mereka. Badai api yang membelah awan gelap dari langit menghantam tanah dan beberapa dari pasukan manusia itu terbunuh karenanya. Badai api yang menghalangi manusia-manusia itu dari jasad kaku ayahku.

Aku berdiri tegak, membentangkan sayap dengan lebarnya. Dan kurasa raut wajahku tak perlu ditanya. Mereka terlihat sudah membaca murka dari seorang anak yang ingin membalaskan dendam atas kematian orang tuanya. Dari sini kulihat mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang teramat besar dan terlihat kuat. Aku kenal itu di masa lalu sebagai meriam dengan beberapa modifikasi. Mungkin bahannya berbeda karena aku melihat warnanya berbeda dari yang dulu sesekali kulihat di film. Apakah itu meriam khusus naga?

Aku mengembuskan badai api ke arah mereka, kali ini badai api yang lebih kuat dari sebelumnya. Namun, kulihat puluhan peluru meriam berhasil menembus badai apiku. Aku berusaha menghindarinya tapi nahas beberapa mengenai sayap dan merobeknya. Beberapa mengenai kaki dan tubuhku. Aku tersungkur, tak dapat bangun. Kukira aku abadi, nyatanya tidak. Sebagaimana ayah yang terbunuh di wilayahnya, apalagi hanya aku, anaknya. Mungkin lebih mudah bagi mereka menghancurkanku. Ah, sakit. Aku kembali dihantam nyata akan hidup tidaklah abadi. Kita akan mati, sekuat apa pun kita. Ditambah dosa besarku telah membunuh ibuku sendiri hanya karena amarahku. Ya, aku ingat sekarang.

Aku melihat samar, manusia-manusia itu bersiap melakukan serangan lagi. Kali ini dengan meriam yang lebih banyak. Ya, pasukan lainnya datang membantu, mungkin karena mereka menemukan target baru. Aku memejamkan mata. Mungkin ini akhirnya.

Cukup lama kutunggu, kematianku. Tidak ada yang terjadi. Kubuka mataku. Ada seekor naga putih mengacau formasi manusia-manusia itu. Ya, tidak lain, naga itu adalah ibuku. Bagaimana dia bisa selamat? Aku harus membantunya. Naga angin tidaklah cukup kuat di wilayah ini. Namun, apa lagi ini? Selain tubuhku yang tidak bisa bergerak. Sekarang leherku sesak dan tidak bisa mengembuskan napas api atau pun angin.

"Aku tidak akan mati hanya karena seranganmu sebelumnya, Anakku. Kamu tidak perlu khawatir, sudah semestinya aku melindungimu." Itu kata-kata terakhir yang kudengar dari ibu ketika dia berdiri gagah di hadapanku menghalangi peluru-peluru meriam agar tidak mengenaiku. Namun, peluru-peluru itu menembus tubuh ibuku. Darah memancar dari tubuhnya seolah mencoba menjangkau langit dengan rintih.

Jasad ibu seolah memeluk jasad ayah yang tergeletak di bawahnya. Ibu hanya ingin agar aku tidak merasa bersalah telah melukainya. Namun, tetap saja.

Darah keluar dari mulutku. Beberapa peluru memelesat mengenai perutku. Dan pikiranku tidak lagi nyata. Sakit. Dan semuanya gelap. Kurasa kali ini adalah akhir yang sebenarnya.

***

Aku terbangun dan mencium aroma kesukaanku. Aroma gorong-gorong. Aku seekor tikus yang kecil dan lemah. Namun, aku menyukainya.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top