6. Mimpi dan Lapisan Delusi

Mimpi dan Lapisan Delusi

Dalam Event Bulan September 2019 - Montase Aksara

Tema: With My Story, I Tell You Something


Kalau boleh memilih, aku ingin berjalan bebas dengan goresan senyum yang tiada pernah pudar. Di bumi ini, aku mohon, berikan aku kekuatan.

Namaku, Mayang. Pagi itu setelah kami para juri dari sebuah event yang membuat bulu kuduk merinding: Montaks Parade. Event yang menuntut ketekunan, kesabaran, kecepatan, kegigihan, juga penyiksaan itu resmi ditutup. Tibalah kami para juri yang juga ikut menulis, memutar otak lagi. Bayangkan sudah menulis pun diharuskan membaca kembali karya-karya yang ada lalu menilainya juga. Meledaklah kita jika sendirian.

Akhirnya kami memutuskan berkumpul di rumah Pit untuk menyelesaikan penjurian. Ya, walaupun aku ragu akan seratus persen dikerjakan di sana. Mari kita berpikir sejenak, bagaimana beratnya menulis sebanyak 25 chapter yang terdiri dari 1500 kata per-chapter dalam waktu satu setengah bulan. Setelah itu kita harus membaca karya peserta yang berjumlah sekitar hampir dua puluh hanya dalam beberapa minggu. Mari kita sambut dan doakan pencetus Montaks Parade atas keberaniannya dalam memperjuangkan event menulis berdarah ini.

Pagi itu, aku berangkat bersama kekasihku menuju rumah Pit. Setelah bertemu Thiya dan tuan rumah, kekasihku pergi untuk menemani ibunya belanja, sekaligus push rank jika sempat. Lalu nanti aku akan menghubunginya untuk menjemputku setelah kami selesai melakukan penjurian. Yah, setelah pertengkaran kecil semalam, aku dan kekasihku memutuskan untuk kembali saling memahami dan mewarnai, hati. Perihal hati, memang satu hal yang paling sulit kupahami. Mungkin juga kamu demikian. Tidak apa, masalah hati memang paling bisa membuat kita kenyang memuji sekaligus memaki kehidupan yang menawan ini.

Sesampainya di dalam, beberapa juri sudah mulai menunggu. Tiffany atau duta skin care kami masih sibuk dengan perkenalan skin care terbarunya di story Instagram. Adit atau yang biasa kami panggil Kakek sedang sibuk mengacak-acak snack yang ada. Dia satu-satunya juri laki-laki di sini, jauh-jauh datang dari Tangerang dan memakan perjalanan sekitar lima belas jam dikarenakan uang sakunya terbatas. Lalu menginap di teras masjid semalam, sebelum akhirnya sampai di rumah Pit, menumpang mandi, dan ya menunaikan hasrat perutnya yang kelaparan. Perutnya itu benar-benar berbanding lurus dengan daya makannya. Jika bukan karena Thiya sudah sampai lebih dulu, mungkin Si Kakek ini masih di masjid, numpang mandi. Dan kelaparan.

Aku melihat Lyn masih sibuk membaca beberapa karya peserta Montaks Parade. Semangatnya benar-benar luar biasa meski baru lulus Sekolah Menengah Pertama. Tulisan dan desainnya juga sangat menarik.

Kak Lilis yang baru saja menikah hanya bisa ikut melalui video call. Thiya sudah menghubunginya, benar saja dia baru selesai mencuci baju. Kami sudah merepotkan suaminya di pagi hari, suaminya mengambil alih tugas yang dikerjakan Kak Lilis untuk sementara waktu. Namun, niat hanyalah niat, dan niat kami harus dikalahkan dengan empuknya karpet rumahnya Pit. Thiya mulai terlihat mengantuk, video call dengan Kak Lilis terputus, salah pencet. Kak Lilis pun menelepon balik, tapi Thiya sudah terlanjur tidak sadarkan diri dengan wajah bahagianya dia tertidur pulas di atas karpet yang lebih hebat dari spring bed.

Aku pun sudah tertular kantuk, tak sanggup mengangkat telepon dari Kak Lilis. Dan ikut bersandar di paha Thiya sebagai bantal. Nyaman dan sejuk. Hawa dari kipas angin pun begitu memikat. Aku melihat sekitar, Tiffany juga sudah pulas tertidur sambil memeluk lemas smartphone di dadanya. Terlihat juga beberapa skin care berserakan di sekitarnya. Begitu juga kulihat Kakek sudah terkapar dengan Chitato di wajahnya.

Pemilik rumah, Pit. Dia juga tertidur di meja dengan botol minum masih di genggamannya. Mungkin saja dia berniat menuangkan air di botol itu ke beberapa gelas di atas meja. Setelah itu, pandanganku gelap. Udara sekitar semakin sejuk, seolah semakin termakan. Tidurku terlampau dalam.

***

Aku terbangun di sebuah taman yang dipenuhi permen, penuh warna. Sesekali kucicipi lantainya, manis rasanya. Di mana aku berada? Di mana juga yang lain?

Aku berjalan mencoba mencari sesuatu yang dapat menghubungkan apa yang sebenarnya terjadi, yang kulihat hanyalah permen, permen, dan permen dari segala macam jenis. Hingga tak terasa sudah hampir satu jam aku mengitari taman ini. Lelah, kududuk di sebuah pohon permen lollipop sambil mengatur napas dan menahan tangis, juga mengelola bingung.

Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat Pit berjalan mendekat, dia memakai baju tidur. Wajahnya datar, tergantung di lehernya sebuah Walkman dengan lagu Linkin Park berjudul What I've Done. Dan aku mulai mengenang apa yang sudah aku lakukan. Lalu kulihat Pit berlari ke arahku, dengan wajah datar. Semakin dekat, semakin dekat, mulutnya terbuka lebar, sangat lebar dan dia menelanku tanpa sempat aku berteriak.

Kesintinganku semakin memuncak. Dan sekarang aku berada tepat di hadapan bokong dari naga yang sedang tertidur. Sekitarku dipenuhi telur, sedikit amis di sini, dan panas. Aku berjalan perlahan, berusaha untuk tidak membuat si naga merah besar itu terbangun. Aku melihat ke arah jurang. Tidak, ini bukan jurang, ini di tengah gunung berapi, dan sekitarku adalah genangan magma yang mendidih. Aku membayangkan apakah sakit jika tenggelam di dalamnya?

Tak lama aku berpikir begitu, ada suara gaduh dari langit. Beberapa jet tempur terbang mengelilingi kami. Dan itu membuat naga terbangun dari tidurnya. Dia mulai mengamuk, aku bersembunyi di balik salah satu telurnya. Sambil bertahan agar tidak jatuh ke dalam magma karena goncangan yang hebat ini bisa saja membuatku terpental. Sang naga menyemburkan api mengenai salah satu jet tempur. Membuat jet tempur itu meledak tanpa diizinkan untuk mengeluarkan asap terlebih dahulu atau mengizinkan pilotnya keluar dari jet tempur itu.

Pertempuran yang semakin sengit membuat para jet tempur itu melancarkan serangan terakhir, bom. Sekitar lima bom besar jatuh ke arah kami. Kulihat pada salah satu bom tersebut tertulis, do not give up, dengan huruf kapital. Aku tidak berniat begitu, bodoh. Tapi kalian tidak memberikanku kesempatan untuk lari. Dan, boom! Semua kembali gelap.

Aku terbangun kembali, kali ini aku kembali ke rumah Pit, tapi aku tidak melihat seorang pun di sini. Aku teringat Kak Lilis yang terakhir menelepon Thiya, tapi aku tidak menemukan teleponnya di sini. Botol minum dan gelas yang dibawa Pit, chitato yang dipegang Si Kakek, skin care Tiffany juga tidak ada. Ruangan ini bersih, juga sedikit remang-remang. Aku baru menyadarinya.

Kulihat cahaya ungu dari balik jendela. Dan kulihat sekilas bayangan hitam seperti bayangan manusia mendekat. Menerobos masuk menembus gorden, terlihat sekali lekukan wajah dengan mulut terbuka. Aku merinding. Bayangan itu masuk dan angin berembus membuat bulu kudukku berdiri tegak, berbaris.

Aku melihat seorang yang kukenal, Thiya! Dia menjadi hantu seperti di kartun Casper.

"Mana karpetnya! Mana karpetnya!" Dengan lidah menjulur dia berucap. Suaranya hampir samar. Tiba-tiba Thiya mendekat ke arahku, aku tidak kuasa bergerak. Dia mendekati telingaku dan berteriak, "Aku mau tidur!"

"Sakit oi, Bangke!" umpatku. Sungguh pedas sekali telinga ini mendengarnya.

Tiba-tiba Thiya yang berwujud hantu itu batuk, seperti sesak. Tubuhnya yang tembus pandang mengeluarkan asap cukup tebal. Batuk dan batuk. Dia terlihat semakin sesak. Lalu meledak. Seluruh tubuhnya mengenaiku seperti tumpahan terigu. Aku memejamkan mata, panik. Begitu kubuka mata kembali, aku sudah berada di hutan, sekelilingku dipenuhi asap dan ya, ini benar-benar sesak. Di sekelilingku dipenuhi kobaran api dan dari kejauhan banyak suara minta tolong, juga semprotan air yang tidak mampu menembus dinding api.

Aku ingat tentang sesak, perasaan itu mungkin menyebalkan. Tapi aku rasa di sini masih lebih gila.

"Ini kotaku dan para manusia rakus itu mulai membakar semuanya hanya untuk perut dan dompet mereka sendiri," ucap Thiya yang tidak lagi berwujud hantu tapi pakaiannya lusuh dan tak lama dia pergi memasuki kobaran api tanpa terbakar. Hanya menghilang.

Memang akan lebih baik jika tidak ada sesak baik hati maupun fisik. Seperti yang diceritakan Thiya tadi, bahkan manusia punya sisi yang buruk, bolong, atau tidak sempurna. Bumi pun demikian, dia bisa rapuh, terbakar, kepanasan, kedinginan, dan mungkin sakit yang luar biasa ketika ada benda dari luar angkasa menggoreskan diri pada kulitnya.

Bicara soal kulit, aku jadi teringat duta skin care. Aku belum melihatnya dari tadi. Tentu saja mana mungkin dia di tengah hutan seperti ini.

Namun, dugaanku salah. Seorang barbar menembus kobaran api bersama selang panjang dan besar, dia datang kepadaku.

"Mayaaaang! Aku habis bimbingan langsung ke sini, dosen pembimbingku itu kenalan saudaramu. Dia langsung membawaku ke sini naik helikopter," ucap Tiffany. "Pikiranku sudah lega, skripsi sudah di­­­-acc tinggal jilid. Ayo kita keluar dari sini!" lanjutnya.

Baru saja aku senang luar biasa, tapi begitu dia menyalakan kerannya. Dia tidak bisa mengendalikan derasnya air dan dia menghajarku dengan air tersebut. Membuatku terdorong entah ke mana, pingsan.

Aku pun bangun, tersandar pada dinding rumah Pit. Kali ini aku melihat Adit atau Si Kakek sedang memakan snack di tempatnya, sambil mengecek smartphone.

"Oh, May. Sudah bangun? Tadi pada ketiduran, sekarang lagi pada mandi yang cewek-cewek. Gue enggak bisa ikutan."

"Dasar."

"Sehat, May?"

"Gue mimpi aneh banget, kayak loncat dari satu mimpi ke mimpi yang lain. Dan itu gue mimpiin kalian semua."

"Kayak apa mimpinya?" tanya Adit.

"Pokoknya aneh banget, sampai pusing bedain mana yang nyata, mana yang enggak," jelasku.

"Hmm, kayak begini, May?"

Tiba-tiba Adit membuka bungkus snack-nya dan dia pun masuk ke dalam bungkus tersebut. Lalu keluarlah snack memenuhi sekelilingku sambil berteriak, "Makan aku! Makan aku!"

Aku berteriak, lalu Pit menghampiriku, lalu melihat snack berantakan di sekitarku.

"Duh, kerjaan Si Kakek ini kayaknya, makan snack enggak ditutup lagi. Bentar gue ambilin sapu dulu," ucap Pit.

Aku mengambil tangan Pit dan bertanya dengan panik, "Kamu beneran Pit, kan? Si tuan rumah dari rumah ini? Kamu tadi ke mana saja?"

"Mandi, May."

"Adit, Pit! Dia jadi snack!"

"Loh, dia lagi buang air besar tadi," jelasnya.

"Lu masih ngantuk kali ya, May?"

"Kamar mandi ada berapa di sini? Bukannya yang lain juga mandi?"

"Satu doang, May."

"Lah tadi Adit bilang pada mandi,"

"Iya, tapi kami semua di sini loh, May.

Aku melihat ke belakang, mereka berbaris tersenyum padaku. Dengan tatapan yang mengerikan. Dan, sekali lagi, aku tertidur.

Tamat.


Didedikasikan kepada Anshadows.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top