5. Aku Ingin Mati

Aku Ingin Mati

Dalam Event Bulan April 2019 - Montase Aksara

Tema: Being A Hero


Kamu tahu rasanya menjadikan mati sebagai jalan satu-satunya?

Membiarkan kepalamu menghantam truk besar, lalu menunggu semua pikiran berhamburan. Lalu kamu melupakan semua, kecuali rasa sakit juga penyesalan karena satu-satunya orang yang tidak memungkinkan diajak kerja sama dan satu-satunya orang yang akan menemanimu, telah cidera, lupa, bingung, dan merasa tak berguna. Dialah, dirimu sendiri.

Aku membanting motor ke arah kiri dan kaca spion yang sedikit menyentuh boks truk. Sekian detik sebelumnya. Aku sudah mempercepat laju motorku dan berniat menabrakan diri. Diriku yang lain memintanya, diriku yang lain menolaknya. Mereka bergelut hebat dan tubuh ini hanya menjerit dalam hening, bingung, dan takut. Di tepi trotoar jalan, malam yang kelam ini tak sebanding dengan kelamnya kepalaku.

Kekhawatiranku semakin memuncak ketika tahu ayah angkatku, salah satu penghuni rusun bernama Montaks. Dia menjadi korban dari keganasan para zombi lima tahun lalu. Ya, aku tahu, dia adalah ayah angkat paling aneh. Aku masih ingat saat pertama kali dia datang ke panti asuhan, dia bertanya kepada pengasuhku, "Hei, Bu. Aku ingin mengadopsi seorang anak yang dapat mengerti puisiku."

Puisi?

Dia memang penggila puisi bahkan mungkin sebelum otak para peneliti terlampau egois itu ada untuk melanjutkan penelitiannya tentang apalah itu, manusia buatan? Terserah.

Aku masih ingat ketika aku membaca puisinya dan menjelaskan isinya yang cenderung, mesum. Maksudku, ya, puisi yang dituliskannya begitu terbuka, bagaikan melihat seorang telanjang bulat. Dia mengerahkan semuanya bahkan sampai hal yang haram diketahui orang lain. Dia memujiku, sembari memeluk kucing aneh yang dia panggil Sugiono. Dan dia mengadopsiku tanpa memberitahu tentang namanya, dia memberiku rumah tapi dia memilih tinggal di rusun. Dia memintaku untuk hidup dan memperjuangkan apa yang aku suka dan sekarang dia pergi meninggalkanku, seenaknya.

Padahal, dialah orang yang ingin kuperjuangkan. Aku mengaguminya, meskipun kebodohan dan keanehannya lebih parah dibanding kucingnya. Namun, tidak dengan perasaan yang dia tuangkan ke dalam setiap karyanya. Aku mengaguminya, biar kuulang sialan, aku mengaguminya. Dan jika aku ada di sana, ingin rasanya kuhantam zombi yang berani membunuhnya.

***

Tempatku tinggal dengan rusun Montaks memang tidak terlalu jauh, maksudku cukup dengan mengendarai motor dua jam dan kamu akan sampai. Tempat itu benar-benar dijaga ketat. Konon beberapa zombi lolos dan menyerang wilayah di sekitarnya meskipun sudah dibangun dinding besar dengan lapisan baja yang tebal mengelilingi "Zona Montaks" – paling tidak itulah bagaimana mereka menyebutnya sekarang. Zombi itu sudah berevolusi, tapi aku tidak tahu evolusi seperti apa yang dimaksud pembawa berita di televisi. Aku masih di dalam kamar gelap, memikirkan apa yang terjadi jika para zombi itu datang dan menghancurkan semuanya di tempat ini.

Ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Semakin lama suara ketukannya semakin keras dan cepat. Dengan perasaan khawatir aku menghampiri dan membukanya. Seekor kucing aneh duduk menatapku datar. Matanya merah seperti hamster, tapi tetap saja kucing ini tidak asing bagiku. Tunggu sebentar, aku mulai mengingatnya.

Sugiono!

Begitu aku menyebut namanya, dia langsung menggigitku. Wajahnya berubah, seperti mayat. Dan aku baru saja tersadar telah digigit oleh zombi dari kucing ayah angkatku. Pandanganku buyar, yang kulihat terakhir adalah kucing itu pergi dengan langkah terpincang. Masuk ke dalam selokan dan hilang entah ke mana, lalu semuanya gelap. Apa aku akan mati sekarang di tempat ini?

Aku terbangun, masih di depan pintu. Dan berharap semuanya hanya mimpi siang bolong, mungkin saja aku terpeleset di depan pintu lalu pingsan. Semoga.

Aku masuk ke rumah, mencuci muka dan melihat cermin. Wajahku berwarna kebiru-biruan. Aku berteriak, semakin keras ketika melihat kedua tanganku dan hampir seluruh tubuh membiru. Kucoba memegang dada, tidak ada detak jantung barang sedikit pun. Aku duduk lemas di pojok kamar. Ketika aku tersadar, aku sudah menjadi zombi, untuk kedua kalinya aku memutuskan untuk mati. Dan jalan yang kupilih kali ini adalah terjun dari atap.

Aku tidak tahu apa yang terjadi jika aku menghabisi semua manusia di sini ketika kesadaranku hilang seperti yang digambarkan di kebanyakan film tentang zombi. Mungkinkah ini yang dirasakan oleh ayah angkatku? Sebelum dia mati atau mungkinkah dia masih hidup dengan wujud yang baru?

Aku telah sampai di atap dan mendramatisir kehidupan yang akan berakhir ketika aku sampai ke bawah nanti. Manusia-manusia lain terlihat biasa, ibu-ibu bergosip di sekitar tukang sayur, bapak-bapak ada yang mencuci kendaraan, main catur, atau berdebat tentang siapa yang akan memenangkan pemilu, nomor 01 atau 02. Ah, aku tidak peduli, lagipula aku sudah memiliki pilihan, segila apa media mematahkan, aku akan tetap teguh dengan pilihan. Lalu anak-anak yang bermain bola dalam gadget mereka. Pemandangan yang indah.

Demi kebaikan semua, aku harus melompat.

Aku mendengar suara retak dari setiap sendi di tubuhku. Orang-orang yang sibuk tadi, kini mengelilingiku. Menatap heran, beberapa ada yang ketakutan. Dan yang lebih mengherankan kenapa aku masih bisa melihat mereka. Padahal aku yakin, nyawaku sudah melayang. Aku mencoba bangun, meski ada yang aneh dengan tangan dan kaki, aku berhasil berdiri. Dan ya, kepalaku menghadap belakang dan dengan canggung menyapa sekeliling. Mereka histeris dan lari.

Alarm darurat desa ini berdering, lampu merah menyala di setiap sudut jalan. Sembari aku mencoba meluruskan kembali kepala, yang wah, rasanya seperti pesulap. Agak aneh rasanya, tapi tidak sakit sama sekali. Omong-omong alarm darurat kenapa bisa berbunyi? Gelombang pasang? Gempa? Mungkinkah zombi? Yang terakhir adalah yang paling mungkin, mengingat aku sendiri juga sudah terkena gigitannya.

Aku mencoba mencari tahu dan apa yang kulihat lebih parah dari apa yang aku bayangkan. Monster! Ya, bagaimana ya menyebutnya, untuk sekelas zombi zona Montaks yang ditayangkan di televisi, bentuknya tidak seperti ini. Mereka di sini seperti alien, beberapa ada yang seperti dinosaurus, besar mungkin sebesar genset dua ribu KVA. Mereka menghantam setiap yang menghalangi dan memakan apa pun yang mereka temui. Ketika beberapa pesawat tempur datang menembakkan rudal, mereka hancur lalu pulih kembali, seperti zombi. Monster yang terlihat abadi dan mengerikan. Aku mencoba mendekat, sembunyi-sembunyi.

Kudengar suara aneh, seperti suara kucing yang hampir mati karena terlindas motor. Dan dia ternyata, Sugiono, kucing ayah angkatku yang sudah membuatku menjadi zombi. Dia menatapku datar dan memuntahkan sesuatu, seperti gulungan kertas. Aku mengambilnya dan ternyata adalah sebuah puisi singkat dari ayah angkatku. Kertas lusuh yang tecampur warna darah.

Aku mungkin pergi

Aku mungkin kembali

Keabadian adalah kesengsaraan

Dan aku memilih mati

Tapi aku hidup kembali

Dalam puisi

Si aneh itu, di saat seperti ini masih saja membuat kepalaku pusing. Aku mencoba membacanya kembali, kali ini dengan nada yang sedikit lebih kencang. Agar aku bisa mencerna maksud dari tulisan tersebut. Dan alarm darurat kedua pun berbunyi, kali ini gerombolan zombi berlarian menuju monster tersebut.

"Zona Montaks telah hancur! Para zombi berlarian menuju desa Akrenia, mereka menghampiri monster buas di dalam desa tersebut. Selamatkan diri kalian, ini akan menjadi kiamat bagi umat manusia," ucap radio yang setengah rusak di dekatku.

Sugiono menggigit celanaku dan memintaku mengikutinya. Sejak kapan aku mengerti bahasa kucing, terlebih lagi kucing zombi. Kami berdiri menghadang para monster, ya kami berdua jika kucing aneh itu dihitung. Entah kenapa, aku merasa seperti seorang pahlawan, yang dibenci. Bagaimana tidak, niatku menghadang monster justru ditembaki dari segala penjuru. Tentu saja ngilu.

Aku membaca kembali puisi dari ayah angkatku. Dan tanpa sadar monster itu melancarkan serangan dengan tangan besarnya. Kepalaku terpental, tubuhku masih keren berdiri di sana. Dan yang lebih mengharukan, gerombolan zombi menahan tangan monster tersebut lalu beramai mengempaskannya ke tanah. Para zombi itu datang dari segala penjuru bahkan dari selokan. Mungkinkah desa ini memang dihuni oleh zombi yang bersembunyi? Dan apakah puisi dari ayah angkatku yang memanggilnya?

Aku lebih heran lagi dengan para zombi yang sama sekali tidak menyerang manusia, yang berteriak dan berlarian tak tentu arah. Mereka fokus menghentikan monster di depanku. Ada apa dengan zombi-zombi ini. Mereka tobat atau kenyang?

Aku pun bangkit menggerakkan badan untuk mengambil kepala dan ikut menghajar monster-monster tersebut. Aku tidak paham sejak kapan tubuhku bisa sekuat ini. Kami, para zombi dan monster memberikan pertempuran yang tidak ada ujungnya. Bagaimana rasanya mati lalu hidup kembali. Namun, tak kusangka begitu bangun dari serangan yang terakhir. Aku terjebak di antara dua monster yang siap mengempaskan serangan. Aku memejamkan mata, lelah, karena pertempuran ini tiada habisnya.

Aku menunggu lama, tapi tidak ada pukulan yang menyentuh sama sekali. Aku membuka mata, terlihat seorang zombi pria yang tidak asing bagiku. Mukanya memang jelek, tapi aku langsung tahu dia adalah ayah angkatku. Dan Sugiono langsung berlari menemaninya. Ayah angkatku melompat dan memanjat monter tersebut lalu memukul mata kanannya. Mata tersebut mengeluarkan cahaya merah, tak lama monster tersebut tumbang tak bergerak dan tubuhnya mengeluarkan asap, lalu menghilang jasadnya. Monster macam apa itu?

Poin penting yang kutahu adalah kelemahan monster-monster tersebut ada pada mata kanannya. Ayah angkatku diikuti dengan sekumpulan zombi dengan berbagai jenis, bahkan murid SMA pun ada, juga seorang zombi wanita garang yang mengatur semua zombi di sekitarnya. Mungkinkah mereka penghuni rusun Montaks?

Mereka berlari, melompat, dan mengincar mata kanan para monster. Tidak sampai satu jam, kita berhasil memenangkan perang ini. Para zombi itu menghilang seiring hilangnya sisa asap dari para monster yang tumbang. Dan aku rasa, aku pun juga harus pergi. Alarm darurat sudah tidak lagi menyala, berganti dengan warna hijau yang berarti sinyal aman. Aku melihat para manusia berlarian keluar dari tempat persembunyian mereka. Aku menatap langit dari atas atap bangunan yang setengah hancur. Kukenakan jaket dan menutupi wajahku dengan masker, bergabung dalam kerumunan manusia, lalu pergi meninggalkan desa. Sambil kembali kulihat kertas berisi puisi dan memakannya. Mungkinkah mereka akan kembali?

Para pahlawan yang tidak tahu caranya menerima ucapan terima kasih. Para pahlawan yang tidak tahu caranya merayakan kemenangan. Para pahlawan yang tidak diinginkan semesta.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top