4. Dongeng Pemakan Sabun

Dongeng Pemakan Sabun

Dalam Event Bulan Maret 2019 - Montase Aksara

Tema: Inside Their Mind


Saat dewasa nanti, aku ingin menemukan jalan pulang yang aman dan nyaman. Tidak seperti ibuku yang harus mengembuskan ususnya di jalan, terlindas benda raksasa yang para makhluk raksasa di luar sana menyebutnya motor. Aku masih bayi saat kejadian itu, ayahku menceritakannya dan entah kenapa badan ini panasnya bukan main, bersama dengan air mata yang terus mengalir. Rasanya ingin mengubah diri menjadi besar dan mengempaskan motor tersebut dengan ekorku.

Aku Resi, tikus dari sepuluh bersaudara yang mana tinggal tersisa tiga bersaudara. Aku dan kedua adikku, Meli dan Levi. Sedikit kusinggung kenapa nama Resi bisa diberikan kepadaku. Ketika ibuku mati, ayahku menemukan selembar kertas yang tergeletak di sebelah jasad ibu. Tangan ibu mengarah pada tulisan resi, di bawah tulisan Teko atau Tika, apa pun namanya, ayahku lupa. Sejak saat itu, ayah langsung menamaiku Resi. Dia percaya ibu memilihkan nama tersebut untukku.

Ayahku mati, di saat umurku belum genap tiga bulan. Dia mati di usia dua tahun dan tentu saja itu membuatku harus berpisah dengan kedua adikku. Mereka berdua juga berencana menemukan kehidupannya. Kami berpencar, Meli pergi ke tepi sungai dekat Stasiun Bojong Indah. Levi pergi ke arah kolong kontainer raksasa yang ketika siang hari dihuni oleh beberapa manusia. Sementara aku pergi ke tempat di mana ibu dilindas motor. Aku sering berdiam diri di saluran air sambil sesekali menatap jalanan yang merenggut nyawa ibu.

Ketika malam tiba aku kembali ke dekat kontainer dan mendengar suara anak kucing terjebak di dalamnya. Aku mencoba masuk dan melihat apa yang terjadi di dalam. Di ruang gelap, aku meraba sedikit tubuh kontainer lalu menjaga jarak ketika suara kucing tersebut semakin besar. Seekor kucing dewasa sedang melahirkan anak-anaknya.

Keesokan harinya, aku kembali ke tempat itu setelah melihat beberapa manusia membuka pintu kontainer tempat kucing itu melahirkan. Aku melihat induknya menangis, setelah satu anaknya mati dan diambil oleh manusia. Anak kucing malang itu tidak memiliki tangan, mungkin patah atau putus. Mungkin juga ibunya tak sengaja memakannya karena di dalam sana gelap atau jika asumsi mata kucing bisa melihat dalam gelap, mungkinkah ibunya terpaksa memakannya karena kehabisan tenaga setelah melahirkan dan terjebak semalaman tanpa makanan.

Hidup memang tidak seindah itu, ucap batinku iseng. Tak ingin ikut tertular kesedihan, aku beranjak mencari sarapan pagi. Sambil melihat anak kucing itu dibawa seorang manusia yang mengenakkan penutup hidung aneh lalu menguburnya dengan sesuatu asing berwarna putih, dilekatkan pada jasad anak kucing tersebut.

***

Malam harinya kontainer tersebut tidak terkunci seperti sebelumnya. Kurasa aku tidak perlu mengkhawatirkannya malam ini. Aku kembali ke tempat peristirahatan seperti biasa, di samping pohon yang manusia sebut pohon pisang. Aku tidak peduli, tempat ini bau dan menyegarkan. Lembab dan dingin. Namun, apa yang terjadi keesokan harinya hanyalah sebuah tragedi yang terulang.

Satu lagi anak kucing mati mengenaskan, kepalanya hilang. Bau busuk mulai menyebar, manusia kembali membawanya dengan benda aneh. Aku dengar namanya pacul. Kini jasadnya dikuburkan di samping tempat sampah yang setiap malamnya mengeluarkan sesuatu yang panas juga membara. Bercahaya dan mengeluarkan kebul asap menusuk langit. Baunya benar-benar menyebalkan.

Hiburan bagi seorang tikus sepertiku adalah makan malam dengan suatu yang lezat dan nyaman untuk gigi tikus yang semakin cepat besar jika tidak digunakan. Makanan ini sering digunakan oleh para manusia untuk ditempelkan pada tubuhnya menggunakan air. Mereka menamainya sabun. Aku selalu memakannya ketika sabun tersebut sudah kering. Setidaknya ketika malam sedikit lebih larut. Tidak, aku tidak memakan semuanya sekaligus, hanya membuat lubang yang cukup agar kebutuhan gairah gigi terpenuhi.

Setelah kenyang makan, aku melihat anak kucing tadi diletakkan dekat dengan tempat sampah. Dia ada di atas benda berbentuk kotak berbahan cukup keras, tidak bisa kugigit begitu saja. Aku pernah mencicipinya, manusia menyebutnya besi. Hal yang lebih menyebalkan adalah tempat tersebut dekat dengan pohon mangga. Di sana adalah markas semut-semut garang yang beberapa hari lalu menggerogoti habis seekor burung di sangkar. Aku yang mendengar teriakan burung tersebut sampai tidak makan dua hari.

"Tolong, tolong!" Semakin lirih dia berteriak, ingin terbang pun, dia terjebak di sangkar. Itu seperti eksekusi mati. Jasad burung itu habis. Ya, habis sehabis-habisnya! Semut-semut merah itu bahkan bisa memakan sisa-sisa jasadnya di luar sangkar. Menyebalkan memang ketika kita melihat sesuatu tanpa bisa melakukan apa-apa. Sialan.

Kini, kembali aku melihat anak kucing tersebut. Ah, lebih tepatnya bayi kucing tersebut tidur nyenyak di kardus tanpa tahu bahaya yang sedang mengancamnya. Siapa yang memindahkanmu ke sana? Manusia bodoh itu? Biadab sekali. Ke mana pula ibumu, hah?

Aku mencoba menyelamatkannya walaupun ayah pernah bilang, bahwa kucing adalah musuh kita. Ketika aku hendak mendekat, serombongan pasukan semut dengan cepat berkumpul menghalangi langkah untuk melewati batang pohon. Beberapa bahkan memamerkan mayat serangga lain yang hampir habis dilahap jasadnya. Saat kusadar pasukan lain sudah beraksi mengelilingi kardus dengan seorang anak kucing malang terbaring di sana. Sialan, sialan, sialan!

Tamat sudah. Malam itu diawali lirih perih dari seekor anak kucing yang tidak berdaya, dia mati digerumuti semut merah. Jasadnya pun jatuh ke tanah dan aku hanya bisa lari, panik, tak berguna. Usai kumakan cemilan anti depresi, sabun. Aku mencoba pergi mencari tempat yang cukup sunyi untuk tidur. Menggaruk cukup dalam tanah, mencoba menghilangkan suara menyeramkan yang sebenarnya sia-sia karena suara itu terekam jelas dan terputar otomatis dalam kepala. Kucing kecil yang malang.

Pagi harinya, aku memberanikan diri mendekati tempat si kucing tereksekusi. Belum sampai lokasi, bau busuk sudah menyapa hidung ini. Aku tidak tahan. Lalu aku melihat induk kucing dengan ekspresi sedih menggendong seekor anaknya, satu-satunya yang tersisa, ke kolong kontainer. Meninggalkannya di sana, tempat gelap. Dia adalah anak yang paling kecil dibanding saudara-saudaranya yang mati mengenaskan. Dia lemah dan tidak berdaya, kotor juga penuh belek.

Seorang manusia kembali mengangkut jasad kucing malang yang tinggal setengah badan tersebut. Beberapa semut pun terlihat menyerang kaki manusia itu, terlihat jelas dia kesakitan. Dia membawa anak kucing malang itu ke bara api lalu membakarnya. Kucing itu menjadi abu, seiring hilangnya bau bangkai, digantikan bau gosong jasadnya bersama sampah-sampah dari tangan-tangan kotor manusia.

***

Beberapa hari berlalu, aku selalu menikmati untuk mengunjungi anak kucing yang selamat dari guncangan kehidupan. Ibunya bahkan tidak puas dan terlihat ingin membuat anak lagi. Dasar kucing, dia dipermainkan oleh para manusia. Salah sendiri, nungging di sekitar mereka. Otak-otak manusia 'kan bisa dibilang sedikit menyimpang, apalagi di tempat ini.

Bukannya trauma setelah kehilangan ketiga anaknya. Atau mungkin, ini cara kucing menghibur diri setelah anak-anaknya mati mengenaskan? Kasihan sekali si kecil ditinggal begitu saja. Untung saja, ada sisa manusia baik hati yang memberinya makan. Ya, masa bodoh, yang penting selama ini ibunya masih memberikan susu. Dari aku, yang masih asyik memperhatikan si kucing menyusui sambil menyempatkan diri memakan sabun.

Si kucing sudah menjadi remaja, dia berlari ke sana ke mari. Sungguh bahagia. Sampai pada suatu hari aku menemukan mayat tikus di dekat tempatku biasa memakan sabun.

Dia adikku, Levi! Lukanya begitu dalam seperti dikoyak. Aku tidak memikirkan apa pun selain membiarkannya dan berkabung. Tidak sampai di sana, kini aku harus melihat kenyataan, ibu kucing yang dahulu pernah kehilangan hampir semua anaknya, menggigit jasad adikku yang lain, Meli. Satu-satunya adikku yang tersisa, dibunuh dan diempaskan ke sungai.

Kehidupan ini kenapa?

Sekejap tubuh ini terasa panas. Dan ingin rasanya memghancurkan mereka. Kucing sialan. Ya, aku harus menghancurkannya. Harus! Dan aku akan memulainya dari satu-satunya anak yang dia miliki.

Begitu kucoba melancarkan dendam, tubuh ini seperti sesak dan semakin sesak. Jantungku seperti tertancap sesuatu. Aku memberanikan diri melihat ke belakang, meski sulit. Aku melihat anak kucing itu menancapkan cakarnya pada tubuhku. Dia melemparku. Mempermainkanku, mengoyak sedikit bagian tubuhku. Dan entahlah, aku tidak lagi melihat dunia ini. Bahkan sakit yang luar biasa itu pergi begitu saja.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top