3. Dunia Ini Bukan Tempat untuk Tukang Cemburu
Dunia Ini Bukan Tempat untuk Tukang Cemburu
Dalam Event Bulan Januari 2019 - Montase Aksara
Tema: JANUARY'S LOVE
Dunia ini bukan tempat untuk tukang cemburu
Kau akan direnggut oleh perih
Di setiap perjalanan, menggerus percaya
Kau melukai dia lewat cemburu
Itulah satu bait yang menarik perhatian, ketika aku membaca sebuah puisi di situs wattpad dari seorang aneh dengan username seruputsepi. Aku selalu bertanya, bagaimana rasanya menyeruput sepi?
Asam? Manis? Pahit? Sepat? Peduli amat.
Aku Imi, gadis berusia dua puluh empat tahun, yang malas sekali jatuh cinta. Bukan tidak mau tapi rasanya tidak bisa. Memuakkan, ya jatuh cinta itu memuakkan, juga menjalani hubungan setelahnya. Puisi si Seruput Sepi memang tidak terlalu memukau seperti karya-karya lain di situs oranye ini. Namun, tema "cemburu" yang diangkatnya langsung mengingatkanku pada perasaan sialan tersebut. Dulu aku memiliki kekasih yang sempurna, rupawan, baik, juga aku yakin dia sangat setia. Ya, dia yang niat sekali memberikan rekapan chat dengan wanita lain ketika aku memintanya. Aku merasa menyesal tapi tetap saja aku tidak bisa berpikir positif tentangnya. Lalu apa?
Aku meninggalkannya, hanya karena dia tidak memberikan kabar selama seminggu. Sebelumnya aku sudah memutuskannya tiga sampai empat kali dan aku masih saja cemburu bahkan pada junior magang di tempat kerjanya yang hanya berniat menjual earphones. Aku heran, semesta kadang mencoba menyatukan tapi kadang sebaliknya, memisahkan.
Hari ini, Minggu yang cukup menghibur bagi jiwa-jiwa yang lapar akan buku. Bagaimana tidak, salah satu toko buku terbesar di Indonesia mengundang beberapa penulis hebat, salah satu yang terbaik adalah Kak Reneta, usia dua puluh lima tahun dan dia sudah menciptakan belasan buku yang penuh inspirasi. Penulis-penulis lain yang datang pun tak kalah tenarnya. Tulisan-tulisan Kak Reneta tentang cinta sebelumnya selalu berhasil membuatku bertahan. Namun, semenjak perasaan cemburu itu datang dan seiring semakin besar harapku untuk tidak kehilangan dia. Aku justru meninggalkannya begitu saja.
Tulisan Kak Reneta kini terasa hambar. Kamu tahu, seperti makan indomie tanpa bumbu, tanpa saos, tanpa kecap. Begitu pun ketika Kak Reneta naik panggung untuk mengisi materi dan motivasi tentang kepenulisan, juga selingan berupa anjuran percintaan berdasarkan pengalaman dan yang menjadi referensi novel-novelnya. Semuanya masih saja terdengar hambar. Bahkan membuatku sakit perut. Maksudku, sungguh. Aku memang sakit perut, peduli setan ini karena kisah-kisah cinta atau karena kopi nikmat yang kuminum sambil mengumpati lalat yang sedang berenang di dalamnya, yang kubutuhkan saat ini hanyalah toilet.
Ramai sekali tempat ini dan kenapa toiletnya berada di lantai tiga? Dua lantai dari sini. Eskalator juga penuh sekali, kenapa hari Minggu mereka bukannya tidur di rumah sih? Mereka semua pasti melihat raut wajah pucat berkeringat penuh arti ini. Bodoh, minggir kalian semua.
Sahabatku, Shinta, ketika aku pergi tadi, dia tidak berkutik dari tempat duduknya. Aku yakin saat ini dia tidak menyadari kepergianku. Anak itu kalau sudah mendengar kata-kata dengan embel-embel cinta seolah seperti Oppa korea menyapa tepat di depan wajahnya, memujinya, dan bernyanyi dari atas panggung di tengah kerumunan penggemar lain yang iri melihatnya.
Toilet ini rasanya lebih menenangkan. Tidak ada yang bersorak, tidak ada yang tepuk tangan. Sepi, hanya ditemani perut yang konsisten berbunyi, juga suara pintu berpadu jeritan air yang jatuh dari keran wastafel. Bicara tentang sepi, lagi-lagi aku memikirkan penulis aneh dengan username seruputsepi.
Kata Shinta, entah dia dengar dari siapa, katanya kalau kita memikirkan seseorang tiba-tiba di suatu tempat, bisa jadi orang tersebut berada dekat dengan tempat kita berada. Sial, aku jadi merinding membayangkannya. Aku pun bergegas keluar dari toilet setelah setidaknya aku bisa berjalan tanpa membungkuk sembari mencengkeram perut. Aku kembali dan melihat ruangan penuh sesak, membuatku terpaksa menunggu di luar. Toh, sebentar lagi juga acaranya selesai. Setelah Shinta keluar, aku akan langsung mengajaknya pulang. Perutku masih tidak enak.
"Hei, maaf sepertinya perutmu bermasalah, dari tadi aku perhatikan kamu pegang perut melulu. Ini ambil susu beruang, tenang saja aku baru membelinya. Biasanya sih langsung mendingan setelah minum itu." Seseorang muncul di hadapanku, entah siapa. Sepertinya dia habis begadang, wajahnya terlihat lelah, bagian bawah matanya sedikit hitam.
"Kamu yakin? Tidak apa-apa aku ambil minumannya?"
"Kalem saja, aku punya dua, tadi ada promo beli satu gratis satu. Lumayan," ucapnya.
Dia benar, tak lama setelah meminumnya, perutku semakin membaik. Dia duduk di sampingku, menatap datar ke arah ruang tempat acara yang penuh sesak.
"Kamu tidak masuk ke dalam?" tanyaku penasaran.
"Ah, ya, tadi aku sudah di dalam sana. Aku tidak terlalu suka berada di keramaian, tapi aku suka mengamati keramaian. Seperti saat ini." Orang ini benar-benar aneh. Dia sempat tersenyum, lalu kembali datar dengan cepat, kembali melihat apa yang dia anggap sebuah keramaian. Dia terlihat sedang berpikir, tangan kanannya dikepal dan diletakkan di mulut juga hidungnya, seolah kepalan tangan itu adalah bunga mawar yang wangi. Matanya sayu tapi tajam, bola matanya sesekali bergerak mengikuti setiap orang yang lewat di depannya.
"Selain itu ...." Dia memejamkan matanya, bangkit dari duduk dan menghampiri tempat sampah di dekatnya, membuang kaleng susu beruang di tangan.
"Membicarakan tentang cinta selalu saja memuakkan," ucapnya sambil memandangi tong sampah, datar.
Ada apa ini? Aku merasa ingin teriak bebas.
"Kamu benar!" Aku berdiri, girang, menghampiri tong sampah dan membuang kaleng susu beruang. Lalu berteriak bahagia, "Kamu benar, mendengar kalimat cinta bisa membuatmu sakit perut. Aku baru saja mengalaminya!"
Pandangan mata para manusia di ruangan sesak itu mulai mengarah kepada kami berdua. Mereka menatap kami, bingung dan sinis. Orang aneh di depanku tertawa terbahak-bahak. Entah kenapa aku pun ikut tertawa puas. Kami berdua melarikan diri, menjauh dan tidak peduli.
***
Tawa yang semula lepas, tak sampai beberapa detik usai, membuatku seolah tidak pernah tertawa. Kini kami berdua berselimut sepi di bawah langit yang menatap kami datar. Tanpa hiasan, tanpa sepercik binar, langit biru yang polos juga angin usil yang membuatku berpikir, "Wah, dunia ini dingin sekali. Sama seperti raut wajah seorang aneh yang duduk di sebelahku, yang baru beberapa saat lalu tertawa. Aku tahu emosi orang berubah-ubah, tapi ini bukankah terlalu cepat?"
Dia memegang erat kepalanya, seolah sakit kepala hebat datang tak diundang. Dia bersandar, membalas tatapan datar yang disajikan langit. Lalu seorang perempuan teramat cantik, berdiri di depan kami. Wajahnya memerah, dia menunduk, tersipu.
"Maaf Kak, aku menyukai Kakak sejak lama," ucapnya terbata-bata. Dia, orang aneh yang duduk di sebelahku, berhenti menatap langit. Melihat sekejap ke arah perempuan di depannya. Lalu tersenyum.
"Terima kasih, Neyli." Lalu dia menunduk, "Maaf aku tidak bisa membalasnya, semoga kamu bisa menemukan yang lebih baik dariku."
"Ah, tidak apa-apa, Kak. Maaf. Aku tidak tahu kalau Kakak sudah punya kekasih." Perempuan itu menatapku, panik. Wajahnya semakin merah, bendungan pada matanya seolah mengalami kebocoran parah.
"Ah, maaf. Aku bukan kekasihnya, kami baru saja bertemu dan ya aku bahkan belum mengenalnya. Jangan salah paham ya," ucapku mencoba menjelaskan tak peduli seberapa kacaunya wajahku terlihat olehnya.
"Eh, maaf, Kak. Maaf, sudah salah paham. Aku pamit, Kak." Dia menganggukkan kepala pada kami berdua lalu pergi dengan tetap menutupi wajahnya. Apa yang terjadi di sini, orang aneh ini kenapa menolak seorang secantik dan sebaik dia sih?
"Hei, kenapa Ka ...." Dia menatap tajam ke arahku.
"Kalau kamu mau bertanya kenapa aku menolaknya, jawabannya aku adalah seorang pencemburu. Aku tidak suka dia dekat dengan pria lain meskipun itu hanya pria asing yang berpapasan di jalan. Dan jika kamu menanyakan alasannya, aku tidak tahu dan tidak peduli. Aku sudah lelah menjalani hubungan, cemburu itu akan membuatku melepasnya lagi dan lagi. Dia akan semakin sakit!"
"Kamu ...." Aku melihat badannya seolah menggigil meski cuaca hari ini begitu hangat. Hei, aku paham perasaanmu, Sialan. Entah apa yang merasukiku, aku memeluknya, merasakan setiap gigil juga hangat tubuhnya.
Cuaca hari ini begitu hangat juga cerah, tapi nyatanya hujan lokal membasahi bahuku. Dia menangis sejadi-jadinya dan bak virus, tangis itu menular. Tanpa peduli setiap orang memandangi kami heran, tidak peduli teriknya matahari yang mencoba mengeringkan air mata kami.
"Cemburu itu memang menyebalkan!"
"Kamu benar, iblis perusak hubungan."
"Kenapa dunia ini mengatakan bahwa cemburu itu tanda cinta? Cinta apanya? Hah!"
Kami mengumpat lagi dan lagi. Sampai tangis kembali menjadi tawa.
"Seandainya dia memelukku seperti yang kamu lakukan saat ini, mungkin aku tidak di sini." Dia berbicara pelan sendiri. Aku tidak mengerti. "Terima kasih," lanjutnya tersenyum.
"Aku yang berterima kasih karena susu beruang darimu ini ampuh sekali. Aku Imi, kamu?"
"Sejak aku meninggalkan seseorang karena cemburu, aku paksa dunia memanggilku Seruput Sepi."
"Nama yang unik. Sampai jumpa Seruput Sepi. Sahabatku sudah menunggu."
"Terima kasih kembali, Imi."
Sepertinya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya.
***
"Kamu tahu, ada pembicara aneh memarahi Kak Reneta. Dia berteriak, 'Cinta? Apanya yang cinta?' semacam itu, sampai akhirnya petugas keamanan mengusirnya," ucap sahabatku, Shinta.
"Eh seriusan? Siapa nama pembicaranya?"
"Itu penulis juga, namanya Seruput Sepi. Memangnya kamu tidak lihat banner di depan pintu masuk?"
Aku mengingatnya, Seruput Sepi. Ah, bodohnya. Aku tertawa mengingatnya.
"Hei, kamu sehat, Mi?"
"Ah, ya, tenang saja."
Aku berpapasan dengan Neyli saat di perjalanan pulang. Aku menyapanya, sepertinya dia masih tidak enak dengan kejadian tadi. Aku pegang pundaknya dan berbisik, "Jika kamu menyayanginya. Jangan menyerah ya, tetaplah di sampingnya dan peluklah dia. Aku mendukungmu!"
Dia diam sejenak. Aku pamit dan lega, melihat gurat senyum mulai tergambar di wajahnya. Nah, Seruput Sepi, sampai jumpa lagi. Perjalanan hari ini diakhiri dengan ocehan Shinta yang menanyakan, "Aku kenapa?"
Aku sendiri juga tidak tahu kenapa.
***
Tiga bulan berlalu. Aku tak sengaja menonton acara gosip, sembari menunggu kabar Shinta untuk membantuku mengerjakan tugas kantor. Seorang yang kukenal begitu singkat. Ya, Seruput Sepi muncul sebagai tamu di acara tersebut. Aku mengambil secangkir kopi yang baru saja kubuat.
"Jadi, apa yang membuatmu menulis cerita berdasarkan puisimu yang berjudul 'Dunia Ini Bukan Tempat untuk Tukang Cemburu'? Bahkan dengan judul yang sama."
"Aku menulisnya karena aku ingin sembuh dari menyalahkan diri sendiri atas masa laluku. Ketika aku menganggap, menjalani hubungan itu hal yang percuma bagi seorang pencemburu. Seseorang datang di kehidupanku, seorang keras kepala yang sudah berulang kali aku patahkan hatinya. Berulang kali juga aku menyuruhnya pergi, tapi dia tetap berada di hadapanku. Memeluk dan menyempatkan waktunya untuk mengganggu hari-hariku. Merusak hidangan sepi yang kuseruput setiap harinya. Dia sudah berjuang dan aku ingin sembuh bersamanya."
Dasar, penulis ....
"Dan, aku juga ingin berterima kasih pada seseorang yang dulu membuatku lepas menangis di hari ketika aku mengutuk diriku sendiri. Bersama ini, aku mengabarkan akan menikah dengan Neyli. Terima kasih atas dukunganmu di hari itu." Tak lama seorang perempuan cantik yang tidak asing bagiku, Neyli, naik ke atas panggung dan menggandeng Seruput Sepi dengan bahagia yang jelas tergambar di wajah keduanya.
Aku ingin menangis puas, dasar kalian ini. Tak lama ponselku berdering. Kupikir Shinta, tapi ternyata ... Ken! Mantan, tepatnya yang pernah aku tinggalkan dulu.
"Aku ingin bersamamu, kembalilah. Maafkan aku, yang sering mengabaikanmu. Aku ada di depan rumah, bersediakah kamu bertemu denganku?" ucapnya.
Aku membuka pintu dan pelukan hangat menyambutku. Di tengah galaunya cuaca hari ini, aku memastikan kembali untuk tidak galau mengambil keputusan, untuk kembali.
Terima kasih, sudah mencoba mengerti.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top