20. Rabas, Titik Air Mata

Rabas, Titik Air Mata

Achmad Aditya Avery


Jika bisa, mungkin aku akan memilih tidak dilahirkan.

Ada jiwa yang dilahirkan pada hari itu, 23 April 2011. Rabas namanya. Ya, dialah aku. Kata kakakku, nama Rabas diberikan oleh nenek. Ayah tidak ingin memberiku nama, karena dia berpikir akulah yang membunuh ibu di hari itu, beliau meninggal setelah melahirkanku.

Ibu, terima kasih karena sudah melakukan tugas terberat yaitu melahirkan anakmu ke dunia. Namun, aku tidak tahu harus bahagia atau sedih karena perlakuan ayah berbeda antara kepadaku dan kepada kakak. Kenapa perlakuan ayah ke kakak jauh lebih lembut dibanding kepadaku, Bu? Bisakah Ibu jawab aku? Mumpung aku belum pergi ke sekolah. Aku menatap langit-langit kamar yang polos berwarna kuning. Berbicara dalam hati seperti ini sering kulakukan akhir-akhir ini.

"Rabas, ayo pergi. Nanti kita kesiangan!" Terdengar suara kakak cukup keras, membuyarkan lamunan.

"Iya, Kak."

Aku beranjak dari kasur yang menurutku cukup keras dan agak sedikit kusam. Kapuknya yang sudah rusak menghilangkan rasa nyaman saat berbaring di atasnya. Tidak heran, mengingat umurnya saja mungkin melebihi setengah usiaku sekarang. Kasur ini pemberian nenek. Aku iri pada kakak yang baru saja dibelikan kasur yang terlihat empuk juga bersih. Ah, air mataku sepertinya akan keluar. Tidak, tidak boleh di sini. Aku harus bergegas.

"Makan cepat!" Ayah menyuruhku dengan tatapan tajam seperti biasa. Sementara ....

"Sakti, ayo dimakan dulu." Lihat, tatapan ayah begitu teduh. Suaranya pun lembut. Sikap ayah berbeda ketika bicara ke kakak.

Kali ini makan telur dadar, nasi, dan kecap. Makanku lahap walaupun dengan perasaan kesal seperti biasa. Setelah selesai, kami bergegas pergi ke sekolah. Kami sekolah di tempat yang sama. Kakak sebenarnya ditawarkan untuk sekolah di tempat yang bagus, tapi dia lebih memilih menemaniku. Ayah tidak dapat menolak permintaan kakak, jadi dia mengabulkannya.

Sepanjang perjalanan aku sibuk mengurus langkah kakiku, sepatu ini sudah tidak layak pakai. Bukan tidak bersyukur, tapi untuk berjalan saja harus pelan-pelan karena sudah sobek alasnya.

"Kamu enggak apa-apa? Mau pakai sepatu Kakak?" Kakak menawarkan sepatunya, dia sebetulnya tidak tega melihatku setiap hari memakai sepatu rusak sementara sepatu kakak masih baru. Kakak sudah bilang ke ayah untuk membelikanku sepatu tapi ayah tidak mau. Lihat, sudah seperti anak tiri, 'kan?

"Tidak usah, Kak. Masih bisa dipakai."

"Kalau gitu ini uang, kamu beli lem nanti ya." Kakak menyodorkan selembar uang sepuluh ribu rupiah.

"Kakak jajannya bagaimana?"

"Tenang aja."

"Terima kasih, Kak," jawabku.

"Santai."

***

Kelas adalah tempat terburuk untukku. Anak-anak kurang kerjaan kembali melirik sepatu dan bajuku yang lusuh. Mereka mengataiku, di saat aku tidak bersama kakak.

"Huuu, anak tiri datang."

"Dasar dekil, enggak diurus ya?"

"Lihat sepatuku dong! Baru nih," ucap Asep, salah satu dari mereka yang menginjak sepatuku dengan sepatunya yang sangat bersih. Aku menunduk, emosi bergejolak, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.

"Eh, Rabas. Sini ikut aku." Seseorang menarik tanganku, menjauh dari gerombolan orang yang merundung. Dia adalah Sheila, satu-satunya teman baikku di sekolah ini.

"Huu, beraninya ngumpet di keteknya Sheila."

"Bisa diam enggak kalian?" Sheila menatap tajam ke arah mereka. Aku menurut saja. Sheila menarikku ke mejaku. Begitu sampai wajahnya berbinar.

"Aku habis baca komik ini, keren banget! Kamu mau baca?" Dia menunjukkan sebuah komik, dilihat dari sampulnya seperti komik petualangan.

Aku membaca sekilas sebelum bel berbunyi. Matanya seolah berbinar-binar dengan senyum polosnya. Dia teman yang luar biasa.

"Ini menarik. Kamu punya bacaan yang menarik!" ucapku.

"Kamu boleh bawa pulang, buat dibaca di rumah!" ucapnya yang membuatku tentu saja senang.

"Benarkah?" Dia tersenyum, mengangguk.

"Tentu," jawabnya.

"Terima kasih," balasku.

***

Sepulang sekolah, kakakku heran denganku. Dia bilang aku sedikit lebih ceria saat ini. Aku bilang yang sebenarnya, kalau aku hari ini dikasih pinjam komik oleh Sheila. Dia pun tersenyum.

"Jangan ketahuan ayah ya, apalagi waktu jam belajar." Aku mengangguk, mengiakan.

Saat malam tiba, setelah jam makan malam; aku kembali ke kamar. Salahku yang terlalu penasaran dengan kelanjutan komik, memutuskan membacanya di jam belajar. Ayah tiba-tiba datang ke kamar dan melihatku membaca komik. Dia langsung naik pitam.

"Maksud kamu apa baca begituan? Kamu pikir sekolah kamu gratis?" serunya setelah melempar gelas kaca dan hampir saja mengenaiku. Ayah mungkin hanya berniat memecahkan gelas itu ke tembok. Ya, tidak mungkin dia bermaksud mencelakakanku dengan gelas tersebut.

Gelas itu pecah di dekatku, suaranya amat nyaring. Kakak terlihat panik dan melihat ke kamar. Namun, ayah menyuruhnya kembali ke kamar.

"Tapi, Ayah?" ucap Kakak memelas.

"Sudah, pergi saja ke kamar."

"Jangan kasar-kasar sama Rabas, Ayah!"

"Kamu berani? Ayah bilang pergi ke kamar!" Kakak terlihat kaget, dia pun menurut dan pergi.

Suasana di sini sangat mencekam. Detak jantung terasa begitu cepat. Rasanya untuk bernapas saja sulit.

"Ma ... maaf, Ayah," mohonku yang hampir menangis ini.

"Enggak usah kamu panggil-panggil saya ayah!" Kali ini aku benar-benar menangis.

Ayah mengambil komik milik Sheila, lalu merobek-robeknya di depan mataku.

"Lihat! Ini semua salahmu," ucap ayah. Perasaanku campur aduk. Marah, sedih, geram, merasa tak berguna. Aku ingin memukulnya. Tanganku pun refleks meluncurkan pukulan tak bertenaga ke arah ayah.

"Oh, sialan! Berani kamu?" Ayah menamparku kencang. Tamparannya membuat pengeng. Kakak kembali datang ke kamarku. Dia mencoba menghentikan ayah, tapi lagi-lagi ayah membentaknya dan menyuruhnya untuk ke kamar.

Ayah pergi setelah menonjok tembok kamar dan tak lama kembali membawa sapu ijuk. Dia memukulku beberapa kali. Rasanya seperti kulit dan tulang saling bersentuhan lalu darinya keluar percikan api. Itu yang ada di pikiranku. Ayah seolah tidak menganggapku sebagai anak, aku seperti seorang penjahat. Apa dosa membaca komik di jam belajar sebesar itu? Aku tidak paham. Apakah ini hanya pelampiasan benci?

"Mati kamu! Dasar enggak berguna! Pembunuh!" Ayah mengulang kata-kata itu, sambil terus memukul.

"Siapa yang pembunuh?" Aku bertanya sambil menangis keras, berteriak, berusaha menutupi kepala agar tidak terkena pukulan.

"Kamu! Kamu membunuh istri saya!"

"Aku tidak membunuh." Kesedihan semakin menguasai, sakit yang datang bertubi-tubi layaknya hujan yang membasahi seluruh tubuh, dihiasi ketidaktahuan atas kenapa aku dipanggil pembunuh? Aku tidak mengerti, sungguh. Pukulan berhenti, aku tidak sanggup bergerak. Dalam lemas yang menyelimuti, aku bertanya lirih.

"Apa Ayah ingin aku mati?"

"Iya, mati kamu!"

"Budi! Hentikan! Kamu sudah keterlaluan!" Aku mendengar suara nenek seperti sedang memarahi ayah. Kakak pun menghampiriku. Namun, kesadaranku semakin memudar. Semuanya pun gelap.

Begitu tersadar aku sedang berada di sebuah ruangan yang kutahu ini bukan kamarku karena lampunya tidak kuning, tapi putih. Aku melihat nenek dan kakak di samping.

"Kamu sudah bangun, Rabas? Bagaimana badanmu? Masih sakit?" ucap nenek.

"Aku di mana, Nek?" tanyaku lirih.

"Kamu di rumah sakit, Nak. Bagaimana keadaanmu?" Nenek bertanya dengan lembut.

"Sakit, Nek," jawabku singkat, karena memang sakit. Bergerak sedikit saja sakit, lalu membayangkan ayah yang sebegitu ringannya mendaratkan puluhan pukulan ke tubuhku, ngerinya masih terasa. Wajah nenek terlihat murung.

"Kamu istirahat dulu ya, Rabas." Kali ini kakak yang berbicara, "Maafkan Kakak yang terlambat menghentikan ayah."

"Tidak apa-apa, Kak. Sekarang ayah di mana?"

"Ayah sudah dipenjara, Rabas. Nenek dan keluarga dari ibu kamu yang melaporkannya. Ayahmu memang sudah kelewatan, Rabas. Mulai sekarang, kamu sama kakakmu tinggal sama nenek ya. Nanti ada saudara lain juga yang ikut jaga kamu," jelas Nenek. Aku pun mengangguk.

Tiba-tiba Sheila datang dengan heboh.

"Rabas! Kamu enggak apa-apa?" tanya Sheila.

"Sheila? Maaf, Sheila. Buku komik kamu ...."

"Ah sudahlah, aku sudah dengar kok. Nanti aku beli lagi dan kita baca bersama ya!"

Aku tersenyum, mengangguk. Nenek dan kakak ikut tersenyum dengan mata yang seperti habis menangis.


Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top