2. Electronic Summoner

Electronic Summoner

Dalam Event Bulan Mei - Montase Aksara

Tema: The Dark Love


Aliran listrik mengelus pori-pori kulit, seolah si radio tua itu berkata,

"Terima kasih telah memberikan semangat untuk hidup."

Dan radio tua itu hidup, ketika tak lama kulepaskan elus tangan.

Dia menyapa dengan lagu terbaru dari artis favoritku.

Electronic summoner, begitu yang dikatakan empat orang bertudung putih. Tentang kemampuan anehku yang entah nyata atau tidak, tapi sedikit demi sedikit mulai tersambung setiap kebetulan itu. Mereka, empat orang bertudung putih, seolah mengujiku dengan sebuah radio tua, di sebuah gang sepi yang hampir tiada orang melewati. Lampu remang-remang, dengan keanggunan horor yang kental. Aku bertemu dengan keempat orang aneh tersebut di taman kecil dekat rumah, ketika aku berbicara sendiri pada lampu taman, yang berkedip-kedip, dan aku tertawa.

"Sekarang, kamu sudah tahu bakat apa yang kamu punya?"

"Entahlah, aku memang suka bicara sendiri karena itu menenangkan, tapi aku tidak pernah mengira dapat menghidupkan barang elektronik tanpa memperbaikinya."

"Lebih tepatnya kamu memanggil barang elektronik yang sudah mati."

Bukankah barang elektronik itu memang benda mati? Aneh.

***

"Berpikirlah lebih jernih, sejernih air sungai yang tiada disentuh tangan manusia, yang terlihat jelas ikan kecil dengan latar belakang batuan dasar sungai nan indah. Maka, bakatmu tiada meremukkan kamu juga orang lain. Berhati-hatilah," ucap seorang dari mereka yang bertudung putih. Mereka menyebut diri mereka Summoner Guardian, mereka yang bertanggung jawab atas orang-orang yang memiliki bakat aneh sepertiku ini.

Seorang menjentik jari dan poof! Mereka menghilang entah ke mana. Aku ditinggal bersama kebingungan.

Namaku Reva, 24 tahun, si tukang bicara sendiri yang sedikit gila pada seorang wanita seumuranku, Neylie, biasa dipanggil Ney. Ney adalah seorang artis, penyanyi berbakat, pemeran film yang lihai, juga pemanis drama yang tiada pernah kusentuh kehidupan palsunya juga kehidupan aslinya, semuanya serba abu-abu.

Aku mencintainya, maka jika memang aku berbakat menghidupkan barang elektronik yang mati, maka akan aku hidupkan hatinya yang mati dari menyadari keberadaan cintaku padanya.

Aku, si buruh sekaligus penulis rongsok amatiran yang tiada bisa mengumpulan banyak uang lalu menabung untuk menikahi wanita secantik dia. Hanya bisa merenung kaku melihat celengan kecil juga bodoh itu, tiada pernah penuh. Tulisanku pun tiada yang romantis, hanya segerombol sarkas yang isinya menyumpahi perilaku masyarakat dan kinerja pemerintah. Sambil menenggak kopi kalengan yang kaya gula dan sekian persen kafein. Sisanya, zat kimia asing yang tiada pernah kukenal dan memang aku tidak pernah mencoba mengenalinya. Apa ada dari zat kimia itu yang merusak akal sehatku?

Aku tidak pernah mengakui bakatku yang dikatakan keempat orang aneh beberapa bulan lalu. Mereka hanya membual, tidak selamanya sentuhanku bisa mengubah barang elektronik rongsok kemudian menghidupkannya seperti baru. Itulah mengapa aku hanya menganggap semua itu kebetulan. Itulah mengapa aku tetap bekerja keras dengan gaji seadanya, dengan protes segala pihak yang menganggap kerja kerasku itu tidak berguna. Memang.

Aku tidak pernah pandai dalam keuangan. Orang-orang bilang dengan menikah, maka pasangan kita akan mengatur keuangan kita menjadi lebih baik. Kamu tahu, untuk menikah keuangan juga harus dikelola. Apa aku harus membayar sekretaris atau konsultan untuk mengelola keuanganku yang bahkan tak pernah menyentuh angka jutaan? Apa yang akan mereka kelola? Jahitan dompetku yang kosong atau sisa struk minimarket yang bersarang di sela-sela dompet? Lucu sekali, Kawan, mungkin konsultan itu akan kubayar menggunakan kumpulan setruk minimarket atas belanja kopi kalengan untuk menjaga mataku tetap segar ketika aku menulis novel atau sekumpulan puisi yang tiada pernah selesai dan aku akan memakan bualan mereka yang memintaku berhemat. Apa lagi yang harus kuhemat? Seandainya mi instan itu menyehatkan, aku akan menghabiskannya untuk konsumsi di sisa hidup, setiap harinya.

***

Minggu, 6 Mei 2018

Ledakan besar terjadi di tengah kota. Suaranya menghantam gendang telinga, berdengung. Persis ketika aku dengan sintingnya ingin bertemu Neylie di konser yang kedelapan kalinya kutonton dari puluhan konser yang diadakan. Hiburan menyebalkan dari seorang menjijikkan yang jatuh cinta dan yang dicinta hanya menganggap sebagai penggemar akut yang tiada pernah melihat wanita cantik lainnya. Panggung Everest Gate 1, tempat konser itu akan dimulai, sekaligus menjadi tempat ledakan itu terjadi.

Hancur semua, gitar listrik patah, sound system terbelah. Darah mengalir dari puluhan orang yang tergeletak di sekitar panggung yang dipenuhi debu. Dari kepulan debu muncul sebuah bayangan yang semakin lama semakin jelas terlihat. Sosok pria yang menggendong seorang wanita dengan darah menetes dari kepalanya, wanita itu Neylie. Pria itu mendekatiku, tersenyum sinis dan melemparkan perkataan menyebalkan.

"Aku kekasihnya. Akulah yang memiliki tubuh dan hatinya, kamu pasti salah satu dari orang-orang bodoh yang tergeletak di sana, yang membayar dan menonton lekukan tubuh Neylie, juga suara indahnya. Kamu tidak bisa melakukannya mulai sekarang dan seterusnya."

Aku ingin membunuhnya.

Pria itu melempar kasar tubuh Neylie, hingga terguling di lantai bernoda darah. Dia mendekatiku, mencekik leher hingga kakiku tak menapak lantai. Aku marah, tapi tak bergeming, tidak berontak, hanya menatap tajam wajah pria yang sepertinya ingin membunuhku. Sesekali kualihkan pandangan pada wajah Ney, yang terlihat kesakitan, dan tiada terlihat matanya terbuka untuk menyapaku, penggemarnya.

Cekikan yang cukup kuat, tetap tiada yang lebih pedih dari menatap wajah cantik Ney yang berbalut darah juga debu.

"Kamu yang meledakkan tempat ini?"

"Kalau iya kenapa? Jika kamu mati, kamu akan menjadi benda mati, dan aku bisa meledakanmu percis seperti yang kulakukan pada panggung busuk itu," ucap pria yang mengaku kekasih Ney.

Apa dia juga memiliki bakat?

Tubuhku terlempar cukup jauh dan rasanya, ya sakit. Apalagi yang harus kurasakan setelah memeluk tiang lampu. Benar-benar menyebalkan, kenyataan tentang Ney sudah memiliki kekasih, ya aku rasa sebagai penggemarnya aku harus ikhlas atas kebahagiaannya. Namun, yang terlihat adalah kenyataan bahwa Ney tidak bahagia, dia berdarah, terkapar lemah, di hari yang seharusnya aku melihatnya tersenyum menyapa.

Berpikirlah lebih jernih, sejernih air sungai yang tiada disentuh tangan manusia, yang terlihat jelas ikan kecil dengan latar belakang batuan dasar sungai nan indah.

"Bodoh! Mana mungkin aku bisa berpikir jernih!"

Kugenggam erat tiang lampu di sampingku, fokus pada pucatnya raut wajah Ney, dan fokus pada pria barbar yang mengaku kekasihnya Ney, dan fokus pada kenyataan bahwa aku hanya penggemar bodoh yang tak bisa melakukan apa pun. Tanganku memanas, kurasakan ada yang bergerak, tapi aku tidak peduli. Aku berteriak lebih gila dari kerasnya suara hati.

Aliran listrik bak petir menyambar ke arah pria tersebut, menghancurkan lantai sekitar panggung tempatnya berpijak. Dia berhasil menghindar.

"Hooh, kamu pemilik bakat ternyata," ucapnya sinis.

Dia melemparkan potongan sound system ke arahku. Aku tidak peduli. Potongan itu melayang tepat di depan mataku. Aku tidak mau menghindar, semakin muak aku melihat senyuman picik pria tersebut. Genggamanku semakin erat kepada tiang lampu itu, geram.

Tiang lampu itu berjalan, tercabut dari lantai taman, menahan potongan sound system yang meledak sesaat tiang itu menahannya. Tiang tersebut hancur, bersamaan dengan remuknya hati. Aku tahu itu benda mati, tapi melihatnya hidup lalu mati karena melindungiku, itu menyebalkan. Aku ambil beberapa puing tiang lampu tersebut, berharap sentuhanku dapat menghidupkannya. Nihil.

Kesabaranku tergerus habis, menatap datar, pria busuk di depanku. Seketika puing-puing itu berkumpul saat pria tersebut menyentuhkan kedua telapak tangannya di lantai dan tertawa girang.

"Matilah!" Puing-puing tersebut menjadi segumpalan barang rongsok bekas besar dan melayang cepat ke arahku. Tanpa pikir panjang aku mengulurkan tangan ke arahnya, berharap dapat menahan gumpalan besar tersebut, syukur bisa melemparkannya kembali dan meledakkan pria tersebut.

Aku merasakannya, beban berat yang menghajar telapak tangan.

Begitu kuat, tapi aku tidak mau mengalah. Fokus kembali pada emosi semula yang kurasakan, menyingkirkan ketakutan. Seketika gumpalan itu bersinar, kurasa ia akan meledak, dan cukup sampai di sini saja, mungkin seisi taman dan panggung akan habis, dan pria itu lari, lalu Ney tidak akan ada lagi di bumi ini.

Aku tidak mau Ney mati begitu saja!

Cahaya itu semakin terang, juga berisik. Kulihat sekitar, orang-orang yang menonton menunjukkan raut wajah takut yang luar biasa. Aku mendorong sekuat tenaga gumpalan tersebut dan benda itu melesat ke arah pria sialan di depanku dan boom!

Semua menutup telinga dan memejamkan mata. Cukup keras menghantam pria tersebut. Lalu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan suara bas yang dahsyat, membuat retak panggung dan sekitarnya. Selang beberapa detik gumpalan itu meledak. Aku tidak melihat percikan darah, juga tidak melihat jasad pria tersebut. Tidak peduli, hatiku kembali tenang meski tangan ini bergetar hebat. Kuhampiri Ney yang masih tergeletak lemah di sana. Mengelus pipinya perlahan. Berharap dia dapat bangun dan tersadar. Aku tidak peduli, dia akan menganggapku monster atau pembunuh, yang melenyapkan kekasihnya. Aku ingin dia hidup dan bahagia.

***

Aku masih merasakan detak jantungnya, tak lama jemarinya bergerak, matanya pun terbuka perlahan. Bibirnya mulai mengucapkan beberapa patah kata.

"Kamu Reva ya? Aku selalu memperhatikanmu. Kamulah yang membuatku selalu tampil di atas panggung. Dan aku ingin bernyanyi lagi untukmu."

"Ney, a ... aku hanya penggemarmu. Maafkan aku, sudah melakukan hal buruk pada kekasihmu."

"Tidak Reva! Aku bahagia, kamu sudah membebaskan aku dari kekangannya, terima kasih banyak. Sebenarnya, aku ingin mengatakan ini dari dulu, semenjak kamu datang di konser pertamaku. Aku melihatmu, kamu begitu lucu. Dan kamu adalah orang pertama yang mengapresiasi karya-karyaku. Namun, aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengatakannya," ucap Ney sembari berusaha menggenggam tanganku. Aku pun lekas menggenggam tangannya. Ney tersenyum.

"Cukup Ney, tidak masalah. Aku memang penggemar beratmu, dan ... aku juga begitu mencintaimu."

"Aku bahagia mendengarnya, itulah yang ingin kukatakan dari dulu. Aku juga mencintaimu, Reva." Betapa bahagia mendengar itu. Aku tersenyum. Ney meneteskan air mata, mengalir tenang melewati pipinya. Lalu tak terlihat lagi, beriringan dengan lepasnya genggaman tangannya, matanya terpejam, tubuhnya kaku, tiada lagi detak jantungnya.

Terlihat darah mengalir dari perutnya yang tertusuk puing.

Aku berteriak, tanpa suara. Keempat orang bertudung putih datang kembali dan membawaku. Sirene polisi bersahutan dan jasad Ney kesepian di sana. Aku pun sama, kaki dan tanganku diikat, mataku ditutup, dan yang kudengar hanyalah sebuah percakapan aneh.

"Dia bisa menjadi senjata yang bagus untuk kita, kita gunakan kekuatannya."

"Aku setuju."

Dan yang kudengar terakhir hanyalah sebuah tembakan, kepalaku panas seolah meledak, dan ....

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top