12. Setelah Bencana

Setelah Bencana

Dalam Event Bulan Februari 2022 - Montase Aksara

Tema: Out of The Box


Grawr reeeeeer reeeeuiiii oooooo! Pit terus mengoceh, dia berkata, "Kita mati! Kita telah mati dibunuh zombi!" Aku yang baru saja tersadar dengan kaki yang sudah tak bisa berdiri dengan benar sangat mengerti apa yang dikatakan Pit. Hijab yang digunakannya sudah dipenuhi darah, aku pun bisa melihat otaknya.

Perkenalkan, aku pengangguran kelas kakap, yang nekat menjadi penulis puisi di masa orang-orang yang ogah memeluk keromantisan dari sekumpulan kata yang diracik sedemikian rupa dan ya aku sudah mati. Peristiwa di rusun Montaks berlalu begitu cepat. Tanpa sadar kami bangun dan menjadi zombi. Aku tidak paham kenapa rusun tempat kami tinggal diserang begitu banyak zombi dan entah kenapa kami bangun dan bisa berinteraksi satu sama lain.

Kucingku, Sugiono, sekarang aku bisa berbicara dengannya.

Gerer ereeru aaaaaa kero raaaaaa! Aku bisa paham kalau dia sedang bingung tentang aku yang secara tiba-tiba dapat mengerti apa yang dikatakannya. Omong-omong kucingku juga menjadi zombi.

Greee reeee taaaa eeeee reee reeee. Marni, penjaga warteg depan rusun yang juga menjadi korban, kurang lebih bertanya, "Apa yang sedang terjadi di sini?" Wajahnya hancur sekali, bajunya sobek, padahal dia salah satu orang yang aku suka sebelumnya. Sebagian besar tubuhnya terbuka, tapi aku tidak merasa nafsu dan juga tidak seram sama sekali. Biasa saja, seperti halnya aku melihat manusia pada umumnya yang tanpa daya tarik seksual.

Dari kejauhan kulihat penghuni lain. Lilis sedang melempar ingusnya seperti yang biasa dia lakukan semasa hidup saat sedang pilek. Mungkin dia sedang pilek. Tulang tangannya terlihat. Matanya merah. Wajahnya datar, seperti sedang menunggu seseorang. Benar saja, tak jauh darinya, Alma yang kakinya pincang berlari ke arahnya sambil terjatuh-jatuh, sepertinya roknya tetap menjadi penyebab dia terjatuh. Seperti sewaktu hidupnya, yang selalu tersandung oleh roknya sendiri saat lari.

Gwaar reeeaaa reeeaa toooee greaa.

Guraaa guraaa greeew praaa laaa.

Breaaa guuurrree teeerrrooo grreeeooo.

Braaa greee saaaeee graaa breee.

Percakapan antara Lilis dan Alma terdengar kalau mereka saling menyemangati. Alma yang tidak tega melihat Lilis begitu murung lalu menghampirinya. Dia juga membawa setangkai bunga. Lilis pun mengucapkan terima kasih, kurang lebih begitu yang kudengar. Selebihnya, banyak sekali yang mereka bicarakan.

Reeewwwwo reeewwaaooo graaaw.

Terakhir, aku melihat Thiya sedang duduk menggerutu sambil memegang lem aibon yang semasa hidup biasa dia cium aromanya. Dia bilang, "Ke mana aroma lem aibon ini?"

Gracaa gracaa graawr.

"Pacarku mana? Pacarku mana?" ucap Thiya.

Kasihan sekali aku melihatnya. Rasanya begitu menderita berpisah dengan orang terkasih untuk selamanya. Dia pun mungkin tidak tahu nasib pacarnya, apakah masih berwujud manusia? Tidak ada yang tahu. Kasihan sekali kalau masih berwujud manusia, bisa ditinggal kawin. Pedih. Semoga sudah jadi zombi deh ya.

Aku masih tidak tahu kabar penghuni rusun yang lainnya. Sang penagih uang rusun terutama. Aku lupa-lupa ingat sudah bayar atau belum. Ini jatuhnya utang atau enggak ya? Ya, walaupun faktor bencana tapi kalau mati meninggalkan utang, bahaya juga, lebih bahaya dari mati itu sendiri. Habis aku ditagih di alam sana nanti.

Kondisi di sekitar sini sangat hancur. Seperti habis dilempari bom. Semuanya rata, rusun dan bangunan di sekitarnya pun sudah musnah tapi meski begitu para zombi tidak musnah begitu saja. Buktinya kami bangkit kembali meski dalam kondisi yang rusak. Aku berjalan asal entah ke mana untuk mencari kejelasan lebih lanjut. Aku melihat seorang anak kecil, sepertinya tersesat, dan dari kejauhan juga ada kawanan zombi yang mulai mendekatinya. Sepertinya mereka ingin melahap anak kecil itu. Entah kenapa ini tidak bisa aku biarkan.

Aku meminta teman-teman rusun untuk membantuku tapi mereka diam saja. Sepertinya hanya aku saja yang bisa menyelamatkan anak itu. Aku berjalan mendekati kawanan zombi itu dengan susah payah, dengan berjalan pincang, menyeret kaki yang sudah tidak lagi berfungsi. Ah, apa yang terjadi jika aku harus hidup seperti ini? Kenapa tidak mati saja sekalian? Anak kecil itu tidak boleh mengalami nasib serupa.

Bwaraaa bwaraaa bwaraaaa.

"Makanan! Makanan! Makanan!" Kudengar gemuruh dari gerombolan zombi. Kucoba mempercepat langkah ini.

Awwwerrrrooo!

"Berhenti!" ucapku. Beberapa dari mereka melihat ke arahku tapi seolah tidak peduli. Mereka terus mendekati anak tersebut. Kalau dipikir bisa apa aku sendiri begini? Siapa juga aku di mata mereka?

Celaka. Mereka semakin dekat dengan anak itu.

Grrrr. Awwwerrrrooo! Awwwerrrrooo! Awwwerrrrooo! Awwwerrrrooo! Awwwerrrrooo!

"Berhenti! Berhenti! Berhenti! Berhenti! Berhenti!" teriakku.

Sekarang semakin banyak yang melihatku. Mereka menghampiriku. Aku tidak peduli. Toh, aku sudah jadi zombi ini. Mereka mau menggigitku berkali-kali pun aku tetap zombi, tak bisa menjadi manusia lagi. Itu fakta yang melegakan sekaligus menyedihkan. Mereka semakin mendekatiku.

Awuuraaa kraa saa gwraaa gwraa saa.

"Siapa kamu melarang-larang kami?" ucap salah satu dari mereka.

Grawuuraa guraa.

"Aku sama seperti kalian," jawabku.

Grrr, awuuraaa kraa.

"Iya, siapa kamu?"

Grawwwa gagaraa trrooou wee graaa, greew graaw groaa baaah braa graaa.

"Aku tinggal di rusun yang ada di sana pada awalnya, lalu bangun dan tersadar kalau sesama zombi bisa saling berinteraksi."

Grrr. Grawwa krrr rau.

"Lah, iya juga ya," ucap salah satu dari mereka.

Grrr. Grawa.

"Iya, kan?" balasku.

Grawa grrr naa ratraaa graawaaa.

"Terus kenapa larang kami makan itu bocah?"

Graaww draaa. Graaa waa kaa raaaww dradadaa graa gra grawaa.

"Ya, buat apa? Ada manfaatnya buat kalian kalau bocah itu mati terus jadi zombi?" jawabku.

Grrr. Grawwa krrr rau.

"Lah, iya juga ya."

Grawaar graa dara kaaa oooo.

Tiba-tiba ada suara dari belakangku, para penghuni rusun. Mereka membantuku dengan berkata, "Iya, dia benar, untuk apa membunuh manusia?"

Terima kasih dari dalam hatiku, meski aku tidak tahu hati itu masih berfungsi atau tidak. Aku pun meminta mereka membiarkanku mendekati anak itu untuk berusaha memberitahukan jalan keluar dari wilayah ini. Mungkin jika dia berjalan terus ke depan akan ada manusia yang membantunya. Aku meminta mereka jangan ada yang menghalangi jalan anak itu atau sekadar muncul di dekatnya karena itu akan menakutinya. Mereka pun setuju.

Aku pun mendekati anak itu. Semakin dekat hingga aku berhadapan dengannya. Aku mendengar dia berbisik sambil mengeluarkan air mata.

"Aku tidak peduli jika kamu membunuhku, aku tidak punya siapa-siapa lagi." Pasti berat menjadi dirimu di usiamu yang masih muda ini.

Aku mengarahkan tanganku seolah menunjukkan jalan sambil menggerakkan kepalaku untuk mengisyaratkan kepada anak itu untuk segera ke arah yang kutunjuk dan pergi menjauh dari sini. Dia menatapku cukup lama. Bersyukur sepertinya dia tahu maksudku. Dia pun mengangguk dan berjalan ke arah yang aku tunjuk.

"Terima kasih, Om Zombi."

Aku pun beranjak dari tempatku, menjauh dari anak itu dan kembali ke tempat zombi lain berada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top