[9]

Rendi menatap nanar makanan di hadapannya. Nggak pas istirahat, di jam kosong gini kantongnya tetap dikuras habis oleh Alma.

Alma tersenyum davil, sekarang beberapa makanan sudah berada di hadapannya.

"Makan yang mana dulu ya?" gumamnya menatap beberapa mangkok dengan beberbagai isi.

Rendi yang berada di depan Alma sibuk menghitung uangnya. "Bangkrut gue," gerutunya sambil mencemot kerupuk punya Alma.

"He! Enak aja mau ambil-ambil."

"Minta satu dong nggak kasian ma gue," ujarnya.

"Nggak, enak aja minta-minta!" ujar Alma membuat Rendi mendengkus.

Rendi hanya bisa menopang dagu sambil menatap Alma. "Lo cantik juga ya," gumam Rendi tersenyum mengejek membuat Alma tersedak.

"Cieee malu ne yee," ledek Rendi membuat Alma menatap dirinya tajam.

"Gue emang cantik dari lahir lo aja yang nggak pernah lihat kecantikan paripurna gue," ujar Alma bangga.

"Cih! Iya in aja dah, biar senang." Rendi memilih mengalah dari pada adu bacot dengan Alma yang nggak bakal habisanya.

"Oh Al gue belum lihat Qadafi dari tadi. Kemana ya?"

"Mana gue tau," jawab Alma meneguk habis jus mangga miliknya.

"Gue malahan cari Pak Irwan, dari tadi nggak kelihatan batang hidungnya," gumam Alma.

"Alma enak ya lo malah makan-makan di sini," sinis Fania datang bersama Balqis.

"Gue kenyang," ujarnya tersenyum tanpa bersalah.

"Pak Irwan emang nggak masuk hari ini," ujar Rendi membuat ketiga gadis di hadapannya menatapnya.

"Pak Irwan?" tanya Balqis menatap Rendi kemudian Alma bergantian.

"Pak Irwan kan izin karena tunangan," ujar Balqis tanpa dosa menarik semangkok mie ayam ke hadapannya.

"Tunangan?" tanya mereka bertiga terkejut.

"Jangan ngaco lo," ujar Rendi masih tidak percaya.

"Nih kalau nggak percaya," ujar Balqis menyodorkan handponenya ke hadapan mereka bertiga.

"Kak Ica," decak Fania menatap vidio yang tengah terputar tersebut.

"Trus lo ngapain di sini sekarang. Kakak lo tunangan lo malah sekolah?" tanya Alma menatap Balqis yang tengah asik makan mie ayamnya.

"Malas," gumam Balqis tanpa menoleh sedikit pun dari makannya.

"Ck. Pak Irwan," decak Rendi.

Alma hanya mengangguk singkat kemudian lanjut menghabiskan baksonya yang masih tinggal setengah. "Oh, ya nanti pulang sekolah mampir ke rumah gue ya, pesan Mama buat kalian," ujar Balqis.

"Gue?" tanya Rendi membuat Balqis mengangguk. "Iya, boleh ikut aja."

Setelah semua selesai makan, mereka berempat memilih kembali masuk ke dalam kelas. "Btw, sekarang benaran jam kosong kan?" tanya Fania pasalnya dari bell pertama bunyi sampai siap istirahat satu pun guru belum masuk ke dalam kelas mereka ataupun kelas lain.

"Iya keknya, emang kenapa?"

"Nggak ada, pengen bocan perpus," ujar Fania sambil cengengesan.

"Yuadah gue ke perpustakaan dulu ya," ujarnya meninggalkan Balqis dan Alma.

"Eh ikut," susul Balqis membuat Alma mendengkus. Sekarang ia hanya sendirian ditinggal pergi mulu sama dua bocah tersebut.

"Gue ke taman aja deh," gumam Alma sambil membawa map yang ada di atas mejanya.

Pohon yang rindang cocok untuk berteduh ketika sengatan cahaya matahari yang begitu panas menerobos bumi. Alma memindahkan bangku kayu tepat di bawah pohon. "Segar juga ya," gumamnya mentap ke atas.

Tiba-tiba setumpuk daun jatuh begitu saja membuat Alma kaget. "Ka Qadafi!" geram Alma karena itu ulah Qadafi yang tengah duduk di atas dahan pohon tersebut.

"Enak kan siang-siang bolong ketiban daun apa lagi itu uang," kekehnya meloncat ke bawah.

"Nggak ada kerjaan," dengkus Alma melempar daun tersebut ke hadapan Qadafi.

Qadafi hanya terkekeh dan memilih duduk di bangku kayu tersebut. "Sini," suruhnya supaya Alma duduk di sebelahnya.

"Ka Qadafi nggak kesambek kan?" tanya Alma menatap was-was bisa saja sekarang yang ada di hadapannya bukan Qadafi.

"Emang saya setan apa?" Dengkusnya.

"Kan bisa saja, mana tau kan?"

"Sini duduk," suruhnya lagi dan akhirnya Alma menurut dan duduk di samping Qadafi.

"Map apa itu?" tanyanya melirik map biru yang sedang dipegang Alma.

"Oh ini tadi Talia yang ngasih belum sempat baca," ujar Alma sambil menendang-nendang daun kering di tanah.

"Lihat," ujar Qadafi membuat dirinya ditatap oleh Alma. Alma memberikan map tersebut tanpa pikir panjang.

"Oh ya kak, sekarang kan dah kelas 12. Bentar lagi tamat dong?" tanya Alma menatap kosong ke depan.

"Kenapa?"

"Nggak sih," jawab Alma menoleh ke arah Qadafi sebentar lalu menatap ke depan kembali.

"Tau nggak waktu pertama kali ketemu itu aku benar-benar nggak tau kalau itu Kak Qadafi," ujarnya sambil mengingat-ingat saat pertama kali bertemu dengan Qadafi di pinggir lapangan.

"Orangnya cuek amat sumpah. Kadang bikin geram sendiri tapi sebenarnya nggak gitu," ujar Alma tersenyum kecut.

"Au ah, aku belum baca map itu sama sekali," ujarnya kembali mengambil map biru itu dari tangan Qadafi.

Qadafi hanya diam menyimak apa yang dikatakan Alma barusa, ia sama sekali tidak mengerti dengan arah pembicaraan Alma, anggap saja masuk telinga kanan keluar di telinga kiri.

"Oh ya nanti pulang sekolah kita kumpul sebentar, gak apa-apa?" tanya Qadafi membuat Alma menghela napas kasar.

"Sayanganya dah bikin janjian dulu sama Balqis. Kakaknya tunangan jadi kami diundang," ujarnya tanpa menoleh.

Qadafi hanya mengangguk singkat. "Yasudah, pelajari saja isi map tersebut. Lusa kita rapat," ujar Qadafi.

Alma mengangguk singkat. Sekarang mereka larut dalam pikiran masing-masing.

"Oh ya," saut Alma membuat Qadafi menoleh. "Kakak udah lama kenal Bunda?" tanyanya. Kening Qadafi berkerut, "Bunda?" Dia mengingat-ngingat Bunda, siapa. Ah, iya Bunda panti.

"Dari kecil," saut Qadafi membuat Alma berdecak kagum.

"Kenapa?" tanya Qadafi heran melihat bola mata Alma yang berbinar mendengar tuturannya barusan.

Alma menyetir kuda. "Nggak ada," sautnya membuat Qadafi tersenyum.

"Dasar," ujarya mengusap kepala Alma membuat Alma terpaku dengan tatapan mata Qadafi.

"Eh." Alma tertunduk malu. Semoga saja pipinya tak merona karena kejadian tadi. Ah, kanapa bisa gini sih?

"Salting nie ye," ledek Qadafi. Alma mendongkakkan kepalanya menatap nyalang Qadafi.

"Enak saja," ujarnya memicingkan matanya. Qadafi terkekeh, tangannya beraksi kembali dia menyelipkan anak rambut Alma ke belakang telinga.

"Cantik," gumamnya membuat wajah Alma tambah merona.

Tatapan terkejut dari wajah Alma berubah menjadi datar. "Iya, dong Alma emang cantik," ujarnya mengibaskan ujung rambutnya membuat Qadafi mendengkus kesal.

"Iyain, aja ya biar senang," saut Qadafi mencubit kedua pipi Alma.

"Kakak," dengkusnya. Wajah Alma semakin merah dibuatnya. Qadafi terkekeh dengan ekspresi Alma.

Dilain tempat seseorang mengepalkan tangannya melihat dua sejoli di luar sana. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Nggak semudah itu Alma," gumamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top