[3]

Alma menatap pantulan dirinya dicermin. Dengan malas-malasan ia mengambil tas yang sudah tergeletak di atas rajang.

"Pagi," gumamnya duduk di sebelah Dafa.

"Kusut amat," ujar Dafa mengambil roti di hadapan Alma.

Alma mendengkus kesal kemudian mengambil roti dan memberi selai cokelat.

"Mah, nanti ... Alma telat pulang," ujarnya dengan mulut penuh roti.

"Telan!" suruh Dafa menyodorkan segelas susu ke hadapan Alma.

"Makasi Abang ganteng," cengengesnya.

"Dasar, eh kenapa pulang lambat?" tanya Dafa membuat Alma tersenyum sinis.

"Pacaran," jawabnya menaik-naikan alis matanya.

"Mah, Adek pacaran!"

"Bagus dong, Abang aja kalah sama adeknya," ujar Laura membuat Dafa cemberut.

"Mamah," ujarnya membuat Alma teenyum geli.

"Bang pacar Alma itu ganteng loh, kalah ketampanan Abang. Kan Mah?," ujarnya sambil tersenyum geli.

"Halu!" Jitakan tangan Dafa membuat Alma menggadu sakit.

"Abang!"

"Cepat abisin sarapannya lihat jam," ujar Laura mengingatkan mereka untuk cepat menghabiskan sarapan mereka.

"Oke, capten," ujar mereka berbarengan.

***

"Balqis lihat Fania nggak?" tanya Alma membuat Balqis kaget karena kedatangan Alma.

"Nggak, udah nggak ada," jawabnya menenggelamkan kepalanya dilipatan tangan di atas meja.

"Hah, maksudnya?" tanya Alma bingung.

"Oh iya, gue baru ingat," ujar Alma kembali menyelonong pergi.

Alma melirik jam tangannya sekarang sudah menunjukan jam 7.15 WIB, tapi bell masuk juga belum berbunyi.

Ketika melewati koridor kelas 10 Alma berpapasan dengan Qadafi. Alma yang menyadari adanya Qadafi pura-pura tidak melihatnya dan terus berjalan menunduk.

"Alma!" panggilnya sontak membuat Alma meringgis kecil.

"Saya?" tanya Alma dengan senyum yang dibuat-buat.

"Iya!"

"Ikut saya!" suruhnya melewati Alma begitu saja tanpa menunggu persetujuan dirinya.

"Oke," gumam Alma mengikuti Qadafi dari belakang.

"Oh ya kak, bell masuk kok belum bunyi ya?" tanyanya bingung

"Guru lagi rapat," jawab Qadafi singkat. Alma hanya mengangguk paham kemudian mengikuti Qadafi masuk ke dalam ruang laboratorium.

"Udah ngerti dengan alat-alat ini?" tanyanya, Alma merhatikan alat tersebut.

"Cuman beberapa," jawab Alma jujur, karena ia hanya mengerti sebagian.

Qadafi menunjuk Labu Destilasi. "Fungsinya?"

Alma mengamati bentuk tabung yang dibagian bawah seperti bola dan memiliki dua ujung. "Labu Destilasi berfungsi memisahkan larutan ke dalama masing-masing komponennya."

"Oke."

"Nanti buat proposal tentang alat-alat laboratorium serta fungsinya. Kumpulkan kepada saya besok pagi," ujar Qadafi membuat Alma ternganga.

"Besok? Tapi ...." Alma menatap Qadafi bingung.

"Oke, besok." Final Alma menghebuskan napas kesal.

Qadafi tersenyum singkat mendengar tuturan dari Alma. "Untuk hari kamu ikut dengan saya membeli peralatan labor yang nggak lengkap," tintahnya membuat Alma sekali lagi tercengang.

"Lah? Nggak bisa gitu dong kak. Saya juga ada keperlu ...."

"Pas jam sekolah, bukan pulang sekolah," ujar Qadafi.

"Lah! Saya nggak bisa kak. Ada ulangan nantinya. Kan pulang jam terakhir kita juga rapat," protes Alma.

"Udah diizinin," jawab Qadafi final.

Alma menghela napas gusar sebenarnya ia sekarang benar-benar kesal tapi ya gimana lagi, semua dibantah.

"Oke."

"Sekarang kembali ke kelas."

"Hah?" Alma menatap pria yang menurutnya menyebalkan itu dengan jengkel.

Dengan perasaan kesal Alma pergi begitu saja tanpa pamit. Qadafi tersenyum geli dapat menjahili Alma walau sejara tak langsung dia dapat membuatnya kesal.

Disempanjang jalan Alma mendumel-dumel tidak jelas hingga ia hampir saja menabrak Pak Irwan yang juga berjalan berlawanan arah dengannya.

"Maaf Pak," cicit Alma segera berlalu membuat Pak Irwan geleng-geleng kepala dengan sikap siswa-siswinya.

Tapi baru beberapa langkah Alma berjalan ia harus berhenti dan berbalik kembali menuju Pak Irwan yang memanggilnya.

"Iya Pak?"

"Ikut saya," ujarnya.

Alma mengangguk singkat walau dalam hati ia menggerutu karena kesal, niat mau kembali ke kelas tidak jadi.

Sekarang Alma berada di ruang guru, ia hanya melihat apa yang dikerjakan oleh Pak Irwan tanpa niat untuk menyakan mengapa ia harus ke sini.

"Nanti dijam mata pelajaran saya tidak usah masuk, tapi dengan syarat kerjakan ini semua dan besok pagi kumpulkan ke sini," ujarnya menyerahkan beberapa soal ke tangan Alma.

Alma menatap kertas-kertas itu kemudian mengagguk singkat. "Baik Pak, ada lagi?" tanyanya ingin cepat-cepat pergi dari sana.

"Nggak, kamu boleh pergi," suruhnya. Tanpa banyak bicara Alma langsung meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan terima kasih atau pamit.

Bukannya balik ke kelas Alma malahan pergi ke kanti sekolah hanya sekedar untuk mengisi perutnya yang sudah meminta jatah makan.

Setalah memesan apa yang ia inginkan Alma memilih salah satu bangku yang tidak jauh dari stan makanan yang ada disana.

"Banyak amat soalnya," gerutunya membalik-balik kertas.

"Besok laporan itu iya, tugas iya. Nanti pergi ke luar iya, pulang sekolah ada rapat juga. Nggak sekalian tugas semuanya harus dikumpul besok," gumamnya.

"Lama-lama bisa mati gue karena mikirin tugas," gumamnya lagi menghela napas gusar.

"Neng ini pesanannya," ujar Ibu Kanti sambil membawa nampan yang berisi satu porsi nasi goreng dan satu gelas jus alpukat.

"Makasi Ibu," ujar Alma langsung menyantap makanannya.

"Alma!" ujar Fania mengagetkannya.

Seketika Alma langsung meneguk jusnya karena kesedak karena ulah Fania.

"Njir! Lama-lama benaran bisa mati gue." Alma mendengkus membuat Fania tertawa puas.

"Enak banget ya lo dari pagi nggak masuk, tapi malah nongkrong di kantin," ujarnya sambil ngemil kerupuk nasi goreng Alma.

"Enak apaan noh tugas dari Pak Irwan segunung," dengkus Alma.

"Mampus, lo," gumam Fania mengalihkan pandangannya.

Alma menatap tajam Fania. "Telinga gue masih berfungsi dengan benar," celetuknya.

Fania tersenyum dibuat-buat. "Oh," saut Fania.

"Gue cuman bisa bilang semangat ya Alma," ujarnya tersenyum mengejek. Jika Fania bukan temannya pasti piring nasi goreng ini sudah berada di wajahnya saat ini.

"Untung gue sabar," ujar Alma mengusap dadanya.

"Gue mau nanya serius deh," saut Fania sekarang lebih serius. Dia bertumpu sebelah tangan tanga kanannya tak tinggal diam mencomot mentimun di piring nasi goreng Alma.

"Naon?"

"Gue dengar-dengar ya, eh bentar lo kenal Kak Qadafi kan?" tanya Fania dahulu. Alma mengangguk singkat, "Ya, lalu?"

"Dia lagi suka sama cewek diangkatan kita," ujar Fania membuat Alma hampir tersedak.

"Ha? Masa?" tanya Alma menyerup jus jeruknya.

Fania mengangguk. "Trus urusan sama gue apa?" tanya Alma membuat Fania ingin memukul kepala sahabatnya itu dengan meja. Dasar tidak peka.

"Entah," dengkus Fania malas melanjutkan ceritanya.

"Nggak asik lo," dengkus Alma.

"Eh, tapi ya. Pas gue ikut rapat kemarin dia aja dekat sama Kak Chinta," saut Alma.

"Ha? Kak Chinta yang cantik itu, anak kepala sekolah?" Alma mengangguk.

"Ngomongin gue ya kalian?"

"Ha?!"

***




















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top