[25]
Mata Alma masih terpejan dengan damainnya. "Lo mau mati konyol cuman gara-gara ini, Al. Cemen lo," sindir Fania memutar bola mata malas.
Sudah hampir setengah jam Fania menemani. Tak ada tanda-tanda Alma untuk sadarkan diri. Mereka berdua hanya ditemani oleh suara mesin menitor.
"Nggak kasian apa lo lihat Mama, Abang, dan Kak Qadafi uring-uringan karena lo, oii bangun dong," gerutu Fania menyeka sudut matanya.
Fania mencibir kesal, kenapa dia harus menangis karena Alma. Hatinya tak dapat berbohong, takut-takut dengan pikirannya yang terlalu over atas sesuatu.
Tak lama terdengar suara decitan pintu membuat Fania cepat-cepat menghapus air matanya yang masih jatuh. "Lo nangis Nia?" ledek Balqis membuat Fania menggeleng cepat.
Balqis terkekeh. Tangannya bertumpu di sandara kursi sambil menatap Alma dalam diam.
"Cepat sadar bego, gue takut pacar lo bisa lepas tangan," dengkus Balqid kepada Alma.
Fania mengadah ke atas. Maksudnya?
"Maksud lo?" tanya Fania bingung.
"Anak kecil nggak boleh tau," ujar Balqis tersenyum miring.
Fania mendengkus kesal. "Tengil siapa sih yang lo dapat," gerutunya menatap datar.
"Sejak ada Bang Irwan di rumah gure jadi bijak loh, suer," ujar Balqis tersenyum geli.
"Eleh," gerutu Fania. "Al gue laper minta buahnya ya," ujar Fania mengambil buah apel di atas nakas.
Sekarang mereka sama-sama diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Tanpa mereka sangka air mata Alma jatuh dari sudut matanya. Apa dia mendengarkan semua yang dikatakan oleh Fania dan Balqis?
"Pleas deh, Balqis lo nggak usah kek anak kecil deh," dengkus Fania. Saat ini mereka tengah berada di taman rumah sakit. Semua berkumpul, Qadafi, Rendi, Dafa, Fania, dan Balqis.
"Ya, Allah gue cuman minta sedikit Nia," ujar Balqis memanyunkan bibirnya kesal.
"Bodo amat," ketus Fania. Balqis mengedikan bahu cuek.
"Ribut mulu kalian, tuh tengah taman luas," suruh Rendi hingga mendapat tatapan maut dari dua gadis tersebut.
"Oh iya, gue lupa," imbau Balqis membuat semua menjerit bingung. Dia mengeluarkan handphonenya dari dalam sakut jaketnya.
"Dengar baek-baek ya, Bang Dafa jangan emosi," ujar Balqis.
Voice note tersebut diputar oleh Balqis. Semua menyimak apa yang mereka dengar.
Air wajah Dafa seketika berubah. Setelah mendengarkan semua, Balqis menunggu respon dari mereka apa lagi respon dari Dafa.
"Pen gue jambak si Chinta," geram Fania tanpa menggunakan embel-embel kakak.
Balqis mangut-mangut, membiarkan mereka semua berkomentar. "Karma," ujar Rendi. Balqis hanya mengangguk singkat, yang dia harapkan adalah jawaban dari Dafa.
Dafa langsung bangkit dari duduknya meninggalkan mereka begitu saja tanpa sepatah katapun. "Gini amat, padahal gue nunggu kata-kata pedas Bang Dafa," gumam Balqis mendengkus kesal. Lalu sekarang pandangannya beralih kepada Qadafi yang hanya diam. Balqis tak berharap banyak karena pria jakung tersebut pasti sudah mengetahui sebelum dirinya mengetahuinya.
"Apa?" tanya Qadafi menatap Balqis dengan alis terangkat satu.
"Please deh Kak. Jangan dingin-dingin amat," ujar Balqis. Qadafi mendengkus kesal lantas dia ikut bangkit dan juga pergi begitu saja.
"Lah, pada pergi semua," gerutu Alma.
"Sekarang dia di mana?" tanya Fania geram. Balqis mengerjabkan matanya beberapa kali. "Dia siapa?" tanyanya bingung.
Fania menepuk jidatnya, dah lah mengcapek. Balqis lemot kembali lagi.
"Chinta, Balqis," geramnya.
"Oh, Kak Chinta. Eh, kok Chinta doang. Nggak sopan Fania," omel Balqis. Rendi yang duduk di antara gadis-gadis itu menahan tawa. Yang satu ngeselin yang satunya tukang omel lengkap sudah. Dari pada Rendi ikutan kena semprot dia memilih memisahkan diri dari gadis-gadis tersebut.
***
Hafis menatap pemandangan luar dari gedung tingkat empat. Tatapannya kosong, dan entah memikirkan apa sekarang.
Hatinya gundah setelah mendapat kabar bahwasannya Alma kritis. Pikirannya benar-benar kalut.
"Sial!" umpatnya dia mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Kenapa sih lo?" tanya seorang gadis yang sudah lama menemaninya di ruangan yang langsung menghadap lepas ke gedung-gedung lainnya.
Hafis menggeleng dia langsung menjatuhkan dirinya ke kursi duduk di samping Fasya.
"Salah ya kalau gue mencintai Alma sedalam ini?" tanyanya. Fasya tersenyum kecut kenapa hatinya nyeri ketika Hafis mengatakan itu semua.
"Setiap orang berhak mencintai siapapun," ujar Fasya.
"Namun, lebih baiknya cintailah Tuhannya sebelum kamu mencintai hambanya," ujar Fasya membuat Hafis menoleh.
"Tuhannya," gumamnya menatap manik mata Fasya.
"Ketika Alma memegang tasbih di setiap salatnya, maka kamu akan memegang salib si setiap ibadahmu, kalian berbeda satu amin, berbeda iman," jelas Fasya.
Hafis tertawa singkat. "Ya, yang lo katakan memang benar," ujarnya.
Fasya tersenyum singkat. "Gue hanya bisa bilang begitu supaya lo nggak bakal sakit lagi dikemudian hari," ujarnya Fasya menyemangati.
Hafis mengangguk dalam diam. Hatinya memberontak, semuanya bisa dikatakan tidak adil sama sekali. Kenapa cinta itu rumit.
"Gue duluan ya," pamit Fasya. Hafis menghela napas. "Gue antarin?" tanya Hafis menawarkan.
Fasya menggeleng singkat. "Gue belum mau mati muda gara-gara pikiran kalut lo," ujarnya melongos pergi.
Hafis menggeleng kecil, "Bodoh lo Fis," gumamnya. Dia merebahkah tubuhnya ke atas sofa menatap langit-langit ruangan tersebut dengan tatapan kosong. Air matanya jatuh begitu saja dari sudut matanya.
"Maaf Al, gue masih mencintai lo," gumamnya.
--
"Kak Hafis, ngapain ke sini?" tanya Balqis membuat pria jakung tersebut terbelonjak kaget.
"Eh," ujarnya kaget menoleh ke belakang. Terdapat Balqis berdiri di belakangnya dengan tatapan datar.
"Ngapain?" ulang Balqis bertanya.
"Jenguk Alma, kenapa?" tanya Hafis balik bertanya.
Balqis menggeleng. "Oh, ya udah," ujarnya. Hafis mengangguk dan langsung masuk ke dalam ruangan Alma.
Seketika pintu terbuka terlihat seorang gadis terlelap dengan damainya. Hafis menutup pintu pelan dan melangkah mendekat. "Hai! Apa kabar?" ujarnya pelan meraih tangan Alma.
"Cantik," gumam Hafis menatap lengkap wajah Alma. Hafis membelai rambut Alma. "Gue yakin lo bisa melewati ini."
"Kasian Qadafi Al," ujar Hafis. "Lo tau baru sehari lo nggak sadarkan diri. Keadaannya sudah tak terurus. Apa lagi kalau se—" Hafis langsung menggeleng kenapa pikirannya terlalu, ah menyebalkan sekali.
"Banyak yang sama lo, yuk kamu pasti bisa melewati masa kritis kamu," gumamnya mencium lembut punggung tangan Alma.
"Cepat sadar sayang," ujarnya pelan. Hafis terhayung, karena Alma menangis. "Lo mendengarkan semua?" tanya Hafis dengan mata berbinar. Dia lantas menghapus air mata Alma yang jatuh.
"Gue berharap lo cepat sadar. Dan jangan lupain kami lagi," ujarnya tersenyum tipis.
"Maafin gue ya," gumamnya.
Sekali lagi Hafis mencium tangan Alma. Dia bangkit dan keluar dari dalam ruangan tersebut. Saat pintu sudah terbuka dia tersenyum lega.
"Cepat sembuh kelinci kecil," gumamnya mengusap sudut matanya.
"Lo nangis?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top