[24]
"Kak, Alma kenapa?" tanya Fania membuat semua menoleh.
Qadafi duduk di lantai di sebelah bangku dia menunduk keadaannya acak-acakan. Membuat Fania menjerit bingung. Begitu juga dengan Dafa yang hanya diam menatap kosong ke depan.
Fania menoleh ke pintu. Kebetulan pintu tersebut ada kaca yang bisa melihat ke dalam. Fania terkejut, air matanya menetes begitu saja dari pelupuk matanya.
Di dalam Alma tengah di temani oleh Tante Laura, mamanya. Badan Alma dipenuhi oleh alat-alat yang menempel di tubuhnya.
"Nggak ada yang bisa jelasin, Alma kenapa?" tanya Fania menatap semuanya. Balqis kembali meneteskan air matanya.
"Alma, hampir meninggal. Karena ada orang yang menyelakainya semalam," ujar Balqis. Fania membekap mulutnya tak percaya. Tak habis pikir dengan apa yang menimpa Alma.
"Chinta," ujar Fania membuat semua kembali menoleh ke arahnya. "C-hinta?" tanya Balqis terbata.
Apa iya dia?
"Chita?" Wajah Dafa langsung memerah dibuatnya. Qadafi langsung bangkit dan memegang bahu Dafa.
Qadafi menggeleng singkat. "Insyaallah udah ditangani oleh pihak berwajib," ujarnya menenangkan Dafa. Dafa mengacak ramputnya frustasi.
Jika saja memang Chinta yang melakukan itu semua, dia tak akan memaafkan gadis tersebut.
Ah, masa bodoh. Tak lama Laura keluar, semua bangkit.
"Ma, gimana keadaan Alma?" tanya Dafa. Laura menggeleng lesu, masih sama. Belum sadarkan diri.
Dafa menghela napas gusar dia kembali menjatuhkan dirinya ke kursi. Matanya dia pejamkan bersandar.
***
Qadafi menatap seorang gadis di depannya dengan tatapan nyalang. "Qafi!" ujarnya tertawa.
"Qafi mau ngapain ke sini, jemput Chinta ya," lanjutnya bertepuk tangan.
"Munafik lo!" ketus Qadafi. Membuat Chinta terbelalak kaget dengan ucapan Qadafi. Matanya berkaca-kaca, membuat Qadafi berdecih.
Qadafi melemparkan surat ke hadapan Chinta membuat gadis tersebut langsung membacanya.
"Surat penahanan, dengan kasus pembunuhan," ujar Chinta. Seketika wajahnya memucat.
"Gue berharap lo emang gila benaran," sautnya pergi dari ruangan Chinta. Chinta sekarang berada di rumah sakit yang sama dengan Alma.
"Kak, dari mana?" tanya Balqis menghampiri Qadafi yang berdiri di ujung lorong.
Qadafi hanya diam. Membuat Balqis mengusap tengkuknya. "Nggak mungkin setan siang bolongkan?" tanyanya menoleh ke kiri dan ke kanan.
Qadafi menjitak kening Qadafi. "Mau saya bawa ke surga atau neraka?" tanya Qadafi membuat Balqis mengaduh kesakitan.
"Alhamdulillah, manusia toh," ujar Balqis mengusap-ngusap keningnya.
"Dari mana?" tanya Balqis penasaran. Pasalnya tiba-tiba Qadafi memisahkan diri tanpa pamit, mrmbuat jiwa kepo Balqis meronta-ronta.
"Dari mana aja," jawab Qadafi cuek dan mendahului Balqis.
"Kak!" ujarnya sedikit gregetan.
"Apa?" tanya Qadafi tetap berjalan, dia tau bahwa Balqis mengikutinta dari belakang.
"Kalau ada masalah cerita," ujar Balqis membuat langkah Qadafi terhenti. Karena tidak memerhatikan jalan akhirnya wajah Balqis menempek di punggung Qadafi.
"Ais, kalau berhenti bilang-bilang dong," gerutu Balqis mengusap wajahnya pelan.
"Ulang pertanyaannya yang tadi," pinta Qadafi menatap datar.
Balqis memutar bola mata malas. "Kalau ada masalah cerita, jangan pendam doang," ketusnya.
Qadafi mengangguk. Lantas dia kembali berbalik melanjutkan jalannya. "Ya, Allah apa Alma betah pacaran sama Kak Qadafi," gumamnya mengekori Qadafi.
Saat ada diperempatan, Balqis menjerit. Bukannya ruangan Alma belok ke kiri ya. Namun, Qadafi malah belok ke kanan.
"Oke, biarkan saja," ujar Balqis pelan memilih jalan berlawanan arah dengan Qadafi.
"Ais," ringis Balqis bahunya ditabrak oleh seseorang.
"Eh, maaf," ujarnya. Balqis mendongkakkan kepalanya menatap siapa yang tak sengaja menyenggolnya.
"Kak Fasya?" tanyanya bingung menatap gadis tersebut tengah merapikan bajunya.
"Ha?" ujarnya ikut terkejut.
"Kamu, Balqis," ujarnya. Balqis mengangguk. "Maaf ya, Kakak tadi nggak merhatiin jalan," ujarnya. Balqis menggeleng. "Nggak apa-apa Kak," sautnya.
"Kakak ngapain di sini?" tanya Balqis penasaran. Wajah Fasya nampak kaget.
"Eh, jenguk teman," ujarnya.
Balqis mengangguk. "Lalu kamu ngapain di sini?" tanyanya menatap penapilan Balqis. Bawahannya dia pakai seragam sekolah atasannga dia pakai jaket.
"Alma, kritis," ujar Balqis membuat Fasya terkejut untuk sekian kalinya.
"Ha, kok bisa? Bukannya keadaannya kemarin udah mendingan?" tanya Fasya bingung.
Balqis menghela napas. "Semalam ada orang yang mau mencelakai Alma," ujar Balqis.
Fasya masih belum paham. "Maksudnya?" tanyanya.
"Dibunuh," jelas Balqis tersenyum kecut. Mata Fasya terbelalak kaget.
"Astafirullah," ucapnya tak habis fikir dengan apa yang dialami Alma.
Fasya langsung teringat sesuatu apa jangan-jangan ....
"Oh, ya Kakak duluan udah ditungguin," pamitnya segera berlalu dari hadapan Balqis. Belum sempat Balqis mengangguk Fasya sudah pergi begitu saja.
Dia memerhatikan Fasya dari jauh, "ikuti ah," ujarnya membututi Fasya dari belakang.
Fasya menuju jalan saat Balqis melihat Qadafi tadi. Bagian belakang?
"Ngapain?" gumam Balqis hingga tiba di depan ruangan bercat putih tersebut. Sebelumnya Fasya sudah masuk ke dalam, "Jenguk siapa ya kira-kira."
Balqis mengintip dari celah kaca yang ada di pintu. Terlihat dua gadis tengah berkencrama dan Kak Fasya kelihatan sangat kesal, ke gadis satunya siapa lagi kalau bukan Chinta.
"K-ak Chinta?" gumamnya bingung. Ngapain gadis itu berada di sini.
Lantas dia teringat Qadafi tadi, apa mungkin Qadafi dari sini. Ah, pikiran ini terlalu ngadi-ngadi sekali.
"Lo benar-benar gila ya!" bentak Kak Fasya membuat Balqis terkejut.
Dia bukannya menguping namun suara itu jelas terdengar ke luar dikarenakan lorong di sini sepi.
"Masalahnya di lo apa?" tanya Chinta dari dalam. Balqis mendengarkan seksama bahkan handphone yang semula berada di saku jaket langsung dia keluarkan.
"Lo tega mau membunuh Alma!"
Deg!
Apa?!
Apa Balqis tak salah mendengar, tangannya sekarang bergetar. "Suka-suka gue lah, emang lo siapa ngatur-ngatur gue," ujar Chinta santai.
Fasya mengusap wajahnya kasar. Bolehkan dia mengumpat saat ini. "Gur benar-benar kecewa sama lo, bukannya lo membaik di sini lo malah makin gila," ketus Fasya.
Tawa terdengar dari dalam. Apa Balqis akan menemukan psikopat sesungguhnya di sekitarnya yang biasanya dia hanya mengira psikopat hanya ada di dunia fiksi yang sering dia baca.
Dengan kesal Fasya meraih tasnya, dan pergi dengan rasa amat kecewa. Saat membuka pintu dia dikagetkan oleh Balqis yang masih mematung di depan pintu.
"B-alqis," ujarnya terbata. Balqis menyetir kuda dan melirik ke dalam di mana Chinta berada. Lantas dia melabaikan tangannya, "Lo ngapain ke sini?" tanya Fasya was-was dia langsung menutup pintu ruangan Chinta.
"Oh, tadi kebetulan mau ke sana," ujar Balqis. Fasya menghela napas.
"Lo nguping pembicaraan gue?" tanyanya. Balqis tampak berpikir.
"Bukan nguping sih sebenarnya, tapi memang kedengaran," jawab Balqis jujur. Fasya memejamkan matanya, entahlah pikirannya tengah kalut dengan apa yang terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top