[21]


Semua panik menunggu di luar ruangan. Qadafi berulang kali menelfon Dafa namun tak kunjung diangkatnya.

"Qadafi," panggil Hafis membuat pria tersebut menoleh. Hafis menyodorkan sebotol mineral.

"Jangan dibawa panik," ujarnya. Qadafi menangambil mineral tersebut. Qadafi membuka tutup botol dan meneguk air mineral tersebut sampai tinggal setengah.

Dia menjatuhkan tubuhnya ke kursi menatap kosong ke pintu yang masih tertutup.

"Gimana keadaan Alma?" tanya Pak Roby baru datang bersama kepala sekolah.

Hafis menggeleng, karena dari tadi dokter yang menangani Alma juga belum keluar.

Pak Roby memukul bahu Hafis dan memilih duduk di samping Qadafi.

"Chinta benar-benar gila," saut Pak kepala sokolah menatap nanar pintu di depannya. Sontak ketiga pasang mata itu menoleh ke arah beliau.

"Chinta," gumam Qadafi baru sadar.
"Lo jangan ikut kegababah juga soal ini," saut Hafis berusaha menenangkan Qadafi. Dia tau apa yang sedang dirasakan Qadafi saat ini, marah, sekaligus kesal dengan tingkah Chinta yang begitu kelewatan apa lagi ini bersangkutan dengan orang yang mereka cintai.

Qadafi menghela napas, jika saja terjadi hal yang tak diinginkan. Bersiap-siaplah Chinta akan berurusan langsung dengannya.

***

Di lain tempat Chinta meringkuk di sudut kamarnya. Mamanya, Veny menatap putrinya kecewa.

"Itu yang Mama dan Papa ajarkan selama ini pada kamu, Chinta?" tanya Veny. Chinta hanya diam, dia meremas kuat-kuat jemarinya menatap kosong ke depan.

Veny mengusap sudut matanya dengan kasar. Marah dan kecewa itulah yang dia rasakan saat ini, dia juga bukan tipe ibu yang ringan tangan seperti kebanyakan ibu-ibu di luaran sana yang akan mudah melayangkan tamparan dengan mudahnya ke putra atau putri mereka.

"Kali ini Mama benar-benar kecewa. Urusan kamu sama Papa bukan Mama," ujar Vany meninggalkan Chinta dengan air mata yang berderai di pipimya.

Chinta tersenyum miring mendengar pintu tertutup. Apa semua orang menjauhi dia bahkan mamamnya sendiri tak ingin tau dengan urusannya lagi.

Chinta perlahan bangkit, dia berjalan ke arah meja belajarnya. Dengan sekali sentakan semua barang yang ada di sana berjatuhan. "Hiks," tangis Chinta terduduk menenggelamkan wajahnya dilipatan tangannya.

"Gue gila," gumamnya.

Dia bodoh? Ya, sangat bodoh. Kenapa dunianya kejam sekali.

Veny tersandar di luar pintu. Hatinya ikut nyeri mengetahui apa yang telah Chinta lakukan kepada adik kelasnya.

Veny langsung bergegas turun ke bawah. Sekarang tujuannya adalah untuk menghubungi temannya, psikolog. Tidak mungkin dia membiarkan psikolog putrinya seperti ini.

***

Alma sekarang sudah dipindahkan ke ruangan inap. Qadafi masih setia menemaminya membuat Hafis yang duduk di sofa menghela napas.

"Orang kalau dah cinta, bucin banget ya," cibir Hafis. Qadafi tidak bergeming matanya tak lepas dari Alma.

Untung saja Pak Roby dan Bapak kepala sekolah sudah pamit duluan. Dan soal Dafa pria tersebut tengah di jalan menuju ke rumah sakit. Mendengar adiknya terbaring di rumah sakit reaksinya sungguh membuat orang jantungan. Untuk saja telinga Hafis tidak tuli dengan suara Dafa sewaktu dia mengabarkan melalui telefon.

Alma meringis membuat mereka berdua terkejut. Sewaktu mata Alma terbuka ia hanya menatap kosong ke atas.

"Alma," panggil Qadafi lembut. Namun, tak ada sahutan sama sekali dari Alma membuatnya dan Hafis saling pandang.

"Nggak mungkinkan Alma tiba-tiba amnesia?" tanya Hafis pelan. Qadafi menatap tajam. Nggak, nggak itu tidak bakal terjadi.

"Panggil dokter ogeb," suruh Qadafi membuat Hafis menyetir kuda.

"Sabar bro," ujar langsung menekan tombol di dekat ranjang.

"Yang simple ada ngapain repot-repot ngeluarin suara," ujarnya tersenyum mengejek.

Keadaan Alma masih sama. Tak ada respon sama sekali walau keadaannya sudah sadar.

"Al, sayang," panggil Qadafi pelan. Mata Alma hanya mengerjab beberapa kali.

Tak lama dokter masuk Qadafi dan Hafis diminta untuk menunggu di luar. "Qa, gimana keadaan adek gue?" tanya Dafa baru datang bareng Laura.

Qadafi menggeleng, "Tadi udah sadar tapi tatapan kosong," saut Qadafi membuat Laura syok.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Dafa membawa mamanya duduk.

Qadafi menjelaskan kronologinya. "Astafirullah," ucap Laura tak disangka ada yang membuat sedemikian rupa kepada putrinya.

Pintu ruangan Alma terbuka. Membuat mereka berpempat langsung berdiri. "Dok, gimana keadaan putri saya?" tanya Laura langsung.

Dokter tersenyum terdiam sejenak. "Keadaan pasian sudah dalam keadaan baik, namun karena benturan di kepalanya beberapa memori hilang diingatannya untuk sementara waktu," jelas Dokter.

"Amnesia," saut Hafis diangguki Dokter. Setelah itu mereka dipersilakan masuk ke dalam. Alma masih terjaga lagi-lagi ia hanya menatap kosong ke atas membuat air mata Laura jatuh.

"Ya, Allah nak," gumamnya duduk di bangku dekat Alma. Di lehernya terdapat goresan dan telapak tangan sebelah kanannya diperban.

"Alma, ini Mama nak," lirih Laura mengusap lembut surai hitam Alma.

Alma mengerjabkan matanya. Ia sedikit menoleh. "M-ama," lirihnya sedikit terbata. Laura mengangguk dia mencium punggung kiri tangan Alma yang diinfus.

Alma tersenyum getir air matanya jatuh membuat hati seorang ibu menjerit melihat keadaan putrinya seperti ini. Qadafi menghela napas lega, akhirnya Alma berbicara juga.

Dafa menatap kesal ke arah Qadafi dan Hafis. Sekarang mereka berada di kantin rumah sakit. Alma sedang beristirahat.

"Kok sampai bisa?" tanyanya datar.

"Kami juga kecolongan," saut Hafis. Qadafi hanya diam sambil mengaduk-ngaduk makanannya tanpa minat.

Dafa menghela napas. "Gila memang," gumamnya mengingat cerita yang dicerikan oleh Qadafi tadi.

Hafis mengangguk-ngangguk. "Punya dendam kesumat apa dia sama Alma?" tanya Dafa menatap Qadafi dan Hafis.

Hafis meneguk salvihnya sendiri. Apa dia harus jujur mengatakan rencana-rencana gila Chinta semuanya.

"Dia sakit hati karena kami jadian," saut Qadafi. Dafa berdecak sebal, dia menatap Hafis sejanak.

"Cinta memang gila," gusarnya.

"Namanya memang Chinta," ujar Hafis polos hingga dapat pelotokan oleh Dafa. Qadafi mendengkus geli, dengan keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya Hafis untuk ngelucu.

***

Fania, Balqis, dan Rendi tengah ribut di depan ruangan Alma. Mereka tak ada satupun masuk setelah mengetahui keadaan Alma yang sebenarnya.

"Kalau kita benar-benar dilupain gimana, nggak lucu deh," ujar Fania sedih.

"Berharap dilupain lo," ujar Rendi hendak memutar gangang pintu, namun tangannya ditepis oleh Balqis.

"Ntar dulu ih," gerutu Balqis menatap Rendi sebal.

"Apa lagi sih Beb, masuk ya tinggal masuk aja," dengkus Rendi berkelik kesal.

"Siapin mental dulu," celetuk Balqis menatap ke pintu.

"Ya, Allah kenapa aku dipertemukan dengan manusia-manusia yang lebai ini," ujar Rendi mengusap-ngusap dadanya.

Fania menatap horor Rendi. Rendi hanya cuek lantas langsung memutar kop pintu membuat Balqis dan Fania terbelalak kaget.

"Rendi!" gerutu mereka bersamaan.

"Kalian—"








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top