[20]

Alma menatap panik Chinta. "Kak, ya Allah," gumamnya. Sekarang keadaan Chinta sangat memperhatikan dia meringkut di sudut ruangan dengan penampilan yang acak-acakan.

"Gimana ini," gumam Alma menatap ke luar sudah sepi. Sekarang ia dan Chinta ada di ruang labor.

"Astafirullah, kalau ditinggalin brabe. Kalau teriak ntar pada heboh semua," monolog Alma.

"Ah, iya handphone." Untung saja handphonenya ke bawa. Alma langsung menghubungi siapa yang bisa dihubungi.

["Halo, Kak. Boleh datang ke ruang labor bentar."]

[ " ...." ]

["Ntar aja, cepatan."] Setelah telfonya mati Alma hendak mendekat namun takut karena tiba-tiba mengambil beling kaca yang ada di dekatnya.

"Astafirullah," gusar Alma tak bisa berfikir jernih.

Chinta mengdongkakkan kepalanya menatap nanar ke arah Alma. Telapak tangannya sudah mengeluarkan darah membuat Alma meneguk salvihnya sendiri.

"Kabur atau nggak ya," gumamnya menggelengkan kepalanya.

"Kak Chinta mau ngapain?" tanya Alma takut dikarena Chinta berdiri sambil menatapnya. Chinta tak menyaut. Dari sorot matanya tergambar kebencian yang sangat besar.

"Astafirullah, ini gimana sih," ujar Alma panik.

Di luar sana terdengar bunyi langkah membuat Alma sedikit lega namun tidak menutup kemungkinan bahwa Alma takut melihat sembelih beling yang berada di tangan Chinta.

"Gue belum mau mati," gumamnya pelan.

"Lo takut?" tanya Chinta bersuara. Dengan polosnya Alma mengangguk membuat Chinta tersenyum miring.

Chinta berdecih langkahnya semakin dekat dengan Alma. "Seorang Qaila Alma Syakila ternyata sosok penakut juga ya," gumam Chinta. Beling yang sebelumnya berada di tangan kiri berpindah ke tangan kanannya. Darah  sudah menetes ke lantai dan aroma khas darah sudah terbaun oleh indra penciuman Alma.

"Siapa bilang," dengkus Alma tak terima.

Alma langsung berjalan mundur ke arah pintu. Membuat Chinta semakin mendekat.

"Please siapapun di luar tolong gue," batin Alma menjerit. Ah, persetan dengan Chinta yang ada di depannya. Saat kop pintu diputar ke bawah. Alma terbelalak kaget, ia memuar ke atas dan ke bawah. Terkunci?

"Ya, Tuhan," gumamnya membalikkan badannya. Alma berbalik menatap Chinta, Chinta tengah tersenyum sambil menenteng kunci.

"Cari ini ya?" tanyanya.

Alma menatap Chinta tajam. "Mau Kakak apa sih?" tanya Alma menatap Chinta serius.

"Nggak ada sih sebenarnya. Cuman main-main aja," saut Chinta. Dia mengambil tisu di atas meja lap dan menyeka telapak tangannya. Tisu tersebut berembus dengan cepat oleh darah.

"Gue tau sebenarnya lo itu baik, tapi ...." Chinta sengaja menggantungka  ucapannya.

"Tapi, lo itu BUSUK." Chinta sengaja menekan kata busuk membuat Alma tersenyum.

"Iya, memang benar," jawab Alma santai. Malahan ia beranjak mendekat ke arah Chinta.

"Tapi gue nggak semunafik lo," ujar Alma menunjuk Chinta.

Chinta mengangguk, diam-diam dia menyembunyikan beling di belakang tubuhnya.

Alma menjulurkan tangannya. Chinta menatap heran, "Apa?" tanyanya datar.

"Kuncilah," sautnya Alma memutar bola mata malas.

"Enak aja," sindir Chinta.

Alma melirik cctv. "Semoga ada yang jaga di ruang cctv," batinnya. Kemungkinan terbesar akan ada sesuatu yang menimpanya baik atau buruknya. Ah, jangan sampai ia mati konyol di dalam ruangan ini.

Alma menarik dua kursi. "Duduk," tintah Alma. Chinta mengangguk sekerang mereka duduk berdampingan.

Alma melipat tangannya di atas meja sambil menatap datar Chinta. "Mau lo apa sih?" tanya Alma baik-baik.

Chinta menopang dagu sambil memainkan pipet di atas meja. "Nggak ada sih," jawabnya lagi dan lagi sama. Tidak ada, tapi kenapa dia berbuat nekat seperti ini.

Alma mengangguk singkat, ia melirik ke belakang Chinta. Di selipatan celanan olahraga yang dia kenakan terdapat sepotong kaca.

Alma melirik ke pintu. Sudah setengah jam namun orang yang diharapkan datang belum juga muncul-muncul. Ah, sial sekali.

Decitan kursi membuat Alma menoleh ke Chinta, dia bangkit lalu berdiri di belakang Alma.

"Menurut lo cinta itu apa?" tanyanya.

"Cinta?" tanya Alma bingung.

"Cinta itu gila," jawab Chinta sendiri.

"Chinta memang gila," celetuk Alma membuat Chinta mengangguk.

"Chinta," tekan Alma. Chinta belum sadar dengan apa yang diucapkan Alma barusan.

"Bodoh," gumam Alma tersenyum miring. Saat hendak berdiri Alma tersentak kaget karena sebelih kaca tadi sudah berada di samping lehernya.

"Ngapain?" tanya Alma tanpa sedikitpun terbata. Namun, berbanding terbalik detak jantung Alma seakan berpacu dengan cepatnya.

"Apa gue akan mati muda," batin Alma menatap nanar sembelih kaca di samping lehernya.

"Mau lo apa si?" desis Alma.

"Mau gue?" tanyanya tertawa kecil.

"Gila," gumamnya di samping telinga Alma.

Alma tak membiarkan kesempatan. Ia langsung mendorong perut Chinta dengan sikunya. Chinta otomatis terdorong ke belakang. Leher Alma sedikit di raut oleh serpihan kaca.

"Ais," ringisnya.

Alma mengelap darah yang keluar. "Sakit juga ternyata," gumamnya menatap ujung jarinya.

Dengan sigap Alma mengambil kunci pintu yang ada di atas meja. Kesepatan emas untuk melarikan diri tidak dibiarkan sia-sia oleh Alma.

Saat baru dua putaran memutar kunci Alma langsung di tarik oleh Chinta. "Mau ke mana lo?" tanyanya menyekal tangan Alma. Alma menatap tajam, ia tidak takut sama sekali dengan serpihan kaca yang ditodongkan tepat di depan wajahnya.

"Gila!" desis Alma menghempaskan tangan Chinta kasar.

Chinta berdecih. "Menjauh atau mati," gertaknya membuat Alma tersenyum miring.

"Tidak dengan kedua-duanya," tantang Alma membuat Chinta naik pinta.

"Apa?!"

Saat hendak melayangkan tamparan Alma langsung merebut serpihan kaca dari tangan Chinta. Alma membiarkan serpihan kaca tersebut mengores telapak tangannya.

"Bodoh," gertak Alma membuang serpihan itu ke bawah lemari.

Telapak tangannya ikut berdarah, namun itu tak sebanding dengan nyawanya yang hampir dipertaruhkan.

Chinta menggeram kesal. "Lo!" tunjukannya. Alma tersenyum manis.

"Jika lo bermain dengan liciknya, gue bisa bermain lebih gila dari itu," saut Alma menatap tajam.

Ketokan pintu terdengar dari luar. Alma dan Chinta sama-sama diam, membisu dengan keadaan di luar yang mulai banyak orang berdatangan.

"Alma!" teriak Qadafi. Chinta tersenyum sinis. "Cih, pahlawan ke siangan," decihnya. Chinta memecahkan gelas kaca yang ada di atas meja. Dia kembali memungut serpihan kaca.

"Urusan kita belum selesai Alma," ujarnya.

Chinta berjalan mendekat, Alma hanya diam di posisinya menatap tajam Chinta.

Di luar sana Qadafi mendengar bunyi pecahan benda kaca di dalam. Dia semakin panik, pintu terkunci membuatnya harus mendombrak paksa pintu ruangan tersebut.

"Minggir biar Bapak saja," saut Pak Roby membuat Qadafi meminggir.

Dalam satu dobrakan pintu tersebut terbuka.

"Alma!" teriak Qadafi melihat tubuh Alma terkulai lemas di lantai. Kepalanya mengeluarkan darah membuat semuanya panik. Chinta diam membeku menatap itu semuanya.

Apa yang dia lakukan. "Chinta!"

"P-apah," ucapnya terbata menatap papanya berdiri di depan pintu.













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top