[2]

Mungkinkah ini sebuah kebetulan? Kurasa tidak!

***

Alma mengetok-ngetok meja dengan tangkai sendok yang ia pegang. "Kenapa sih kamu?" tanya Laura-mamanya Alma duduk di hadapan putrinya.

"Aneh deh Mah," gumam Alma menatap mamanya serius.

"Why?"

"Jadi gini, di sekolah Alma kan ada kelompok penelitian Ilmiah gitu. Nah, tadi Fania daftarin aku."

"Bagus dong," ujar Laura menuangkan air ke dalam gelas di hadapannya.

"Apanya yang bagus coba, pertama Alma nggak mau. Yang kedua, itu aneh banget. Ketiga, intinya Alma nggak suka," dengkusnya.

"Yaudah serah kamu aja kalau gitu."

"Yah, Mamah nggak asik." Ngambek Alma meletakan sendok dengan kesal.

"Ngambekan," ledek Laura membuat Alma makin kesal.

"Nggak di sekolah, nggak di rumah. Orangnya sama-sama bikin kesal," gerutunya beranjak pergi dari ruang makan.

Sedangkan Laura hanya tersenyum geli dengan tingkah putrinya itu.

"Huaaa, sama aja semuanya!" teriak Alma menenggelamkan kepalanya di bawah bantal.

"Njirr sesak juga ya!" Dumelnya sendiri dengan wajah merah dan napas ngos-ngosan.

Alma tidur terlentang menatap langit-langit kamar yang 'tak enak dipandang itu, warnanya sudah kusam hiks.

"Ma besok ganti cat kamar Alma yaa!" teriaknya lagi.

***

"Al gawat!" Bantingan pintu mengagetkan Alma yang sedang berhalu ria dengan dunia orange.

Alma menatap Fania bingung. "Apa!" ketusnya lanjut membaca cerita yang ada di wattpad.

"Huaa, kenapa dia mati njirr. Bang Kael kenapa tinggalin dedek," gerutu Alma melempar bantal ke wajah Fania.

"Njirr lo!"

"Balqis woii!" Fania merebut handphone Alma secara paksa.

"He! Balikin handphone gue."

"Balqis nangis kejar gara-gara lo," ujar Fania membuat Alma terdiam sesaat.

"Nggak gue aja kali, lo juga kata si Ilham." Tawa Alma meledak membuat Fania cengengesan.

"Yaudah trus gimana lagi dong?" Alma melirik Fania sinis.

"Pikir aja sindiri!" ketus Alma kembali membaca cerita di wattpad.

"Ngambek," ledek Fania berbaring di samping Alma.

Cukup lama mereka saling terdiam, membuat Alma heran biasanya tu anak sering ceplos-ceplos.

"Tidur," gumam Alma melirik Fania yang terlelap di sampingnya.

Alma duduk dan bangkit menuju balkom kamarnya. Terlihat matahari yang mulai menghilang di arah barat.

Ia menatap handphonenya lalu menghela napas gusar.

"Sekarang tanggal 20 Januari? Kenapa gue bisa lupa."

"Udah empat tahun aja ya," lanjutnya tersenyum kecut.

"Dulu, kalau gue nggak keluar kamar jam segini, pasti ada yang nyariin," gumamnya dengan mata berkaca-kaca.

"Qai kangen papah."

"Sekarang Qai hanya berharap ada keajaiban, tapi mustahil," gumam Alma menatap langit senja.

"Tenang di atas sana Pah, Qia tau Papa selalu jagain Qai di sini." Alma tersenyum tipis, berusaha agar tetap tegar walau di dalam sana ia sangatlah rapuh.

Alma berbalik ingin masuk ke dalam kamarnya kembali, tapi ia dikejutkan oleh Fania yang sedang berdiri di belakangnya.

"Njir, ngegetin aja lo," dengkus Alma. Fania menyetir kuda.

"Lo nggak sendirian, masih ada Mama lo dan kita," ujarnya tersenyum tipis membuat Alma juga ikut tersenyum.

"Om Rio udah tenang di alam sana, dia udah sembuh dari penyakitnya." Perkataan Fania membuat Alma meneteskan air mata.

"Malah mewek, masuk yuk."

Saat menutup pintu balkom Fania kembali memikirkan Balqis karena ulang mereka membuat dia nangis kejar.

"Al, Balqis," ucapannya membuat langkah Alma berhenti.

"Balqis? Gampang kok, besok tinggal minta maaf dan beliin ice crem," jawab Alma. Fania mendengkus kesal dengan sikap sahabatnya satu ini, cueknya nauzubillah udah bikin anak orang nangis kejar dan sekarang malah cuek saja.

"Ya ya."

"Lo nggak pulang?" tanya Alma duduk di atas ranjangnya.

"Ngusir?!" tanya Fania membuat Alma cengengesan.

"Nggak juga."

"Gue laper, ke bawah yuk. Mama keknya udah nunggu," lanjut Alma.

***

"Malam, Mah."

"Malam, Ntan."

Sapa mereka berbarengan.

"Abang belum pulang?" tanya Alma melirik jam yang mengantuk di atas dinding kemudia kursi yang biasa ditempati abangnya.

"Mungkin bentar lagi, soal tadi Mama telfon masih ada satu operasi lagi, kata Abang kamu," jawab Laura.

"Owhh."

"Eh, Balqis nggak ikut Fania?"

Seketika mereka berdua saling pandang tersenyum canggung ke arah Laura.

"Nggak Ntan," jawab Fania membuat Alma cengengesan.

Laura menatap mereka berdua bergantian. "Tadi di sekolah Alma sama Fania bikin dia nangis kejar, kemungkinan sekarang masih nangis. Makanya nggak ikut Mah," jelas Alma membuat Laura semakin bingung.

"Jadi gini ...."

"Jangan diulangin, minta maaf sama Balqis. Mama udah tau gimana kalian," tutur Laura membuat Alma dan Fania mengangguk.

"Yaudah kita makan dulua aja, udah pada lapar, kan?"

Ketika makan malam hampir selesai derap langkah seseorang terdengar dari ruang tengah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balas mereka berbarengan.

"Abang pulang?" tanya Alma saat menyalami tangan Dafa.

Seketika jitakan mendarat di dahi Alma. "Awhh, sakit Bang," rintihnya.

"Rasain," ledek Dafa duduk di hadapan Alma.

"Mah."

"Abang, Adek," tegur Mama membuat kakak beradik tersebut diam.

"Abang duluan," adu Alma, Laura hanya tersenyum melihat tingkah putrinya itu.

"Fania udah dari tadi?" tanya Dafa menatap sahabat adiknya.

"Udah dari sore, Bang," jawabnya memperlihatkan jejeran gigi rapinya.
Dafa hanya menangangguk singkat.

"Mah, besok Alma telat pulang nggak apa-apa kan?"

"Kenapa?" tanya Mama melainkan Dafa menatap Alma curiga.

"Alma ikut kelompok ilmiah di sekolah," jawabnya tersenyum sumbringan.

"Nggak salah tuh?" celetuk Dafa mendapat tatapan horor dari Alma.

"Mah."

"Abang."

"Tukang ngadu."

"Ehem." Semua mata sontak mengarah ke Fania membuat dirinya salting.

"Kenapa Nia?" tanya Dafa membuat Fania menyetir kuda.

"Nggak ada Bang, makan kasian makanan di depan dianggurin," celetuknya dengan tampang polos.

Alma terkikik geli soal makanan memang Fania paling di depan. "Ribut mulu, benar kata Fania. Yuk, makan," saut Laura membuat semua mengangguk.


"Kamu yakin mau ikut kelompok Ilmiah itu?" tanya Dafa membuat Alma antara mengiyajakan dan nggak.

"Dah terlanjur juga," jawab Alma melirik Fania sinis. Orang yang dilirik hanya cuek lebih asik menikmati makananya dari pada mendengar percakapan kami.

"Padahal itu lumayan susah loh, berkutat sama bahan-bahan kimia waktu semasa Abang SMA dulu," saut Dafa menerawang. Dia dulu juga pernah ikut kelompok penelitian Ilmiah di sekolahnya.

Salah satu ektrakulikuler yang sedikit susah, dikarekan harus benar-benar paham dengan konsep yang dirancang untuk menemukan pemuan baru.

"Kayaknya asik, deh Bang. Kan Alma sering bikin eksperimen," saut Fania diangguki Alma.

"Benar-benar," saut Alma menimpali.

Dafa mangut-manggut. "Ya, serah kamu saja lah," ujarnya.

Alma tersenyum puas, namun pikirannya cukup kalut dengan kejadian tadi siang kenapa harus dia, sih. Kenapa? Kenapa harus diaa?

Menyebalkan!

"Qadafi?" tanya Alma membuat tiga pasang mata menatapnya.

"Ha? Dia ...."





***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top