[18]


Chinta menatap datar orang yang ada di hadapannya. "Ngapain ke sini?" ketusnya.

Papanya menghela napas kesal. "Kapan kamu akan berubah," gumam pria paruh baya tersebut.

"Sampai semua gila," celetuknya asal.

"Kamu yang gila," dengkus lelaki tersebut mebuat Chinta menatapnya tajam.

Chinta hanya diam, Daniel menatap putrinya nanar. "Kapan kamu bisa seperti mereka," gumamnya membuat Chinta tersentak. Matanya memanas menatap marah ke papanya.

"Kapan aku bisa seperti mereka," ulangnya. Buku-buku tangannya memutih menahan rasa kesal di sana.

"Pah," geramnya.

"Coba Papa sekali-kali pahami keadaan aku. Bukan hanya sekedar prestasi-prestasi yang membuatku akan mati konyol," geramnya menunjuk sederet tropi miliknya yang berada di atas meja.

"Karena kamu nggak paham," ujar Daniel menatap tajam putrinya tajam.

"Ya, aku bukan anak kecil lagi," saut Chinta.

"Coba kamu belajar dari Kakak kamu, banggain orang tua nggak sama seperti kamu nyusahin," gertak Daniel membuat Chinta tersenyum miring.

"Terserah apa kata Papa," sautnya memilih masuk ke dalam kamarnya.

Bantingan pintu yang kuat tak membuat rasa sakit di hati Chinta mereda. Dia terduduk di balik pintu menatap kosong ke depan.

"Gue gila," gumamnya mengacak-ngacak rambutnya.

Air matanya berderai jatuh dari pelupuk matanya. Hidupnya tidak adil, lahir dari keluarga broken home membuatnya harus berontak karena keadaannya.

"Gila, lo gila," isaknya memukul kepalanya dengan tangan.

"Lo gila," racau Chinta menunduk sambil memeluk dirinya sendiri.

***

"Please deh jan bikin ngakak," ujar Alam menahan tawa. Sekarang mereka sedang berkumpul di rumah Fania.

"Nggak ada yang lucu kali Al," dengkus Fania berkelik kesal. Alma menahan tawa dan akhirnya tawanya juga pecah. Wajah mereka sekarang bisa diibaratkan dengan adonan kue karena dipenuhi oleh tepung.

"Laper," celetuk Balqis sambil memangku ciki.

Alhasi tawa Alma kembali pecah. Entah apa yang lucu di sini namun dirinya tak henti-hentinya tertawa.

"Astafirullah," ucap seseorang. Alma menghentikan tawanya dan ikut menoleh ke belakang. Ia menyetir kuda menatap Bang Fauzan yang barusan pulang dari kampus.

Fauzan merupakan kakaknya Fania.  "Waalaikumsalam, Bang," celetuk Balqis dengan mulut mengunyah.

"Eh, assalamualaikum," sautnya lagi membuat Balqis mencibir.

"Waalaikumsalam," balas kami. Fauzan lantas duduk di atas sofa dia menatap kami dengan kerutan di dahi.

"Gembel dari mana?" tanyanya. Fania yang sadari tadi diam lanntas berdeham sejenak.

"Apa?" sautnya sedikit meninggikan suaranya.

"Kecoa terbang," ujar Fauzan tersenyum mengejek.

Balqis berdiri dan memilih menghindar dari ruangan tersebut begitu juga dengan Alma. Karena sebentar lagi dipastikan akan ada perang diantara dua saudra tersebut.

Alma menatap pantulan dirinya di cermin.  Keadaannya sekarang sudah bisa dikatakan rapi. "Al pulang yuk," ajak Balqis keluar dari kamar mandi.  Alma menoleh, "Yuk," sautnya.

Kebetulan kamar Fania berada di dekat tangga dapat dipastikan bisa melihat langsung apa yang sedang terjadi di luar. Ruang tengah sudah seperti kapal pecah, dengan tepung berserakan di mana-mana.

"Astafirullah," ucap Balqis aku mengikutinya dari belakanh betapa terkejutnya melihat ruangan tersebut.

"Nggak ikut-ikutan," sautku mengangkat tangan diikuti dengan Balqis.

Fauza tersenyum jail, kebetulan ada segenggam tepung di tangannya. Lantas tepung tersebut kembali mengiasi wajah kami.

"Bwahhahah," tawa Fania pecah. Alma menatap datar menghembuskan napasnya hingga tepung tersebut sedikit berdebaran di wajahnya.

"Biar adil," celetuk Fauzan membersihkan tangannya.

Balqis mengerutu, membuat Fania dan Fauzan tertawa puasa. "Au ah, mau pulang," ngambeknya. Tangan Alma langsung ditarik oleh Balqis.

"Hati-hati yak, kalau jatuh jangan lupa bangun lagi. Wajahnya jangan lupa dibersihin, takutnya dikira badut nyasar," ujar Fania sedikit berteriak.

Alma mendengkus kesal sisa-sisa tepung masih menempel di rambutnya. Sekarang ia dengan Balqis tengah menunggu kendaraan umum di halte.

"Rese bangat mereka," gerutu Balqis mengayun-ngayunkan kakiknya.

Alma tidak mendengarkan curhatan hati Balqis, sama saja dengan dirinya. Ia juga jengkel dengan tepung-tepung yang menempel pada tubuhnya.

Mata Alma tak lepas dari gadis di sebrang sana. "Itu bukannya Kak Chinta ya?" tanya Balqis ikut menatap ke depan.

"Kayaknya, tapi keknya lagi berantem deh," ujar Alma. Balqis berdiri lantas dia menyebrang jalan.

"Eh, lo mau ke mana?" tanya Alma. Mau tak mau, Alma mengikuti Balqis.

Dan memang benar gadis yang mereka lihat itu merupakan Chinta.

"He, enak aja main tangan," celetuk Balqis. Tangan yang hendak dilayangka  ke wajah Chinta terhenti di udara.

"B-alqis," ujar Chinta terbata.

"Kasar banget sih jadi cowok," ejek Balqis. "Urusan sama lo apa, ha," gertak cowok tersebut membuat Balqis memicingkan matanya menatap tajam.

"Urusan gue," ujarnya memegang dagunya. "Sebenarnya sih nggak ada sih, cuman kepo," lanjutnya membuat Alma tersenyum geli.

Chinta yang berada di samping kirinya hanya menunduk dan memegang pergelangan tangan kirinya yang merah. "Kakak nggak apa-apa?" tanya Alma membuat Chinta mendongkakkan kepalanya.

"Nggak apa-apa," sautnya.

Pria tersebut hentak menarik Chinta namun dihalangi oleh Balqis. "He, apa-apaan ini. Narik-narik anak orang sembarangan," omel Balqis menarik Chinta ke belakang tubuhnya.

"Urusan lo apa sih," desis cowok tersebut.

"Nggak ada," jawab Balqis polos.

"Pergi," gertaknya. Namun, Balqis menggeleng layaknya menantang lawan dimedang perang.

"Emang lo siapa nyuruh-nyuruh gue pergi," decihnya.

"Jadi cowok kok kasar sama cewek. Nggak malu tuh," cibir Balqis.

Cowok tersebut menggeram kesal. Dia menatap tajam lantas berlalu begitu saja. "Dih, dasar pengecut," cibir Balqis lagi dan lagi.

Lantas dia berbalik badan menghadap ke Chinta. "Kakak nggak apa-apa?" tanyanya.

"Makasi ya," sautnya.

Balqis mengangguk singkat. Dia langsung menarik tangan Alma menjauh. Namun ....

"Maaf dan makasi ya," ujar Chinta tiba-tiba membuat langkah Balqis berhenti.

"Maafnya nggak terima, tapi terima kasihnya. Sama-sama," sautnya tersenyum miring.

Akhirnya Alma dan Balqis naik ke dalam kendaraan umun. "Keren," celetuk Alma membuat Balqis mangut-mangut.

"Gue kesambet apa ya tadi," gumamnya. Kalau dipikir-pikir bukan Balqis banget. Alma tersenyum geli, "Tingkatkan kang ngeselinnya," sautnya membuat Balqis terkekeh.

"Itu mah, pasti," ujarnya mengacungkan kedua jempolnya. Alma menatap ke luar jendela. Ia masih kepikiran dengan kejadian yang ditimpan Chinta tadi.

"Menurut lo mereka itu ada hubungan?" tanya Alma. Balqis nampak berfikir sejanak.

"Kayaknya iya sih," gumamnya.

"Kalaupun tidak ngapain Kak Chinta nggak ngelawan tadi, dia cuman diam wae aja," ujar Balqis. Alma ikut mengangguk. Jika mereka ada hubungan lalu kenapa Chinta masih mengincar Qadafi bahkan berniat memisahkan mereka berdua.

Ah, memikirkan itu semua membuat Alma gila saja. Nanti ia akan mengorek informasi dari Kak Fasya, untuk saja dia berpihak kepadanya bukan kepada sahabatnya sendiri. Kak Chinta yang malang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top