[17]
Alma menatap nanar buku yang baru saja diempaskan oleh Qadafi. Ia melirik Qadafi urat lehernya menonjol membuatnta lagi-lagi meringis. Seseram ini kah Qadafi jika marah.
"Emang ada apa Kak?" tanya Stevan mewakili yang lain. Qadafi membuka laptopnya. Vidio berputar membuat semua mata tertuju ke sana.
"Chinta," saut mereka tak percaya menatap Chinta yang terkejut.
Tak lama Alma juga mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Maaf Kak, Alma nemuin ini juga di labor," ujarnya menaroh tas kecil yang pastinya milik Chinta.
Mata Chinta memanas. "Fitnah!" gertaknya menunjuk Alma.
Alma hanya diam. "Lo kan yang jebak gue," desis Chinta menbentak Alma.
Alma menggeleng kecil dengan ekspresi yang menyebalkan membuat Qadafi tersenyum geli.
"Mana ada, kalau Kakak nggak percaya tuh tas Kakak buktinya," ujarnya.
Tangan Chinta mengepal. Ingin rasanya menjambak rambut gadis sok polos di hadapannya itu. Diam-diam Alma tersenyum mengejek membuat Chinta semakin panas.
"Alma," desisnya. Dia langsung pergi begitu saja dari ruangan tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun.
***
"Hahah, puas banget gue," tawa Alma membuat Fania, Balqis, dan Rendi terganga.
"Astafirullah, ternyata Alma bin Alma licik juga ternyata," decak Rendi. Alma mengangguk singkat, "Diam disangka lemah. Oh, tidak. Bermain-main dengan Alma itu sangat menyenangkan," sautnya dengan bangga. Fania mencibir sedangankan Balqis bertepuk tangan kecil.
"Eh, tapi gue dengar-dengar ya lo jadian ya sama Kak Qadafi?" tanya Balqis membuat Fania dan Rendi mengerjabkan matanya beberapa kali.
"What!"
"Gue ketinggalan berita terupdate," pekik Fania. Mulutnya langsung dibekap oleh Rendi.
"Suara lo tu toa. Jadi nggak usah triak-triak," sargahnya.
"Njir lo," gerutu Fania.
"Benaran Al?" tanya Rendi diangguki Alma.
"Wah-wah parah lo Al. Nggak ngasih tau kami," dengkus Fania.
"Emang penting buat kalian, nggak kali," saut Alma mengibaskan rambutnya seperti iklan sampo yang ada di tv-tv.
"Serah lo lah," gerutu Fania. Balqis dibuat melamun dengannya. "Terus apa kabar dengan perasaan Kak ketos," celetuk Balqis membuat Alma tersentak.
"Kak Hafis," gumam Alma.
"Mampus kan lo Al," ejek Fania.
"Cinta kalian itu ribet, segi tiga," saut Rendi mengkaitkan kedua semua jemarinya.
"Segitiga api. Ketika oksigen, panas, dan bahan bakar bersatu. Namun, belum tentu elemen yang bercampur akan menyebabkan kebakaran, tapi menghasilkan pijar," saut Alma tersenyum. Balqis dan Fania bertepuk tangan kecil mendengar apa yang diucapkan Alma barusana.
"Perumpamaan, ketika zat kimiawi yang sangat asam dan basa. Contohnya asam hydrochloric atau natrium hidroksida kena ke kulit, itu bisa menyebabkan luka bakar. Begitu juga dengan perasaan ketika tidak ada kepastian dan dia memilih bersama dengan yang lain. Hatinya juga ikut terluka dan panas menerima kenyataannya," saut seseorang membuat tiga pasang mata menoleh ke belakang.
"Kak Ketos," celetuk Balqis dengan wajah yang berbinar.
"Keren," lanjutnya mengacungkan kedua jempolnya. Hafis menyetir kuda, lantas dia duduk di sebwlah Rendi.
"Bro," sapanya menepuk bahu Rendi. Rendi hanya mengangguk singkat.
"Kak Hafis jangan jadi sad boy deh di sini," celetuk Fania diangguki Alma.
Hafis berkelik kesal lantas diam melirik jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kirinya.
"Kenapa kalian belum masuk?" tanyanya datar membuat mereka berempat tersentak kaget.
"Emang bell udah bunyi ya?" tanya Fania polos.
Alma lantas bangkit dari duduknya. "Dah telat," celetuknya membuat Fania, Rendi, dan Balqis langsung bangkit. Mereka berempat saling pandang kemudian kabur meninggalkan Hafis yang masih duduk.
"Dasar," gumamnya tersenyum.
***
"Kak," dengkus Alma capek membututi Qadafi keliling komplek perumahan Alma.
Qadafi membalikan badan, dia tersenyum manis lantas menjulurkan tangannya kepada Alma.
"Gendong, mau?" tanyanya membuat Alma menggeleng dengan polosnya.
"Nggak, Alma berat tau," cicitnya membuat Qadafi terkekeh.
Akhirnya mereka duduk berselonjoran kaki di tepi jalan komplek.
"Capek," gerutu Alma menyandarkan kepalanya ke bahu Qadafi.
"Baru dua putaran aja dah ngeluh," canda Qadafi. Alma kembali menegakkan kepalanya. "Dua putaran sih iya," dengkusnya pasalnya komplek perumahan ini lumayan luas.
Qadafi tersenyum, dia mengacak rambut Alma membuat wajahnya semakin lucu. "Ais."
"Cantik," gumam Qadafi. Alma mendengkus kesal, ia kembali merebahkan kepalanya ke bahu Qadafi.
"Ehem," saut seseorang membuat kedua sejoli tersentak kaget.
"Pacaran nggak modal banget," celetuknya berdecak pinggang di hadapan Alma dan Qadafi.
"Bodo," celetuk Alma menatap datar sosok pria yang tengah berdiri.
"Abang, ngalangin pemandangan. Awas ih," saut Alma. Dafa lantas ikut duduk selonjoran di samping Alma.
"Dah dari tadi kalian?" tanya Dafa. Melihat penampilan Alma yang sudah kusut dapat disimpulkan sudah dari tadi.
"Lumayan," jawan Qadafi.
"Pantes, kek gembel," gumam Dafa melirik Alma. Qadafi terkekeh dia mengangguki apa yang dikatakan Dafa.
"Alma dengar ya," celetuknya sambil memejamkan matanya.
Dafa mangut-mangut tak lama ada tukang bakso keliling membuat mata Alma kembali terbuka.
"Mang, bakso," teriaknya membuat gerobak bakso mendekat ke arah mereka.
"Mau juga?" tanya Alma menatap kedua manusia yang ada di sebelahnya. Dafa dan Qadafi mengangguk serentak.
"Tiga mangkok ya Mang, makan di sini," pesan Alma tersenyum.
Mamangnya mengangguk dan langsung meracik pesanan mereka.
"Abang bayar ya," celetuk Alma membuat Dafa mendengkus kesal.
"Iyain," gerutunya. Alma lantas bangkit ia mengambil posisi sempurna duduk di atas rumput yang sebelumnya duduk di atas trotoal.
"Sini duduk ih, biar estetik," ajaknya. Kedua pria tersebut hanya mengangguk mengiyakan permintaan Alma. Lantas mereka duduk membentuk lingkaran.
Alma menyetir kuda menatap kedua kesayangannya itu.
"Ini Neng," ujar Mamang bakso meletakan nampan berisi tiga mangkok bakso dan teh es.
"Makasi ya Mang," ujar Alma tersenyum manis.
"Sama-sama Neng," balasnya. Alma mengangguk ia langsung menyantap baksonya.
Diam-diam Dafa mengamati Alma membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. "Awas kesedak," celetuknya. Dafa terkekeh dia ikut menyantap baksonya.
Dari sebrang sana dua orang gadis tengah mengamati Alma begitu juga dengan Qadafi dan Dafa yang tengah nikmat menikmati baksonya.
"Yakin lo mau hancurin kebahagian orang?" tanya gadis yang satunya menatap nanar ke arah Alma.
"Seribu yakin," ujarnya mantap. Dia tersenyum miring menatap itu semua, "Gue nggak sebodoh ya lo kira," gumamnya menebak isi pikiran temannya. Lantas dia langsung berlalu dari sana.
"Pada dasarnya lo emang bodoh, terjebak dalam permainan sendiri. Dasar," gumamnya.
Dia menghela napas. "Maaf Al," gumamnya lantas segera menyusul temannya.
"Abang!" gerutu Alma karena baksonya yang tinggal satu dimakan oleh Dafa.
"Rese amat sih," dengkusnya. Dafa mengedikan bahunya mengunyah bakso yang diambil dari mangkok Alma.
"Nih punya aku aja," saut Qadafi membuat Alma menjulurkan lidahkan ke Dafa.
"He, itu punya Qadafi," sautnya.
"Bodo," ledeknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top