[16]

Alma terbelalak kaget menatap isi ruangan laboratorium. Semua berantakan dan gelas-gelas banyak berpecahan di bawah. Qadafi yang berada di sebelahnya tak sama halnya dengan ekspresi Alma.

"Kok bisa?" gumamnya. Pasalnya pintu ruangan tersebut baru mereka buka dan kunci ada di tangan mereka.

"Apa ada gempa ya?" celetuk Alma membuat Qadafi terkikik geli. Qadafi menyentil pipi Alma membuat gadis itu mengaduh kesakitan.

"Ais, kebiasaan," gerutunya menempelkan kedua tangannya ke pipinya.

"Trus gimana?" tanya Alma. Qadafi menggeleng singkat, lantas dia masuk dan diikuti Alma.

"Rapiin plus bersihin," saut Qadafi membuat Alma mengangguk paham. Ia langsung mengambil sapu yang berada di sudut ruangan.

"Astafirullah," decak Alma menatap beling-beling kaca yang berserakan di lantai.

Ia menatap keseluruh sudut ruangan, "Nggak mungkin hewan kali ya yang masuk," gumamnya menatap fentilasi.

Matanya terus menyapu seluruh ruangan. Hingga netranya menangkap tas di sudut ruangan.

"Kak," panggil Alma. Qadafi yang tengah membereskan sesuatu di sudut lain langsung menoleh.

"Kenapa?" tanyanya menghampiri Alma.

Alma menenteng tas kecil membuat Qadafi menjerit bingung. "Tas kamu?" tanyanya. Alma menggeleng, "Trus?"

"Nggak tau ketemu di sana," tunjuk Alma. Alma meletakannya di atas meja, Qadafi meraihnya.

Dia membongkar isinya. Terdapat dompet dan alat make up di dalamnya. "Maaf ya lancang," gumam Alma membuka isi dompet kecil tesebut. Terdapat beberapa kartu dan termaksud kartu pengenal di dalam sana.

"K-ak Chin—"

Rahang Qadafi mengeras, buku-buku tanganya memutih karena menahan emosi. Alma langsung membereskan semuanya dan menyimpannya kembali.

"Kita kembalikan?" tanya Alma. Qadafi menghembuskan napasnya gusar.

"Simpan saja dulu," sautnya. Setelah semuanya beres Qadafi langsung membawa Alma ke ruang sarana prasarana.

"Pak, boleh cek cctv yang ada di ruang labora?" pinta Qadafi membuat Pak Roby yang kebetulan berada di ruangan tersebut.

Pak Roby menjerit bingung. Lantas dia mempersilakan kami untuk mengecek langsung.

Alma dan Qadafi saling pandang. "Pak boleh kami copy salinannya," pinta Alma membuat Pak Roby lagu-lagi mengangguk.

"Emang buat apa sih?" tanyanya penasaran. Alma tersenyum singkat.

"Bapak kepo," cibir Alma membuat suasa yang sebelumnya serius cair.

"Dasar," gumam Pak Roby. Setelah urusan kami selesai, kami langsung kembali ke kelas masing-masing.

***

"Alma lo dari mana saja sih?" pekik Fania membuat gendang telinga terasa tertekan karena suara lengkingan itu.

"Astafirullah," ucap Alma mengusap dadanya. "Sabar lo Al, sabar," gumamnya.

"Alma!" pekik Balqis. Alma terbelonjak kaget dibuatnya.

"Untung gue sabar," gumamnya. Alma  langsung duduk di sebelah Rendi yang tengah asik bermain game.

"Eh, tas siapa yang lo colong," sautnya sekilas melirik.

"Ntar gue ceritain deh," ujar Alma melipat tangannya di atas meja. Ia merebahkan kepalanya di atas lipatan tangannya.

"Emang ada apa?" tanya Rendi mengjeda pemainannya. Posisi badannya yang sebelumnya lurus ke depan sekarang menghadap ke arah Alma.

"Pasti soal—" Fania yang duduk di belakang juga ikut menimpali.

Alma menghela napas gusar. "Please deh Kak, gue bukan anak kecil lagi," dengkus Alma kepada Hafis karena si ketos itu selalu ngintilinnya dari jam istirahat pertama.

"Mumpung Qadafi nggak ada," celetuknya tersenyum dibuat-buat yang sungguh menyebalkan sekali.

"Siapa bilang," celetuk seseorang mengagetkan kami berdua. "Astafirullah kalau nyapa itu baik-baik dong," omel Hafis menatap sinis Qadafi yang tiba-tiba ada di belakang kami.

Qadafi hanya diam. "Ucapin makasi kek," cerocos Hafis lagi membuat alis Alma terangkat.

"Makasi buat?" tanyanya penasaran.

Hafis menoleh, "Anak kecil nggak boleh tau," ejeknya melenggeng pergi.

"Gak jelas," gumam Alma menatap punggung Hafis yang menjauh.

"Alma!" panggil Chinta membuat Alma dan Qadafi menoleh. "Iya, Kak?" tanyanya. Memang akhir-akhir ini Chinta memang mendekati dirinya ke Alma.

"Ngapain?" tanya Qadafi dingin.

"Gue nggak ada urusan sama lo," sautnya tersenyum manis.

"Ikut Kakak bentar yuk," ajaknya, Alma sontak mengangguk, "Boleh."

Alma sekilas melirik Qadafi. Dia tersenyum tipis. Lantas tangan Alma langsung ditarik oleh Chinta menjauh.

Saat ini mereka ada di gazebo dekat lapangan. Entah apa yang mau mereka lakukan saat ini di sini, melihat anak cowok main basket? Ah, sungguh menyebalkan.

"Kakak boleh cerita nggak?" tanya Chinta membuat kening Alma berkerut.

"Silakan aja," sautnya.

Chinta menghela napas. "Kakak dihianati sama seseorang," ujarnya. Alma hanya diam menyimak setiap kata yang dilontarkan dari mulut Chinta.

"Sejak dia datang, cowok yang selama ini Kakak-Kakak idam-idamkan malah berpaling dari Kakak karena dia. Menurut kamu gimana?" tanyanya menatap Alma serius.

Alma menggeleng singkat masih belum paham dengan pembicaraan Chinta. "Kakak benci, dan akan menghalalkan segala cara untuk memisahkan mereka," tekannya membuat Alma tersentak kaget.

"Kakak cinta atau terobsesi," saut Alma membuat Chinta menatap Alma tajam.

"Gue rasa Kak Chinta hanya terobsesi, bukan cinta," sindir Alma. Tangan Chinta mengepal.

Alma tertawa di dalam hati. "Mau nyindir gue, itu aja dah kemakan omongan sendiri," batinnya mencemooh.

"Jangan sok tau," gertaknya.

Alma tersenyum sinis. "Bel udah bunyi gue mau ke kelas dulu," saut Alma meninggalkan Chinta begitu saja.

"Bangsat," umpatnya.

"Kan gue dah bilang. Alma itu nggak bodoh, permainan lo hanya dianggap angin lalu," saut Fasya datang dari belakang.

"Lo nggak usah ikut campur," gertaknya. Chinta langsung bangkit dan meninggalkan Fasya.

"Bodoh!" gumamnya menatap punggung sahabatnya menjauh. Fasya merasa gedek dengan sikap Chinta akhir-akhir ini. Dia dibutakan oleh cinta yang selama ini tak pernah perpihak kepadanya.

"Maaf kali ini gue nggak bisa berpihak sama lo, Chin," gumamnya.

"Hayo, melamun mulu. Kesambet tau rasa," saut Hafis mengagetkan Fasya.

"Ais, lo lagi lo lagi," omelnya mencubit lengan Hafis.

"Sakit tau," gerutunya menepis pelan tangan Fasya.

"Rasain," gerutunya melenggang pergi begitu saja.

"Gue ditingalin," desis Hafis. Sekarang dia merasa uring-uringan karena semua teman-teman satu tongkronannya malah asik sendiri. Mau ganggu Alma pasti ada pawangnya.

Dia menetralkan eksperesi dan langsung melenggang pergi ke ruang osis. Tempat paling berkuasanya.

Seketika pintu terbuka lengkingan suara mengagetkan Hafis. "Kan lo lagi Hafis!" pekik Fasya membuat Hafis menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya.

"Astafirullah, gue baru datang ya," ucapnya.

Fasya menatap tajam Hafis. Dia duduk di bangku kebesaran Hafis sambil mengetok-ngetok meja dengan pulpen.

"Kenapa sih loh?" tanyanya bingung melirik gadis itu jengah.

"Lo yang kenapa?" sargahnya.

Hafis memutar bola mata malas. "Kalau ada masalah bilang jangan pendam. Pengecut amat sih lo," sindir  Hafis membuat Fasya berkelik kesal.

"Suka-suka gue lah," sinisnya.

"Serahlah, perempuan selalu benar," saut Hafis memilih mengalah.

"Cakep."















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top