Ekspedisi, dimulai

             Malam itu, angin berhembus dengan kencang. Tanpa membuang banyak waktu, aku, Dita, dan Bima, bergegas mengelilingi sekolah. Karena tidak mau di bilang pembohong, aku merekam seluruh sudut ruangan yang kami hampiri.

***

            Sudah 5 kelas yang kami hampiri, tetapi kami belum menemukan hal yang menarik. Hanya hawa aneh yang sering aku rasakan.

            Saat memasuki ruang kelas VII-2, tiba-tiba terdenger suara gaduh dari kelas sebelah.

            “Suara apa itu?” tanya Bima yang berada di urutan paling belakang.

            “Sepertinya suara itu berasal dari kelas VII-1,” kata Dita yang berada tepat di belakang ku.

            ‘VII-1? Bukan kah kami baru saja dari kelas itu?’ tanya ku dalam hati. “Bim, coba kamu cek lagi kelas itu!”

            Tanpa di komandu dua kali, Bima langsung melangkahkan kakinya ke luar kelas. Tak lama kemudian, aku melihat Bima telah kembali. “Di sebelah ada apa Bim? Kok ribut banget?” tanya ku penasaran.

            “Meja dan kursi kelas VII-1, semuanya berantakan,” kata Bima.

            “Apa?” bingung mendengar pernyataan Bima barusan.

            “Meja dan kursi kelas sebelah, semuanya berantakan. Kalo gak percaya, lihat saja sendiri!” tantang Bima.

            Aku dan Dita bergegas menuju kelas sebelah. Setibanya di sana, aku melihat keadaan kelas VII-1 itu biasa saja. Tidak ada hal ganjil sedikit pun di dalam sana. “Bima, kamu mau nakut-nakutin kita berdua ya? Orang disini gak ada apa-apa,” ledek ku.

            “Siapa yang mau nakut-nakutin sih? Aku tuh tadi lihat sendiri, kalau meja dan kursi kelas ini, tadi berantakan!” kata Bima sewot.

            Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang, membuat bulu yang ada di tengkuku berdiri. Aku merasa seperti di perhatikan, tapi tidak menemukan seorang pun, selain kami bertiga yang ada disini.

            “Lena, kita pindah yuk, hawanya... udah gak enak nih,” bisik Dita.

            Aku pun mengangguk, lalu mengajak Bima dan Dita untuk memeriksa taman boga yang ada di belakang kelas IX.

            Saat berjalan di jalan setapak, aku samar-samar mendengar suara musik gamelan. Entah kenapa, simfoni yang di hasilkan oleh gamelan itu terdengar menyeramkan.

            Dalam hitungan detik saja, aku bisa merasakan bulu tangan dan kaki ku berdiri, detak jantung ku berdetak dua kali lebih cepat, dan rasa kewaspadaan ku mulai meningkat. Untuk sejenak aku berhenti berjalan dan berpikir, kenapa hal seperti ini bisa membuatku takut?

            Hawa dingin yang menusuk, angin yang tiba-tiba berhembus, suara-suara aneh, dan perasaan seperti di awasi mulai terasa.

            “Len, kok berhenti?” tepukan Bima menyadarkan lamunan ku.

            “Oh, gak papa. Ayo jalan lagi,” jawab ku sedikit kikuk.

***

            Saat sedang sibuk merekam daerah yang ada di sekitar taman boga, samar-samar aku mendengar suara aneh. Suara yang bisa di bilang seperti suara tawa, tapi juga terdengar seperti suara tangisan.

            “Dit, kamu dengar sesuatu gak?” tanya ku sedikit ragu.

            “Maksud mu, suara aneh itu?” kata Dita.

            Aku mengangguk. “Sepertinya... suara itu berasal dari pohon mangga yang itu,” aku menunjuk ke arah pohon mangga yang paling besar.

            “Coba arahkan kamera mu ke pohon itu!” perintah Dita.

            Dengan perlahan, aku mengarahkan kamera perekam ku ke arah pohon tersebut.

            “AAAAAAAAAAAA!!!!” wajah perempuan itu terlihat jelas di kamera ku. Ia berdiri tepat dua langkah dari tempat ku berpijak.

Seketika badan ku terasa kaku, lutut ku lemas, pikiran ku kacau, aku tidak bisa bergerak sedikit pun.

            “Lena! Lari!” teriak Dita yang sudah lebih dulu meninggalkan ku.

            Seperti di lemparkan ke dunia nyata lagi, aku berlari sekuat tenaga. Kami berlari, dan terus berlari. Tanpa ada yang berani menengok ke belakang sedikit pun.

            Ketika ketika aku berlari melewati kelas IX-6, kaki ku tersandung sesuatu yang menyebabkan aku jatuh, dan kepala ku terbentur ke lantai dengan kerasnya. Perlahan pandangan ku mulai kabur, dan semuanya menjadi gelap.

            Aku terbangun di salah satu ruang kelas. Kepala ku terasa sangat sakit. Mungkin itu akibat dari benturan yang baru saja ku alami.

            Di dalam ruangan itu ada kedua teman ku dan seorang penjaga sekolah. Saat aku sadar, penjaga sekolah itu langsung bercerita tentang hal-hal mistis yang ada di sekolah ini. Mendengar ceritanya, bulu kuduk ku langsung berdiri.

            Setelah mendengar pernyataan dari penjaga sekolah, dan membuat sedikit kesepakatan dengannya, kami segera meninggalkan gedung sekolah dengan perasaan aneh.

***

            Aku sudah berada di dalam kamar. Merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk, membuat ku mengantuk. Baru sekejap aku memejamkan mata, aku mendengar suara aneh yang sepertinya berasal dari lemariku. Karena merasa terganggu, aku membuka kedua mataku.

            “Lain kali, Kalau mau keliling lagi, ajak-ajak yah... hihihihi” tawa kuntilanak itu membahana di dalam kamarku. 

            AAAAAAAAAAA!!! TIDAAAAAKK!!!

FIN.

12 Desember 2014

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top