7. Plasticizer
Salah satu produk yang ditransfer proses produksinya dari Gezonde site Filipina ke site Indonesia adalah produk patch transdermal untuk osteoarthritis. Produk ini berupa lapisan tipis film yang ditempelkan di atas kulit pasien. Orang awam melihatnya sebagai produk koyo biasa, namun sebenarnya itu bukan koyo pegal-pegal biasa. Patch transdermal anti-osteoarthritis buatan Gezonde Pharma mampu menghantarkan zat aktif yang dapat meredakan nyeri sendi tersebut untuk menembus kulit.
Produk ini dibuat dari larutan polimer yang dikeringkan hingga membentuk lapisan film yang kuat. Untuk meningkatkan elastisitas film tersebut, ditambahkan pula eksipien plasticizer. Eksipien ini bekerja menurunkan transition glass temperature suatu polimer, sehingga proses pemanasan yang dilakukan untuk mengeringkan polimer tersebut menghasilkan lapisan film yang kuat namun fleksibel, elastis dan tidak mudah retak. Eksipien plasticizer seperti gliserol, propilenglikol dan polietilenglikol sekaligus berfungsi untuk meningkatkan absorbsi obat/zat aktif menembus kulit.
Sebenarnya Gezonde site Indonesia tidak memiliki fasilitas untuk memproduksi produk tersebut. Namun produk tersebut tetap direncanakan untuk diproduksi di Indonesia karena Medika Farma, perusahaan rekanan Gezonde Pharma yang telah banyak memproduksi produk Gezonde secara subkontrak, telah bersedia untuk menerima produk tersebut diproduksi di fasilitas produksinya.
Untuk persiapan proses transfer teknologi tersebut, hari itu Lidya dan Randu mengunjungi Medika Farma untuk meninjau fasilitas produksi, membahas penyesuaian parameter produksi serta mengatur penjadwalan proses optimasi dan validasi.
Itu bukan pertama kalinya Randu datang ke Medika Farma. Ia sudah sering ke Medika saat dulu membantu optimasi proses coating produk Medika, sebagai Technical Support Manager PharmExcipt. Sehingga ia sudah mengenal Bu Karin, QA Manager, dan Naya, QA Supervisor Medika Farma yang hari itu mereka temui untuk meeting. Naya, sang QA Supervisor sebenarnya juga mantan adik kelas Randu saat kuliah dulu, sehingga ia tidak terlalu canggung lagi saat berdiskusi dalam rapat tersebut.
Diskusi antara Lidya, Randu, Karin dan Naya berlangsung cukup panjang hingga hampir menjelang tengah hari. Kalau seseorang tidak datang menyela, barangkali mereka meneruskan diskusi hingga lewat jam makan siang.
"Belum selesai juga?" sapa seseorang, menginterupsi rapat dengan langsung nyelonong masuk ke ruang rapat.
"Eh, Pak!" sapa Karin, sambil mengangguk sopan.
Sementara Naya langsung mengecek jam tangannya, lalu terkekeh. "Pantes udah berasa laper."
Lidya sendiri bangkit dari kursinya dan menghampiri sang pengganggu.
"Pak Haris!" Lidya mengulurkan tangannya, yang segera disambut oleh pria itu.
"Bu Lidya! Sehat?" sambut Haris sambil tersenyum semringah.
Ya! Siapa lagi orang yang berani menginterupsi QA Manager yang sedang rapat, kalau bukan sang Plant Director, Yang Mulia Haris Hananjaya.
"Sehat, Pak, alhamdulillah. Bapak juga sehat kan? Malah kelihatan makin awet muda aja nih," jawab Lidya.
Haris tersenyum menanggapi. Tapi kemudian senyumnya mengecil ketika matanya menangkap sosok Randu, yang berdiri di belakang Lidya, untuk menyapa Haris juga.
"Siang, Pak Haris!" sapa Randu ramah.
"Siang, Mas Randu!" Haris membalas. Namun senyumnya tidak seramah seperti yang ia tunjukkan pada Lidya tadi. "Produk baru Gezonde yang mau toll-in kesini, pakai polimer dari PharmExcipt juga?"
"Nggak pakai polimer PharmExcipt, Pak," Lidya yang menjawab. "Mas Randu kesini bukan sebagai Technical Support Manager PharmExcipt, tapi sebagai Manager for Transfer Product Gezonde."
"Oh?" alis Haris sedikit terangkat.
"Mas Randu sekarang kerja di Gezonde, Pak," Lidya mengklarifikasi.
Mendengar itu, Haris menggut-manggut saja. Kemudian seperti mengabaikan Randu, Haris mengedarkan pandangan pada ketiga wanita lain di ruangan itu.
Sial, gue dikacangin!
"Makan siang dulu," kata Haris kepada Lidya, Karin dan Naya.
Alih-alih sebagai tawaran, saat Haris Hananjaya yang bicara, itu terkesan seperti ia sedang memerintah, bahkan meski dengan cara bicara yang lembut sekalipun. Hal ini membuat Randu cukup takjub. Bagaimana caranya supaya bisa memiliki wibawa dan kharisma seperti Pak Haris ya?
Menuruti kata-kata Haris, mereka berempatpun menyudahi rapat. Namun karena mereka ingin segera menyelesaikan rapat setelah makan siang, mereka sepakat untuk makan siang di kantin Medika Farma, alih-alih di restoran di luar kantor.
Karin mempersilakan Haris, Lidya, Randu dan Naya untuk duluan ke kantin karena dirinya perlu ke toilet terlebih dahulu. Jadi mereka berempat melangkah bersama ke kantin.
Tidak ada yang membagi mereka menjadi dua kelompok. Tapi otomatis saja Lidya langsung ngobrol akrab dengan Haris, sementara Randu ngobrol dengan Naya selagi mereka mengantri mengambil makanan.
Lidya bukan wanita yang galak. Tapi sebagai QA Manager dia tegas dan berwibawa, sehingga kadang terkesan kaku. Namun di hadapan Haris, Randu melihat sosok Lidya yang berbeda. Lidya yang sedang mengobrol akrab dengan Haris selagi mereka mengantri makanan ini, terlihat lebih ramah dan luwes. Di sisi lain, Haris yang berwibawa dan sering Haiva ejek sebagai "kanebo kering" itu juga tampak santai dan akrab mengobrol dengan Lidya. Haris bagaikan plasticizer yang membuat Lidya mleyot, dan sebaliknya, Lidya bagaikan plasticizer yang mampu membuat Haris "kanebo kering" Hananjaya lebih luwes.
Tidak ada kontak fisik sama sekali diantara mereka, tapi itu tidak membuat orang lain tidak bisa melihat gesture kedekatan mereka.
"Serius? Bapak nggak makan nasi? Emang kenyang?" samar, Randu mendengar Lidya berkomentar tentang isi piring Haris.
"Saya sekarang makan sayur lebih banyak untuk mengganti nasi, supaya bisa kenyang."
Dibanding perempuan Indonesia lainnya, Lidya berpostur tinggi. Tapi saat berhadapan dengan Haris, Lidya tetap harus menengadah. Dan itu yang ia lakukan saat menelisik Haris lebih dalam.
"Sejak kapan Haris Hananjaya yang hobi kuliner dan porsi makannya besar, sekarang mengatur diet begini?"
"Sejak saya menyadari saya sudah tua," jawab Haris sambil terkekeh. "Harus tahu diri bahwa semakin tua, metabolisme saya menurun. Dulu saya makan sepiring nasi, mungkin bisa diubah jadi glikogen semua. Sekarang mungkin insulin saya tidak lagi setangguh itu. Kalau kebanyakan karbo, bisa-bisa saya diabetes. Jadi saya harus jaga makanan. Makanya saya mengurangi karbo, lemak dan kopi."
Lidya tampak mengangguk-angguk, menyetujui keputusan Haris. Tapi di saat yang sama Randu melihat Lidya tersenyum mengejek Haris.
"Jangan senyum-senyum mengejek begitu, Lidya," tegur Haris kalem.
Mendengar itu, Lidya malah terkekeh geli. "Dulu Bapak yang nyindir saya karena saya banyak makan sayur dan buah. Bapak bilang, saya kambing. Sekarang, Bapak ngikutin pola makan saya? Kualat tuh Pak!"
"Iya nih. Saya kualat sama Lidya."
"Dokter mana sih yang bisa bikin Bapak insyaf gini pola makannya?"
Mereka yang ngobrol, tapi kenapa Randu yang merasa salah tingkah? Seperti dirinya sedang menguping percakapan sepasang kekasih.
Ternyata saat mereka ngobrol berdua, Haris tidak memanggil "Bu Lidya". Dan ternyata Haris tidak marah saat Lidya mengejeknya. Barangkali Lidya adalah satu dari sedikit orang yang berani mengejek Haris, seorang Plant Director. Lebih aneh lagi, Haris malah mengalah pada ejekan Lidya. Kalau hubungan keduanya tidak sedekat itu, sudah pasti orang sekaku Haris akan tersinggung diejek begitu kan?
"Gosip mereka berdua tuh bener nggak sih?" Randu akhirnya tidak tahan untuk tidak bergosip dengan Naya. Sambil bisik-bisik pada adik kelasnya itu, ia mengerling melalui tatapan kepada Haris, yang berjarak beberapa langkah darinya, yang kini sedang menawarkan pada Lidya apakah memilih rolade daging atau udang mayonaise.
Mendengar pertanyaan kepo seniornya di kampus dulu, Naya hanya tertawa.
"Kepo lu Kak!" ejek Naya.
"Nggak heran kalau banyak orang yang gosipin mereka sih," kata Randu. "Kalau lagi ngobrol gini, mereka emang kelihatan deket sih ya."
"Kelihatan deket gimana?" pancing Naya.
"Maksud gue, mereka di kantor itu kan kelihatan berwibawa dan serius mulu di depan orang lain. Semacam sosok yang unreachable gitu. Tapi ternyata pas ngobrol berdua, mereka seakrab itu ya. Barusan gue denger Pak Haris manggilnya cuma Lidya doang gitu, bukan panggilan formal. Kayaknya mereka emang udah akrab banget di luar hubungan toll-in manufacturing Gezonde-Medika. Iya nggak sih?"
"Bu Lidya itu dulu anak buah Pak Haris."
"Hah?" respon Randu sontak. Info yang ini, dia baru mendengarnya. "Serius?"
"Serius!" kata Naya, berbisik antusias. "Dulu Bu Lidya karyawan Medika juga. Anak buah Pak Haris, sebelum akhirnya pindah ke Gezonde."
"Oh, pantes udah akrab ya," komentar Randu, manggut-manggut.
"Pernah dengar gosip nggak Kak, bahwa Pak Haris biasanya cuma nerima karyawan dari kampus kita?" lanjut Naya.
Randu masih manggut-manggut. Kalau ditelaah lagi, mungkin gosip itu benar juga. Sebagian besar karyawan Medika Farma di Divisi Manufacturing, di bawah pimpinan Haris, memang alumni kampus mereka.
"Ada sih beberapa anak buah Bapak yang bukan alumni kampus kita. Tapi nggak pernah ada yang bisa akrab sama Bapak," imbuh Naya. "Tapi Bu Lidya beda. Meski Bu Lidya tuh alumni kampus di Bandung, tapi Bapak bisa akrab sama Bu Lidya. Mungkin itu asal muasal gosip tentang Bapak dan Bu Lidya."
Haris dan Lidya sudah mendapatkan makanan yang mereka inginkan di atas nampan mereka, dan membawanya ke salah satu meja di kantin. Kini Naya dan Randu maju dan mulai memilih makan siang untuk diri mereka. Karena Haris dan Lidya sudah menjauh, kini mereka bisa bergosip dengan lebih leluasa.
"Pas Bu Lidya pindah ke Gezonde dan akhirnya nikah, gosip itu berhenti. Gantian, gue yang digosipin sama Bapak, gara-gara Bapak sering mampir ke ruangan gue sambil bawa martabak," kata Naya. "Orang-orang kagak tahu aja, si Bapak rajin mampir ke ruangan gue buat neror kerjaan gue."
Randu terkekeh.
"Setelah gue nikah, gosip tentang gue surut. Ndilalah Bu Lidya cerai. Yaudah lah balik lagi gosip Bapak sama Bu Lidya," lanjut Naya. "Tapi belakangan ini ada gosip lain tentang Bapak. Lo udah denger, Kak?"
"Apa tuh?"
"Oh? Lo belum denger?"
"Apa sih? Apa sih?" Lambe bener ya si Randu ini, padahal laki!
"Cuma gosip simpang siur sih. Nanti aja gue lanjutin gosipnya kalau udah jelas."
"Kalau udah jelas mah namanya bukan gosip lagi, tapi fakta!" protes Randu. Membuat Naya terkekeh puas karena berhasil membuat seniornya itu sewot. "Belakangan kemarin sebelum Haiva pindah dari sini ke Hans Pharm, gue sempet mikir si Bapak deket sama Haiva. Pak Haris juga kelihatan sewot kalau lihat gue dan Haiva. Jadi gue sempat mikir mereka ada hubungan khusus. Apa gosip itu yang lo maksud?"
Naya, yang memang berdiri di hadapan Randu, telah mendapatkan seluruh makan siangnya di nampan terlebih dulu. Jadi tanpa menjawab rasa penasaran Randu, Naya ngeloyor begitu saja. Meninggalkan Randu yang misuh-misuh dalam hati, karena Naya memilih duduk semeja dengan Haris dan Lidya. Membuat Randu tidak bisa menginterogasi Naya lebih jauh.
* * *
Keakraban Haris dan Lidya terus terlihat sepanjang makan siang bersama hingga setelahnya. Bahkan meski Haris kembali memanggil "Bu Lidya" karena selama makan siang mereka ngobrol berlima, dan meski mereka membicarakan tentang proses transfer produk, tetap saja keakraban dan keluwesan interaksi mereka terlihat jelas.
Setelah makan siang, Naya kembali ke ruangannya lebih dulu karena sedang tidak sholat, sementara Karin memilih sholat Dzuhur di ruangannya. Meninggalkan Randu yang menjadi obat nyamuk ketika mengiringi Haris dan Lidya yang terus berbincang akrab selama berjalan menuju mushola kantor.
Selepas sholat Dzuhur, ketika mereka bertiga melangkah kembali ke ruang meeting pun, lagi-lagi Randu menjadi obat nyamuk bakar. Yang disulut, lalu dibiarkan terbakar hingga tak bersisa.
"Pak Yohan mengundang saya ke resepsi pernikahan puteranya Sabtu besok," samar Randu mendengar Haris berucap demikian pada Lidya, selagi dirinya melangkah di belakang kedua sejoli itu.
Lidya nampak menoleh dan menengadah pada pria dengan tinggi hampir 190 cm yang melangkah di sampingnya itu.
"Dan Bapak nggak mau hadir?" terka Lidya pelan. Seperti telah terlalu dekat dengan Haris sehingga bisa menerka pilihan pria tersebut.
Haris nampak mengendikkan bahunya sekilas. "Tapi nanti Pak Yohan tersinggung tidak ya?"
Lidya tidak menjawab pertanyaan itu. Alih-alih, ia mengatakan hal lain, "Saya datang Sabtu besok, Pak."
Setelahnya Haris hanya mengangguk-anggukan kepala. Tidak mengatakan apapun. Tapi kenapa kelihatannya seperti mereka sedang janjian kondangan bareng ya?
Kalau memang seperti itu, berarti kecurigaan Randu tentang hubungan Haris-Haiva pasti salah kan? Kemungkinan Haris justru punya hubungan dengan Lidya kan?
Kalau feeling-nya tentang Haiva yang naksir Haris adalah benar, berarti kasihan juga Haiva karena bertepuk sebelah tangan pada Haris. Ah, andai dirinya bisa terlihat berkharisma dan berwibawa seperti Haris, tentu Haiva dulu tidak akan menolaknya. Dengan kharisma seperti Haris, Randu bahkan jadi punya peluang menggaet wanita secantik Lidya.
Duh! Gimana sih caranya supaya bisa berwibawa dan berkharisma seperti Pak Haris?, pikir Randu, sambil menatap punggung Haris dan Lidya dengan nelangsa.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top