6. Surfaktan
"Teteh nggak capek sering-sering ke Bandung?"
Lidya mengangkat wajahnya dari laptopnya ketika seorang pria berusia 70 tahun meletakkan sepiring donat kentang di meja tempat Lidya bekerja, di ruang tengah rumahnya.
"Papa bikin donat kentang? Asikkk!!!" spontan Lidya tersenyum lebar pada pria dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih itu. "Tapi Papa tuh sebenarnya nggak usah repot masak-masak gitu lah. Nanti kecapekan lho, Pah."
"Masak mah nggak capek, Teh. Yang capek tuh nyuci piring. Tapi kalau Teteh di rumah, kan Teteh yang nanti cuci piring." Pria itu kemudian mencomot sebuah donat dan duduk di sofa, di balik punggung Lidya yang sedang lesehan di depan meja ruang tengah.
Lidya tertawa. Tatapannya pada pria itu melembut.
Pria pensiunan PNS itu memang memiliki hobi memasak. Dan tidak hobi mencuci piring. Itu mengapa tiap anaknya pulang ke rumahnya, beliau memanfaatkannya untuk memuaskan hobi memasaknya, mumpung ada yang mencuci piring. Lidya ingat betul, sepanjang pernikahan orang tuanya, memang sang ayah yang terlihat lebih sering memasak, sementara sang ibu yang membereskan kerusuhan di dapur setelah eksplorasi resep yang dilakukan sang ayah.
"Jadi, seneng kan kalau Iya sering-sering pulang? Jadi Papa bisa puas masak?" sindir Lidya.
Sang ayah terkekeh. "Ya Papa mah seneng banget. Tapi Teh Iya kan kecapekan perjalanan 6 jam pulang-pergi Jakarta-Bandung."
"Capek apaan? Kan Iya naik travel, tinggal duduk doang, nggak nyetir sendiri."
"Tapi kalau Teteh lagi banyak kerjaan gini..." Papa mengerling laptop dan dokumen di hadapan Lidya. "...kalau nggak pulang dulu, nggak apa-apa lho Teh."
Lidya mengabaikan komentar ayahnya barusan dan mencomot sepotong donat bertabur gula halus.
"Liand nggak bisa sering-sering pulang kesini, anak-anaknya masih kecil-kecil dan istrinya lagi hamil lagi," kata Lidya, menyebutkan nama adik lelakinya. "Makanya Iya sering pulang, biar Papa nggak kesepian."
Sejak istrinya meninggal, Papa memang tinggal sendirian. Ada ART yang datang dua kali seminggu untuk mencuci baju, menyetrika dan membersihkan rumah. Tapi selebihnya, sang ayah tinggal sendirian.
Senyum dan sorot mata sang ayah melembut. Tampak terharu, meski sebenarnya ia sudah menduga alasan anak sulung perempuannya itu.
"Makanya Papa tinggal di Jakarta aja yuk Pa," sambung Lidya.
"Kamar di rumah Liand udah penuh."
Alasan seperti ini bukan pertama kalinya diungkapkan sang ayah. Beliau pasti khawatir akan merepotkan keluarga anak-anaknya. "Ya di rumah Iya lah! Iya kan tinggal sendirian, Pa," Lidya menjawab.
"Duh, semua peralatan masak Papa ada disini. Nanti ribet pindahannya."
Alasan apalagi itu?!, pikir Lidya sambil memutar bola matanya.
Melihat ekspresi putrinya, Papa justru tertawa. Dan akhirnya Lidya juga jadi ikut tertawa. Dan pembahasan mereka selesai sampai disitu.
Meski sudah 70 tahun, Papa memang masih sangat sehat karena beliau rajin berolahraga dan pola makannya sehat. Namun tetap saja Lidya khawatir jika beliau tinggal sendirian, karena beliau sudah sepuh. Selama ini Lidya hanya memantau keadaan sang ayah lewat video call serta info dari ART yang pulang-pergi tersebut.
Lidya tahu bahwa alasan sebenarnya sang ayah tidak mau pindah bukan sekedar karena repot memindahkan peralatan masaknya. Tapi karena tidak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan dengan mendiang istrinya ini.
Lidya sudah beberapa kali melamar pekerjaan di industri farmasi di Bandung dan beberapa daerah di sekitarnya. Namun memang pilihannya tidak sebanyak industri farmasi di Jabodetabek, dan belum ada perusahaan yang Lidya pikir prospektif untuk mengembangkan potensinya. Sang ayah sudah mengetahui rencana Lidya tersebut dan malah melarang Lidya pindah ke Bandung jika hanya demi beliau.
Suasana hening selama beberapa saat. Hanya suara dari televisi yang menemani, sementara Lidya masih bekerja dengan laptopnya sambil sesekali menggigit donat. Papa sendiri menikmati donatnya dalam diam, membiarkan putri sulungnya bekerja.
Lidya baru saja menandaskan donat kedua ketika sang ayah kembali mengajaknya bicara, "Teteh kerjaannya banyak banget ya Teh?"
Lidya melirik sang ayah.
"Dulu tuh Papa kira, cuma Liand yang kerja di bidang IT yang kerjaannya sibuk. Ternyata apoteker juga sibuk ya."
Lidya terkekeh. "Industri makanan dan industri farmasi adalah industri yang nggak akan pernah berhenti, Pah," Lidya menjawab, persis seperti jawabannya kepada orang-orang yang sering mempertanyakan kesibukannya. "Orang bisa aja nggak beli ponsel, tivi atau kendaraan. Tapi kalau orang lapar, pasti cari makanan. Kalau orang sakit, pasti butuh obat. Bahkan jaman sekarang, orang sehatpun makin aware dengan penggunaan vitamin dan supplemen. Jadi insyaAllah anak Papa ini nggak akan pernah dipecat gara-gara kebutuhan masyarakat terhadap obat menurun."
Papa terkekeh. "Teteh produksi obat buat kesehatan masyarakat, jadi jangan lupa Teteh sendiri harus jaga kesehatan ya Teh."
"Iya, Pa."
"Makannya yang bener. Istirahatnya juga. Jangan terlalu sibuk kerja."
"Iya, iya." Lidya terkekeh mendengar nasehat khas orangtua. Bahkan meski dirinya sudah berusia 37 tahun, ada kalanya ia mendapati sang ayah tetap menganggapnya masih sebagai puteri kecilnya yang dulu.
"Kalau ada waktu libur, Teteh istirahat atau kumpul-kumpul sama teman-teman kek gitu."
Lidya mengangguk-angguk saja menanggapi komentar sang ayah. Matanya masih menatapi layar laptop dengan jari yang lincah menari di atas keyboardnya.
"Kalau Teteh weekend disini terus, kapan Teteh sempat cari pacar," sindir Papa.
Meski mata Lidya belum teralih dari layar laptopnya, tapi sontak ia tertawa.
"Iya udah terlalu tua untuk pacaran, Pa," jawab Lidya di sela tawanya.
Tapi sang ayah tidak turut tertawa. "Teteh belum ada niat nikah lagi ya?" tanya sang ayah hati-hati.
Jemari Lidya sempat terhenti beberapa detik di atas keyboard laptop. Ia menyamarkannya dengan berpura-pura kembali mencomot donat ketiga. Setelah mengunyah segigit lagi donat, sambil kembali menarikan jarinya di atas laptop, Lidya menjawab sambil lalu, "Nggak ada yang mau sama janda kayak Iya, Pa."
Lidya tertawa ringan seperti menertawakan dirinya sendiri. Tapi sang ayah tidak ikut tertawa. Lidya menyadari kesedihan dan kekecewaan ayahnya, tapi ia bersikap sok cuek dengan kembali pada pekerjaan di laptopnya.
Kenyataannya, tidak seperti itu. Setelah ia bercerai, ada beberapa pria yang mencoba mendekatinya. Namun tidak ada satupun yang berhasil. Karena Lidya sendiri yang sebenarnya tidak ingin menikah lagi.
Lidya adalah orang yang percaya bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Asalkan dirinya berusaha dengan keras, dirinya pasti akan berhasil. Begitu yang ia pikir, dulu. Nyatanya, cinta dan hubungan manusia, bukanlah hal yang hanya ditentukan oleh satu pihak. Lidya bisa saja berjuang dan mengusahakan yang terbaik untuk membuat pernikahannya berhasil dan rasa cintanya terbalas. Tapi ia tidak bisa memaksakan perasaan orang lain. Jadi, ketika ia sudah mengusahakan segalanya, dan rasa cintanya tidak juga berbalas, Lidya tahu, akhirnya usahanya kali ini dalam hal cinta, telah mengkhianati hasil. Sejak itu, ia tidak ingin lagi berusaha dalam hal cinta.
Hatinya telah mati. Tapi hidup terus berlanjut. Dan kalau ia jujur mengatakan pada ayahnya bahwa ia sudah tidak mau menikah lagi, bukankah itu akan mematahkan hati ayahnya? Maka ia menggunakan alasan lain bahwa memang tidak ada lelaki yang mau dengan janda sepertinya.
Ada rasa sedih dan bersalah yang Lidya rasakan karena telah membuat ayahnya kecewa dengan kegagalan pernikahannya, juga karena ia belum menikah lagi setelah sekian lama. Tapi Lidya berusaha tampak tidak terpengaruh oleh percakapan barusan.
Papa kembali diam setelahnya. Lidya juga kembali melanjutkan pekerjaannya. Ketika Lidya hendak mencomot donat keempat, barulah Papa bicara lagi.
"Teh, Teteh kan pinter matematika," kata Papa. "Kalau 3 x +, sama dengan apa Teh?"
"Hah?" Ditanya seperti itu sekonyong-konyong, di tengah-tengah konsentrasinya memeriksa laporan validasi, Lidya jadi bingung. "Coba ulang Pah. Iya tadi nggak denger."
"3 x + sama dengan apa?"
Lidya sudah mengalihkan tatapannya dari laptop dan sepenuhnya berkonsentrasi pada sang ayah.
"Perhitungan apaan tuh? Kok ngaco?" protes Lidya.
"Ngaco apanya?" Papa balik bertanya. "Kalau Teteh nggak bisa jawab soal gampang gitu, artinya Teteh udah kecapekan kerja. Istirahat dulu Teh."
"Emang apa jawabannya? Soalnya aja ngaco gitu. Mana ada tanda operasi bilangan disatuin gitu. 3 x +?"
"3 x + tuh jadinya kenyang, Teh," kata sang ayah memberikan jawaban.
Alis Lidya menukik.
"Teteh 3 x tambah donat, kenyang kan Teh?"
Ketika akhirnya menyadari bahwa ayahnya sedang melawak ala bapack-bapack, Lidya merasa kesal sekali karena tadi sempat serius menanggapinya.
Aaarrgghhh!!!
Lidya sontak menghempaskan tubuhnya ke lantai dan menjejakkan kakinya dengan kesal. Sudah 37 tahun mengenal ayahnya, harusnya Lidya sudah tidak lagi terkecoh dengan tebak-tebakan receh begini.
Meski receh, sang ayah bangga sendiri dengan kemampuan tebak-tebakannya. Katanya, hal itu membuatnya mampu menurunkan ketegangan suasana dan membuatnya mudah bergaul dan melebur dalam percakapan dengan komunitas manapun. Seperti surfaktan dalam sabun, yang mampu menurunkan ketegangan antara minyak dan air, mampu membuat minyak dan air menyatu membentuk emulsi, sehingga air mampu mengangkat noda kotoran berminyak.
Melihat kekesalan putrinya, sang ayah tertawa puas.
"Kalau laper, jangan makan donat sampai 3x tambah gitu, Teh. Emang udah waktunya makan siang. Makan yuk! Papa udah masak sayuran yang romantis lho."
"Sayuran apa yang romantis?"
"Oseng toge."
"Romantis apanya?"
"Romantis dong. Kan makannya toge-ther with you."
Lidya hampir saja membalikkan meja si hadapannya, saking kesalnya, kalau tidak ingat laptopnya berada di atas meja tersebut.
* * *
Seperti kata ayah dan teman-temannya, pekerjaan Lidya memang tampak makin sibuk tahun ini. Rencana transfer teknologi pada 10 produk baru yang akan diproduksi di Indonesia bukan hanya berpengaruh pada Randu, sebagai Manager for Products Transfer, tapi pada seluruh departemen di Manufacturing Office. Tidak terkecuali Lidya yang berada di Quality Assurance.
Proses optimasi dan validasi produk dilakukan di fasilitas produksi, sehingga berpengaruh pada jadwal produksi. Dan meski proses produksi tiap produk sudah melalui pengkajian risiko dan dirancang dengan prinsip Quality by Design untuk menjaga kualitas dan meminimalkan kesalahan, sekali atau dua tetap saja ditemui hambatan pada tahap-tahap tertentu proses produksi. Hal itu menyebabkan jadwal produksi produk lain mundur, dan jadwal perilisan produk yang telah dijadwalkan tiap bulannya jadi harus diatur ulang. Hal itu membuat Randu selalu diundang pada weekly meeting, agar dapat secara kontinu melaporkan perkembangan optimasi dan validasi produk, dan apakah proses tersebut mengalami hambatan yang dapat menghambat proses produk lain.
Dengan jobdesk untuk memastikan proses transfer produksi obat-obat baru Gezonde Pharma berlangsung lancar, sebenarnya beban pekerjaan Randu sangat berat. Apalagi tiap kali terjadi kegagalan proses optimasi yang menyebabkan delay pada produk lain, Randu pasti kena sindir oleh manajer departemen lain karena menyebabkan pekerjaan mereka terhambat. Ia juga sering diteror Plant Director dan Plant Manager yang memantau proses transfer produk tersebut dengan ketat. Tapi dasar si Randu, dengan beban kerja dan tuntutan sedemikian, dia masih tetap bisa nyengar-nyengir sana-sini.
Untungnya, dengan sikap Randu yang tidak baperan dan tetap santai meski kejomloannya dibully terus, weekly meeting yang seringkali penuh ketegangan akibat pengaturan jadwal produksi yang ketat, kini terasa lebih rileks. Pasti ada saja celetukan atau komentar Randu yang out-of-mind, yang membuat suasana rapat yang tegang seketika mencair dengan candaan. Terlebih, Randu menerima bully-an atas status jomlo-nya dengan tabah dan sikap jenaka, membuat para manajer lain tidak tahan berlama-lama bersikap keras menghadapi Randu.
Seperti halnya di weekly meeting hari itu yang berlangsung hingga lewat petang. Para Manajer itu sudah tampak lelah, tapi mereka masih punya kekuatan untuk membully status jomlo Randu.
"Ini semua gara-gara Pak Yohan nih," kata Randu, dengan gaya menggerutu terhadap Plant Director mereka. "Masa anak buah saya laki-laki semua. Nggak ada yang bisa diprospek. Kan jadinya saya jomlo terus."
Para manajer yang berada di ruang meeting tersebut tertawa mendengar keluhan Randu.
"Mau tukeran sama staf di departemen saya?" iseng Pak Yudha dari departemen PPIC menanggapi.
Saat rapat, biasanya Yudha ini yang paling sering meneror Randu, terutama jika ada delay pada proses optimasi. Tapi di luar urusan pekerjaan, mereka cukup akrab, apalagi karena Yudha menikmati mem-bully Randu.
"Hilih!" Randu mencibir. "Staf nya Mas Yudha kan ibu-ibu semua."
"Ya kali nanti Mas Randu bisa pedekate sama ibunya, supaya dapet anaknya?"
Sontak para manajer lain tertawa kembali.
"Solutif banget ya Mas Yudha. Makasih lho," sindir Randu. Meski tidak sungguh-sungguh baper dengan ledekan itu.
"Coba bilang ke Pak Yohan, supaya staf Mas Randu dipilih yang perempuan gitu," usul Lidya.
"Emang kalau staf Mas Randu perempuan, trus dia pasti mau sama Mas Randu?" timpal Yudha lagi.
"Pasti mau lah! Kan saya lucu dan imut. Kayak kucing," Randu jumawa.
"Jadi Mas Randu pengen jadi pacar atau piaraan?"
Ruang rapat kembali ramai dengan tawa. Sementara objek bully-an mereka justru tampak menikmati perundungan itu.
Tawa mereka mereda ketika kemudian Pak Yohan, Plant Director yang sedang mereka perbincangkan, tiba-tiba muncul di pintu ruang rapat. Setelah menanyakan hasil weekly meeting dan berbasa-basi sejenak, Pak Yohan membagikan undangan pernikahan kepada semua manajer Gezonde Pharma yang hadir di rapat tersebut.
"Anak laki-laki saya akan menikah minggu depan," kata Pak Yohan. "Maaf ya undangannya mendadak. Saya baru pulang dari Thailand dan baru sempat ketemu anak saya. Jadi dia baru bisa ngasih undangannya ke saya. Semoga Bapak-bapak dan Ibu-ibu belum ada agenda lain dan bisa hadir."
Para manajer tersebut tentu langsung mengucapkan selamat atas rencana pernikahan putera Pak Yohan.
"Wah, calon mantu Bapak apoteker nih Pak?" celetuk Lidya ketika membaca gelar mempelai wanita pada kartu undangan tersebut.
"Iya, dia kerja di Regulatory Affairs-nya Hans Pharmaceuticals," jawab Pak Yohan. "Oiya, Bu Lidya bisa dateng kan ya? Saya juga ngundang Pak Haris kok."
Lidya terkekeh mendengar pernyataan Pak Yohan tersebut. "Iya Pak, insyaAllah saya datang. Makasih undangannya, Pak."
"Ciyeeee. Kalau ada Pak Haris, cepet ya respon Mbak Lidya," celetuk Pak Hanif, sang Manajer Produksi.
Hal itu memancing celetukan dan godaan dari para manajer yang lain sehingga suasana ruang rapat agak ramai. Menanggapi hal itu, Lidya hanya tersenyum santai saja.
"Oh, jadi gosip itu bener ya? Pak Haris dan Mbak Lidya?" tanya Randu di sela kehebohan itu.
"Emang kenapa Mas?" Yudha bertanya balik pada Randu. "Mau ngincer Mbak Lidya juga? Wah, berat kalau saingan sama Pak Haris. Mbak Lidya dan Pak Haris itu kan jauh di mata, dekat di hati. Meski kerja di perusahaan yang beda, tapi hubungan mereka sudah dekat banget."
"Wah, Mas Yudha gosip nih," gerutu Lidya. Meski begitu, perempuan itu tetap tersenyum.
Sementara itu, Randu manggut-manggut mendengar informasi tersebut. "Jauh di mata, dekat di hati ya?" gumamnya. "Kayak ampela ya."
Para manajer yang berada di ruangan itu sontak menoleh ketika mendengar gumaman tersebut. Suasana hening sejenak sebelum kemudian Pak Yohan yang tertawa lebih dahulu. Disusul tawa lepas para manajer lain.
"Pak Randu ini cerdas banget tentang dad's jokes ya," komentar Pak Yohan, di sela tawanya.
Bukannya merasa tersindir, Randu malah cengengesan jumawa. "Sebab orang tua saya berasal dari kota yang memang banyak bapak-bapaknya, Pak. Jadi saya sudah terlatih sejak kecil."
"Kota yang banyak bapak-bapaknya?"
"Purwodaddy," jawab Randu, dengan alis terangkat tengil.
Saat itu, diantara tawa Pak Yohan dan para manajer yang meriah, diantara pulpen yang berterbangan karena dilempar dengan kesal oleh para manajer tersebut, Randu melihat Lidya justru sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit Randu artikan.
Apa itu karena lawakannya yang sangat menyebalkan, atau karena Lidya tidak suka tadi Randu bergurau soal hubungannya dengan Pak Haris ya?
* * *
Emang mbak Lidya menatap mas Randu seperti apa sih? Kira2 kenapa ya? Atau mas Randu aja yang keGRan ditatap mbak Lid?
Duh, saya gumush nih pengen cepet2 publish bab berikutnya. Masih pada inget tentang acara kondangan Pak Haris n Bu Lidya kan?
* * *
PS. Selain pada sabun, surfaktan juga digunakan pada produk farmasi, untuk menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air sehingga kedua cairan itu bisa menyatu membentuk emulsi. Contoh produk obat berbentuk emulsi adalah sediaan krim.
* * *
PS. Kalau ada yg gumush komentar "Lidya ngapain pp Jkt-Bandung naik travel, kan skrg udh ada Woosh". Permisi, setting cerita ini sebelum Woosh diresmikan ya Kakak2 hehehe
* * *
Lebih dr 2500 kata nih Kak. Semoga Kakak2 puas dan berkenan vote n komen. Selamat hari Minggu nan syahdu, Kakak2 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top