31. Emulgator (2)
"Tadi saya beli roti, Mbak. Saya nggak tahu Mbak Lid biasa minum obat pereda nyeri atau nggak. Tapi kalau Mbak mau minum obat, itu saya beliin roti juga, supaya Mbak bisa makan dulu dikit sebelum minum obat." Randu melirik Lidya singkat sebelum menambahkan,"Tadinya saya mau ngajak Mbak Lid makan malam bareng sebelum pulang. Tapi kalau lagi datang bulan kan pasti nggak nyaman, pasti pengennya cepet-cepet pulang dan mlungker di kasur."
Dengan hati hangat, Lidya tersenyum kecil pada Randu. "Mas Randu belum makan?"
"Ah, saya mah gampang Mbak. Lagian masih kenyang kok."
"Kenyang? Emang makan apa?"
"Makan hati.".... lihat kamu dan Ramy mepet terus.
Tapi karena kalimat terakhir hanya dikatakan dalam hati, Lidya tidak mendengarnya. Sehingga perempuan itu justru tertawa mendengar jawaban nelangsa Randu.
"Makasih ya Mas. Ini rotinya kita bagi dua aja ya kalo gitu?"
"Buat Mbak aja. Saya kan lagi nyetir juga. Nggak bisa makan."
"Sori ya Mas. Mas jadi nganterin saya pulang."
"Lha, kenapa minta maaf? Kan emang saya yang emang mau nganterin Mbak. Hehehe."
Lidya melihat pria itu cengengesan selagi mengemudikan mobilnya. Meski Randu terlihat santai seperti sedang tidak berpikir, tapi kenyataannya pria itu mengemudikan mobil dengan halus dan hati-hati, menerobos kemacetan jalanan Jakarta di Jumat malam. Sesekali Lidya masih mengatakan "ati-ati", tapi itu bukan karena Randu sembrono, melainkan karena kebiasaan Lidya saja.
Lidya membuka bungkus roti, membagi menjadi 2 bagian dan memakan setengah bagiannya pelan-pelan, sambil menatap jalanan di hadapannya yang dipenuhi warna merah lampu mobil-mobil di hadapannya yang terjebak macet.
"Kok tadi Mas cepet amat belanjanya? Nggak pakai bingung milih mau beli apa?" tanya Lidya.
Minimarket memang terletak tidak jauh dari Gezonde Pharma. Namun, tetap saja waktu 10-15 menit adalah waktu yang cukup singkat bagi seorang lelaki untuk membeli keperluan pribadi perempuan seperti itu. Biasanya lelaki pasti butuh waktu lebih lama untuk memilih mau beli pembalut yang mana, obat nyeri haid yang mana, apalagi memilih pakaian dalam yang mana. Teringat itu, wajah Lidya kembali memerah. Dia penasaran tapi terlalu malu untuk bertanya mengapa Randu bisa memilih ukuran yang pas dengan dirinya. Jadi ia bertanya secara general saja.
Randu kembali cengengesan. "Udah biasa Mbak. Saya punya ibu dan 2 kakak perempuan. Kakak pertama saya kadang mengalami nyeri haid. Jadi belanjaan ibu tiap bulan ya pasti termasuk pembalut dan obat nyeri haid. Kadang kalau di rumah kehabisan pembalut, ya siapa lagi yang disuruh ke warung, selain si bungsu ini?" Randu menunjuk wajahnya sendiri dengan ekspresi lucu.
"Mas nggak malu atau sebel kalau disuruh beli begituan?"
"Begituan apa?" Randu tertawa. "Kenapa mesti malu? Itu kan memang barang kebutuhan dasar. Setiap perempuan datang bulan, jadi wajar belanja pembalut. Kayak semua orang makan nasi, jadi wajar beli beras. Gitu kan?"
Di keluarganya, sang ayah dan Liand, adik lelakinya, memang sudah biasa membelikan barang seperti itu. Tapi Lidya juga tahu, tidak semua lelaki mau dan bisa membeli barang kebutuhan pribadi wanita itu. Jadi ketika Randu melakukannya tanpa sungkan, Lidya cukup takjub juga.
"Itu saya beli merk yang biasa dipakai kakak saya. Katanya anti kerut dan anti tembus karena cukup panjang. Saya nggak tahu Mbak biasa pakai yang mana, tapi kalau kurang nyaman buat Mbak, ya sabar-sabar aja ya Mbak. Cuma sementara sampai nyampe rumah kok."
Pas kok. Saya memang pakai ini juga biasanya, kata Lidya, namun hanya dalam hati.
Melihat Randu mengatakan hal seperti itu dengan santai aja, membuat Lidya tahu bahwa memang Randu sudah biasa dan tidak sungkan melakukan hal itu.
"Kata ibu saya, ini hal dasar yang harus dimiliki laki-laki yang akan jadi suami dan ayah," Randu melanjutkan ceritanya.
"Ibu Mas pasti bangga berhasil membesarkan anak seperti Mas."
"Saya anak kesayangan Ibu," kata Randu jumawa. "Tapi juga yang paling sering di-bully Ibu. Hehehe."
"Kenapa di-bully?"
"Sebab ponakan saya udah banyak, tapi saya belum nikah juga. Jadi tiap Ibu abis pulang kumpul-kumpul sama temen-temennya, pasti kumat deh nge-bully saya, maksa saya cepet-cepet nikah."
Cerita Randu dan caranya bercerita membuat Lidya spontan saja tertawa.
"Emang nasib saya aja yang sial mulu sih. Naksir orang, eh ternyata istri orang. Naksir orang lagi, eh dia malah deket sama bosnya," Randu melirik Lidya sekilas, memberikan kode. Tapi tentu saja Lidya tidak menangkap kode tersebut karena terlalu sibuk menertawakan nasib Randu."Kalah saing mulu lah saya. Padahal apa coba kurangnya saya? Beli pembalut aja, saya jago lho. Kurang suami-able apa saya? Tapi kenapa cewek-cewek nggak ada yang sadar dengan kelebihan saya?"
Kalau dipikir-pikir, Randu benar juga. Pria itu tampan dan berpotensi menjadi suami dan ayah yang baik. Terbukti dari kemampuannya menangani kebutuhan wanita dan menangani anak-anak. Tapi Lidya juga tidak perlu berpikir keras mengapa perempuan tidak tertarik dengan Randu. Sebab semua potensi baik Randu itu tertutup oleh sikapnya yang slenge'an.
Bad boy memang biasanya mudah menarik perhatian gadis-gadis yang mencari pacar. Tapi bagi perempuan yang mencari lelaki untuk dinikahi, menyerahkan hidup kepada seorang lelaki yang sikapnya selalu main-main seperti Randu, membuat perempuan tidak merasa secure untuk mempercayakan seluruh hidupnya kepada lelaki seperti itu.
"Apa memang saya harus berubah dulu jadi seperti Pak Haris, baru cewek-cewek bakal naksir sama saya?" sarkas Randu.
"Lho apa hubungannya sama Pak Haris?" Lidya akhirnya bersuara kembali.
Huh! Kalau ngomongin cem-cemannya aja, dia semangat menanggapi. Dari tadi gue ngoceh, dia ketawa-ketawa aja, Randu manyun.
"Ya kan Pak Haris kharismatik gitu. Banyak fans-nya. Meski sama-sama belum nikah, tapi kan beliau belum nikah karena pilihan, saya belum nikah karena nasib."
Tawa Lidya pecah kembali. Sementara ekspresi Randu makin kecut.
"Bu Lidya sebenarnya gimana sih hubungannya sama Pak Haris?" tembak Randu tidak sabar.
"Baik-baik aja," jawab Lidya sambil manggut-manggut cengengesan. Jawaban itu tentu saja tidak memuaskan rasa penasaran Randu.
"Kata orang-orang, Bu Lidya pacarnya Pak Haris?" Tapi udah lama deket, kok nggak nikah-nikah? Kan saya jadi ngarep masih ada kesempatan.
Lidya tertawa kembali. Tentu saja pancingan Randu barusan tidak mempan. Lidya tidak menjawab apapun. Seperti biasa, ia tidak mengelak, namun juga tidak membenarkan asumsi orang.
"Kalau menurut Mbak, misalnya.... misalnya doang sih ini...." Randu menekankan hal tersebut dengan hati-hati agar Lidya tidak tersinggung. "Kalau saya berubah jadi kharismatik kayak Pak Haris, atau sekeren Ramy van Dijk, kira-kira Mbak Lidya bakal mau sama saya nggak?"
Nggak mau. Karena dengan siapapun, saya nggak mau.
Randu sudah tahu Lidya tidak akan menjawab pancingannya. Tapi tetap saja dia tadi nekat bertanya. Untungnya ekspresi Lidya tidak terlihat tersinggung. Perempuan itu malah terkekeh kecil, menertawakan Randu, seperti biasa.
Lagian, kalaupun saya mau, nggak ada laki-laki yang mau serius sama janda seperti saya. Mereka mungkin cuma penasaran dan ingin menggoda. Seperti kamu. Kamu juga cuma penasaran dan main-main aja kan?
"Kalau ngomongnya mulai ngelantur gini, biasanya itu pertanda laper. Makan roti dulu nih Mas. Tadi udah saya bagi dua," kata Lidya, sambil mengulurkan bungkus roti yang tinggal berisi setengah bagian.
"Lha! Kan tadi saya udah bilang, buat Mbak Lid aja. Lagian saya nyetir, nggak bisa makan." Randu melirik Lidya sekilas sebelum tatapannya kembali ke jalanan di depannya.
"Kalau gitu saya suapin ya?"
"Hah?!"
Untuk sepersekian detik Randu kehilangan konsentrasi. Untungnya genggaman Randu di setir tidak goyah. Meski perempuan itu sudah mengambil sepotong roti dari bungkusnya dan meletakkan potongan roti itu tepat di depan bibir Randu.
Saya bukan janda yang bisa kamu permainkan, Randu. Kalau kamu bisa main-main, saya juga bisa, pikir Lidya sinis, meski senyumnya terkembang manis melihat Randu yang tampak salah tingkah.
* * *
Kasihan Mas Randu. Dia lempar kode, malah di-su'udzon-in.
Coba Kak, kasih saran buat Randu, gimana cara lempar kode yang bener supaya nggak disangka cuma mainin doang.
Susah bener emang berusaha membuka hati orang yang udah mengunci hatinya, trus kuncinya udah dibuang nggak tahu kemana.
* * *
Happy weekend, Kakak2 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top