3. Corrigen
Awalnya, bagi Randu, Haiva itu hanya rekan kerja yang menyenangkan. Randu adalah Technical Manager PharmExcipt, sebuah perusahaan pemasok polimer penyalut untuk produk farmasi. Salah satu tugasnya adalah membantu perusahaan klien yang menggunakan eksipien penyalutnya untuk melakukan optimasi formula dan validasi proses penyalutan. Di sisi lain, Haiva adalah staf QA Medika Farma yang bertanggung jawab pada proses validasi produk. Hal itu yang awalnya mempertemukan mereka.
Tiap mereka optimasi atau validasi proses produksi bersama, Randu selalu merasa seru ngobrol dengan gadis itu. Apalagi di awal-awal interaksi mereka, tiap kali Randu menggoda Haiva, pipi gadis itu pasti kemerahan. Imut sekali. Seperti namanya, Haiva Humaira. Membuat Randu jadi ketagihan menggoda gadis itu.
Meski lama kelamaan gombalannya tidak lagi mempan, dan pipi gadis itu tidak lagi kemerahan saat mendengar gombalannya, Randu sudah terlanjur menikmati interaksinya dengan gadis itu. Diantara proses optimasi yang tidak selalu berhasil, proses validasi yang ketat, dan diantara operator produksi yang isinya bapak-bapak semua, kehadiran Haiva tentu merupakan angin segar bagi Randu.
Awalnya memang hanya begitu. Tapi makin lama, entah kenapa Randu makin tertarik dengan gadis bertubuh mungil itu. Sayangnya, di saat dirinya menyadari ketertarikan yang lebih itu, di saat yang sama ia juga sadar bahwa Haiva tidak menganggapnya lebih dari rekan kerja. Belakangan Randu bahkan menyadari bahwa gadis itu sedang menyukai lelaki lain.
Tapi selama bendera kuning belum berkibar, asalkan Haiva tidak mengusirnya pergi, selalu ada jalan untuk menikung kan?
* * *
"Halo Mas Randu!"
Randu tersenyum mendengar sapaan dari Bram, teman kantor yang seruangan dengan Haiva.
"Kok tumben kesini?"
"Nemenin Haiva ambil tas nih, Mas Bram. Abis ini kami mau jalan," jawab Randu antusias.
Seperti kata Bram tadi, memang tumben sekali Haiva mau dan bisa diajak makan bareng begini selepas jam kerja. Dulu sih mereka pernah dua kali makan malam bersama, selepas optimasi proses penyalutan produk baru Medika Farma. Tapi makin kesini, Haiva tampak makin sibuk dan sering lembur, sehingga sudah beberapa kali ia menolak ajakan Randu untuk makan malam bersama. Makanya hari itu Randu semangat sekali saat tanpa diduga Haiva menyetujui ajakan makan malamnya.
Haiva bilang, ia butuh waktu sebentar untuk membereskan meja kerja dan mengambil tas di ruang kerjanya, jadi setelah keluar bersama dari gedung produksi Medika Farma, Randu mengikuti Haiva ke ruang kerja gadis itu di Departmen QA.
Saat mengikuti Haiva masuk ke ruang kerjanya, Randu menyadari bahwa selain ada Bram, ada satu orang lagi di ruangan itu. Seseorang yang harusnya tidak berada di ruangan itu, tapi kenapa berada di situ?
Yap! Haris Hananjaya!
Bos besar ngapain turun gunung, coba?
Kalau memang ada perlu dengan staf QA kan bisa telepon saja, meminta staf tersebut untuk menghadap. Kenapa Yang Mulia yang datang sendiri ke QA?
Meski penasaran dan sebenarnya agak sewot, tapi Randu masih bisa cengar-cengir tersenyum menyapa Pak Haris. Eh tapi emang dasar kanebo kering (kata Haiva), Haris malah hanya membalas senyum ramah Randu dengan anggukan singkat. Randu jadi menyesal sudah berusaha bersikap ramah. Tahu gitu, cuekin aja sekalian kan.
"Wah! Jalan kemana?" tanya Bram. Membuat tatapan Randu kembali beralih, dari Haris kepada Bram, selagi Haiva mematikan komputernya dan merapikan tasnya.
"Belum tahu sih. Saya mah terserah Iva aja, Mas. Dia mau diajak makan bareng aja, saya udah bersyukur. Susah banget ngajak dia pulang bareng doang. Lembur melulu. Makanya, ini keajaiban nih, Iva mau saya ajak jalan dan makan," Randu menjawab, sambil tersenyum lebar.
"Lebay, Mas!" Randu mendengar Haiva protes, tapi sambil tertawa. Hal itu membuat Randu dan Bram serentak ikut tertawa.
"Dokumen mutu produk baru yang diminta Regulatory Affairs, sudah selesai, Iva?" tanya Haris tiba-tiba.
Randu melirik pada Haris. Sepertinya kali itu ia gagal menyembunyikan ekspresi kesalnya kepada Haris. Emang harus banget ngomongin kerjaan sekarang? Ini kan sudah lewat jam pulang kantor lho. Masa anak buah disuruh lembur melulu. Nggak sehat banget ini kantor!
"Sudah, Pak. Sudah saya kasih ke Mbak Naya untuk direview," jawab Haiva sambil menyampirkan tas di bahunya. Untung Haiva menjawab begitu. Wajah Randu menjadi sedikit lebih santai.
"Progress CAPA?" Haris belum menyerah.
"Sedang direview Mbak Naya juga, Pak."
"Update data training pegawai?"
"Beres Pak. Itu malah udah di Bu Karin."
Lama-lama bosnya Haiva ini ngeselin juga ya. Galak banget pula. Pantesan Haiva sering menolak ajakan Randu untuk makan malam bersama. Tiap hari diteror kerjaan seperti ini, membuat Haiva banyak lembur.
Haris baru saja akan membuka mulutnya lagi. Untungnya Haiva menghampirinya dan berdiri di hadapannya.
"Pokoknya yang deadline sudah kelar semua, Pak. Tinggal nunggu review dari Bu Karin dan Mbak Naya aja," kata Haiva, "Hari ini saya bisa pulang tepat waktu kan ya?"
Randu lega. Melihat ekspresi Haris, sepertinya bos Haiva itu tidak menemukan alasan lagi yang bisa digunakan untuk menahan Haiva disana. Untung demikian, karena Haiva tidak jadi membatalkan rencana makan malam mereka gara-gara diminta lembur dadakan oleh si bos besar.
"Bos lo serem banget," kata Randu berbisik, setelah dirinya dan Haiva berhasil melarikan diri dari cengkraman Yang Mulia Haris Hananjaya. "Gue sekarang ngerti kenapa lo sering nolak pulang bareng gue. Kerjaan lo banyak banget kayaknya ya? Apalagi bosnya demanding gitu."
Haiva tertawa."Kadang-kadang doang sih demanding gitu. Lagian kan bukan bos saya langsung, jadi yang biasanya neror saya mah Mbak Naya atau Bu Karin."
Randu manggut-manggut. Tapi kemudian ia teringat sesuatu. Sudah lama dia penasaran dengan hal ini. Apalagi ketika tadi melihat sikap jutek Haris saat tahu Haiva akan pergi dengannya. Membuat kecurigaan Randu makin besar. Jadi mumpung sedang ngobrol dengan Haiva, Randu memutuskan untuk mengungkapkan rasa penasarannya.
"Lo nggak ada apa-apa kan sama Pak Haris?" tanya Randu frontal.
Dahi Haiva berkerut tipis. "Ada apa maksudnya?" Haiva balik bertanya.
"Entahlah," kata Randu, menjeda kata-katanya, seperti sedang menimbang sesuatu. "Lo pulang bareng Pak Haris setelah acara PharFest. Abis dari resepsi Mas Arya, gue juga lihat lo dijemput seseorang. Itu Pak Haris juga kan?"
Selain di acara Pharfest, seminar kefarmasian di Fakultas Farmasi waktu itu, Randu sempat bertemu lagi dengan Haiva di sebuah acara pernikahan rekan kerja Randu dan teman kuliah Haiva. Saat itu karena melihat Haiva datang tanpa pasangan, Randu menawarkan diri untuk mengantar Haiva pulang. Sayangnya Haiva menolak. Tapi siapa sangka, Randu melihat Haiva masuk ke sebuah mobil ketika ia pulang. Dan Randu mengenali mobil itu sebagai mobil Haris.
Haiva tampak terdiam sejenak. Tapi akhirnya gadis itu hanya tertawa menanggapi pertanyaan Randu.
"Di QA, saya yang paling kecil dan belum nikah, Mas," kata Haiva. "Kalau si Bos lagi bosan dan nggak ada yang nemenin makan, cuma saya yang bisa diajak makan."
Randu tentu saja tidak percaya pada jawaban Haiva. Bagaimanapun, instingnya sebagai lelaki bisa merasakan bahwa gadis yang sedang diincarnya juga diincar oleh pria lain, atau gadis yang diincarnya menyukai pria lain. Pada kasus Haiva, Randu menduga keduanya, bahwa gadis yang diincarnya menyukai pria lain yang sebenarnya juga sedang mengincar gadis itu. Hanya saja, barangkali karena Haiva belum pernah pacaran atau berhubungan dekat dengan lelaki, gadis itu tidak menyadari perasaannya sendiri, atau tidak menyadari sedang ditaksir oleh lelaki yang disukainya.
Hih! Ribet!, gerutu Randu kesal sendiri.
Tapi barangkali justru ini saat yang tepat. Mumpung Haiva belum menyadari perasaannya kepada Pak Haris, dan sebaliknya, mumpung Pak Haris sepertinya belum mengatakan apapun pada Haiva, inilah saat yang tepat untuk menikung!
Randu membuka kunci pintu mobilnya.
"Jadi lo nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Haris kan?" tanya Randu sekali lagi.
"Nggak lah, Mas," jawab Haiva sambil tertawa.
Randu membukakan pintu mobilnya untuk Haiva. Dan di depan pintu itu, sebelum Haiva masuk, Randu bertanya, "Kalau gitu gue masih punya kesempatan kan?"
Haiva menengadah, menatap Randu. Barangkali gadis itu sedang berusaha mencari senyum jail di wajah Randu. Tanda-tanda bahwa Randu sedang bercanda seperti biasanya. Tapi Randu sedang tidak bercanda.
"Gue serius," kata Randu.
Tapi melihat keseriusan di wajah Randu, entah mengapa Haiva malah tertawa geli.
"Mas Randu nggak cocok kalau mukanya serius gitu. Kayak bapak-bapak operator nungguin validasi yang nggak kelar-kelar," celetuk Haiva.
Sial! Apa citranya di mata Haiva serusak itu ya? Apa selama ini sikapnya terlalu santai dan terlalu sering bercanda, sehingga tidak ada yang percaya saat dirinya sedang serius?
Apa Haiva hanya menganggap dirinya sebagai corrigen, zat tambahan pada produk obat, yang cuma sebagai pemanis, pewarna atau pengaroma saja? Cuma untuk memeriahkan hidup Haiva yang abu-abu diantara bapak-bapak operator selama proses validasi? Apa sosok Randu di mata Haiva hanya sosok penggembira seperti itu, dan tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi "zat aktif" yang memberi efek fisiologi pada jantung gadis itu?
Sial bener nasibnya!
* * *
Selamat mengawali pekan yg singkat ini, Kakak2! Sabar, 2 hari lg udah libur lg kok hehehe.
Ketemu Randu yang hebring, semoga Senin pagi Kakak jadi ceria.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top